Pengertian tafsir al-ra'yi
Pengertian Tafsirbi al-ra`yi
Nama ra`yu berasal dari kata ra`aya, yang berarti melihat dengan akal atau fikiran,[1] ra`yu juga dapat diartikan sebagai .berikut:
1. Al-Qiyas, hal ini dikarenakan orang-orang sering mempergunakan qiyas disebut : (صاحب الرأي ( yaitu: orang-orang yang suka mengunakan qiyas (analogi) dalam berdalil, karena mereka tidak menemukan nash (hadis atau atsar).[2]
2. Al-Ijtih±d, arti inilah yang dimaksud dengan istilah ra`yu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafs³r bi al-ra`yi sering juga sebagai tafs³r bi al-ijtih±d, atau at tafs³ral-ijtih±di, yaitu penafsiran menggunakan ijtih±d.[3]
Menurut M. Aly As-Shabuny:[4]
“Tafs³r bi al-ra`yi adalah: “Ijtih±d yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahi, kaedah yang murni dan tepat, bisa dikutib dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafs³r al-quran atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat al-quran bedasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”
Menurut Manna` al-Qaththan:[5]
“Tafs³r bi al-ra`yi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir dalam menerangkan makna yang hanya berlandaskan kepada pemahamannya yang khusus dan pengambilannya hanya bedasarkan pada akal saja, dan keterangan tersebut tidak didapat dari pemahaman yang berjiwa syari`ah dan yang bedarkan pada nash-nashnya.”
Dari pengertian yang dikemukakan oleh kedua tokoh diatas memang terlihat perbedaan persepsi mengenai definisi tafs³r bi al-ra`yi itu sendiri, yang pernah memberikan kesan positif terhadap tafs³r bi al-ra`yi tidak hanya sekadar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga bedasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat yang kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafs³r bi al-ra`yi yang memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan kretian yang lain.
Namun bila diteliti lebih jauh dapatlah dipahami bahwa tafs³r bi al-ra`yi adalah menafsirkan al-quran dengan berlandaskan pada pendapat ataupun ijtih±d, dan tidak bedarkan pada apa yang dinukilkan ;oleh sahabat atau thabi`in dengan memperhatikan kaedah bahasa arab.
Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-ra`yi ini melakukan panafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengadakan kemampuan rasio semata, malah mereka ditutun untuk tidak sekedar nilai-nilai yang dikandung al-quran dan sunnah tapi juga harus memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafs³ryang mereka kemukakan bisa diterima krebilitasnya. Adapun syarat-syarat mufassir tafs³r bi al-ra`yi ini diantaranya :[6]
1. Memiliki pengatahuan tentang bahasa arab tentang bahasa arab dan seluk beluknya.
2. Menguasai ilmu ilmu al-quran.
3. Menguasi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-quran, seperti hadis dan u¡l fiqh.
4. Beraqidah yang benar.
5. Mengatui prinsip-prinsip pokok agama islam
6. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok agama islam.
7. Menguai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafs³rkan.
Kriteria-kriteria diatas harus dipenuhi oleh mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-quran.
Sementara itu Dr.Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh mufassir bi al-ra`yi:[7]
1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan, ayat-ayat yang maknanya hanya dikaetaui oleh Allah (otoritas Allah semata)
3. Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata bedasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang dikandungnya
5. Menafsirkan al-quran untuk mendukung suatu ma©hab, dengan cara menjadikan faham ma©habsebagai dasar, sedang tafs³r mengikuti faham ma©hab tersebut.
6. Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-ra`yi memenuhi persyaratan da menjauahi keenam hal tersebut dibarangi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlajs karena Allah, maka penafsiranya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsiarnya ditolak.
Disamping persyaratan diatas, tafs³r bi al-ra`yi juga harus, tafs³r bi al-ra’yijuga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar kepada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh sayuthi bahwa sandaran yang harus dipedomani tersebut, yaitu :[8]
a. Naql dari rasulullah, berpegang dari hadits-hadis yang bersumber dari rasulullah saw, dengan ketentuan itu ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu` (palsu).
b. Perkataan sahabat, berpegang pada uacapan nabi, karena ynag mereka ucapkan, menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu` (shahih atau hasan), khususnya yang berkaiatan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang dapat dicampuri oleh ra`yu.
c. Berpengang pada kaedah bahasa arab, dab harus senantia berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz semestinya.
Selain tiga sandaran diatas Subhi as-Shalih juga menambahkan :[9]
Ø Berpegang teguh pada ayat, dan terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara`.
Dari uraian diatas terlihat jelas kompleksnya kualifikasi yang harus dimiliki oleh para mufassir bi al-ra`yi, sehingga ,bisa dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari mufassir biasa, karena harus memilki keahlihandi bidang ilmu tafs³rmereka juga harus memiliki daya nalar yang tinggi.
[1] Lois Ma`luf, al Munjid fi al Lughah wa A`lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1980), hal.243
[2] Al Yairuz Abady, Al-Qamus al-Muhid,(Beirut: Muassasa ar-Risalah, Cet,V, 1996), hal.1659
[3] Mahmud Basuni Faudah, At Tafs³r wa Manahijuh, Terj: M. Mochtar Zoerni, Tafs³r-Tafs³r Al-Quran Perkenalan dengan Metodology Tafs³r, (Bandung, Pustaka, 1987),hal.62
[4] M.Aly Ash Shabuny, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Terj: M. Chudlori Umar, dkk, Pengantar Study Al- Quran,(Bandung, Al Ma`arif, 1987),hal. 213
[5] Manna` al-Qattan, Mabahits fi : ‘Ulum Al-Quran, (Beirut: Muasasah ar Risalah, 1983), hal. 351
[6] M. Quraish Shihab, Op-cit,hal 79
[7] M. Abdul ‘AzhimAzzarqanni, Manahil al- Irfan fi ‘Ulum Al-Qur`an (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah:1988) hal.56
[9] Subhi as Shahih, mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Terj: Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran(Jakarta, Pustaka Firdaus , Cet. V, 1995), hal. 387
Komentar
Posting Komentar