SUNAN ANNASAI DAN SUNAN IBNU MAJAH

Please subscribe ya sobat youtube.com/bolonzzzduhasimbolon
A. Sunan al-Nasa’i
1. Biografi al-Nasa’i
Nama lengkap dari Imam al-Nasa’i adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Kurasani Al-Nasa’i. Nama imam Al-Nasa’i dinisbatkan pada sebuah daerah bernama Nasa’ di wilayah kurasan yang disebut juga Nasawi yang masih termasuk wilayah Khurasan.  Menurut Adz-Dzahabi, imam Al-Nasa’i lahir di daerah Nasa’i pada tahun 215 hijriah. Ciri-ciri Al-Nasa’i raut wajahnya oval dan kulitnya berwarna sawo matang. Menurut Adz-Dzahabi Al-Nasa’i bermuka tampan biarpun sudah memasuki usia senja, sering mengenakan baju musim dingin, mempunyai empat isteri dan senang makan daging ayam. Dia adalah seorang syek yang berwibawa, bermuka cerah, ringan tangan dan berbudi luhur.
Di kota Nasa’ itulah beliau tumbuh melalui masa kanak-kananknya. Aktifitas intelektual beliau bermulai ketika belau mengahafal Qur’an dan menerima disiplin ilmu dari guru-gurunya. Ia juga dikenal sebagai orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah baik pada waktu malam maupun siang hari, melaksanakan ibadah puasa sunnah dan puasa Dawud. 
Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembara ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini yang merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Dalam lawatannya tersebut, Al-Nasa’i dengan tekun mengikuti berbagai perkuliahan tentang hadis, menyimaknya dengan baik, menghafal dan mempelajari setiap materi perkuliahan tersebut sehingga memahaminya secara mendalam. Beliau tidak lupa mencatat nama-nama guru yang dijumpainya dalam mata rantai sanad hadis yang diriwayatkannya. 
Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Amr, Abi al-Tahir, Ibnu al-Syarh, Ahmad bin Abdah al-Dhabi, Ali bin Hajr, Muhammad bin Bisyar, Sulaiman bin al-Asy’as, Mahmud bin Ghilan, Abu Dawud al-Sijistani, Qutaibah bin Sa’id, Ali bin Khasyram dan lain-lain dari ulama Khurasan, Hijaz, Mesir dan daerah lainnya. 
Sedangkan nama murid-murid yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah Abdul Karim yang merupakan putranya sendiri, Abu al Qasim al-Thabarani, Ahmad bin Muhammad bin Isma’il Al-Nahhas al-Nahwi, Hamzah bin Muhammad Al-Kinani, Hasan bin al-Khadr al-Asuti, Muhammad bin Ahmad bin Al-Haddad al-Syafi’i, Al-Hasan bin Rasyiq, Muhammad bin Abdullah bin Hayuyah Al-Naisaburi, Abu Ja’far al-Thahawi, Al-Hasan bin al-Khadir Al-Asyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Basyar al-Dulabi, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad al-Sunni, dan yang lainnya. 
Salah satu keberhasilan beliau adalah berhasilnya menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i. 
Imam Nasa`i adalah ulama yang terbilang banyak menulis berbagai kitab. Adapun  beberapa hasil karya beliau di antaranya adalah Al-Sunan Al-Sughra, Al-Sunan Al-Kubra, Musnad al-Imam Ali Karrama Allahu Wajhahu, kitab Manasik al-Nasa’i, Kitab al-khasa-is fi fadli ‘Ali bin Abi Talib, Kitab Du’afa’ wa al-Matrukin, Kitab ‘amal al-yaum wa al-lailat, Kitab al-Jum’at, Kitab al-Tamyiz fi Asma’ al-Ruwat (Mu’jam al-Syuyukh), dan lain-lain. 
Imam al-Nasa’i wafat pada hari Senin di bulan Safar tahun 303 H. namun mengenai tempat di mana beliau menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya tidak ditemukan kesepakatan. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, diperkirakan wafat beliau di Ramallah Palestina dan dikuburkan di Bait al-Maqdis. Namun berbeda dengan yang dituturkan oleh Abu Zahwu yang mendasarkan pendapatnya kepada riwayat dari Daruqutni, imam al-Nasa’i meninggal di Mekkah dan dikuburkan di antara Safa dan Marwah,  hal ini berdasarkan pesan Beliau sendiri ketika diseret oleh kaum ekstrimis yang ingin menghabisinya untuk membawanya ke kota Mekkah tersebut.  
2. Latar Belakang Penulisan Kitab Sunan al-Nasa’i
Kitab Sunan al-Nasa’i merupakan salah satu dari enam kitab hadis sahih (kutub al- Sihhah al-sittah). M. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya “Ushul al-Hadits” bahwa al-Nasa’i mengarang kurang lebih 15 buah buku dalam bidang ilmu hadits dan yang paling utama dan mashur di antaranya adalah Kitab al-Sunan (Sunan al-Kubra) yang akhirnya terkenal dengan sebutan nama Sunan al-Nasa’i. Kitab Sunan ini adalah kitab hadits yang derajatnya terletak setelah Kitab Shahihain dalam hal kitab yang paling sedikit hadits da’ifnya, akan tetapi paling banyak pengulangannya.
Setelah Imam al-Nasa’i selesai mengarang kitabnya al-Sunan (al-Sunan al-Kubra), lalu beliau memberikannya kepada Amir al-Ramlah. Karena di dalamnya masih terdapat berbagai macam hadits yang teridentifikasi, apakah termasuk hadits shahih, hasan, atau dha’if, Amir meminta beliau untuk menyeleksi hadits-hadits yang ada pada kitab tersebut dengan hanya memasukkan hadits-hadits yang shahih saja. Atas permintaan Amir tersebut, beliau berhasil menyeleksi hadits-hadits yang ada pada kitabnya (Sunan al-Kubra) sehingga hasilnya melahirkan sebuah kitab yang disebut dengan al-Sunan al-Sugra. Oleh karena kitab ini berisi hadis-hadis pilihan maka kitab ini disebut juga dengan kitab sunan al-Mujtaba/al-Mujtaba min al-Sunan atau kitab. 
Kitab al-Sunan al-Sughra mengandung lebih sedikit hadis da’if dibandingkan dengan kitab-kitab sunan lainnya dan kitab sunan al-Nasa’i yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin saat ini adalah kitab sunan al-Sughra yang diriwayatkan oleh imam abdul karim al-Nasa’i (w. 344 H), putra imam al-Nasa’i sendiri.

3. Metode Penyusunan dan Penulisan Kitab Sunan al-Nasa’i
Penamaan kitab tersebut dengan istilah “sunan” yang bermakna kumpulan sunnah-sunnah dapat diindikasikan adalah sebuat upaya bagi penulis kitab tersebut mengarahkan kepada pembacanya agar dapat mengetahui secara eksplisit bahwa dalam kitab tersebut berisi sunah-sunah Rasulullah. 
Sama seperti metode penulisan dan penyusunan yang dilakukan oleh beberapa kitab sunan lainnya, bahwasannya kitab Sunan al-Nasa’i disusun berdasarkan bab-bab pembahasan hukum fikih dan tidak memasukkan kisah-kisah, sejarah dan berbagai keutamaan amal (al-Fada’il al-A’mal) di dalamnya.

4. Sistematika Penyusunan Kitab Sunan al-Nasa’i
Dengan disusunnya kitab Sunan al-Nasa’i menggunakan sistematika fiqih dalam bentuk bab-bab yang menjelaskan berbagai hukum yang terkandung di dalamnya, demikian pula masalah instinbat-nya (pengambilan keputusan hukum) yang diambilnya, Oleh sebab itu kitab sunan al-Nasa’i menjadi kitab rujukan para praktisi Hukum Islam setelah kitab shahih Bukhari dan shahih muslim,sebab kualitas hadis yang terdapat di dalamnya menempati posisi di bawah kedua kitab hadis tersebut dan di di atas kitab sunan Abu Dawud dan sunan Tirmidzi. 
Berikut bagan sistematika penyusunan kitab Sunan Al-Nasa’i:


Berdasarkan bagan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan:

a. Dari kitab (bab) pertama sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah taharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai salat
b. Kitab (bab) puasa didahulukan daripada zakat
c. Kitab (bab) Qism Al-Fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad
d. Kitab Al-Khali juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad
e. Melakukan pemisahan-pemisahan diantara kitab-kitab (bab-bab) Al-Ahbas (wakaf), wasiat-wasiat, An-Nahl (pemberian kepada anak), Al-Hibah (pemberian), Ar-Ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan mengenai Fara’id tidak ada
f. Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab Al-Asyribah (minuman), As-Said (pemburuan), Az-Zaba’ih (sembelihan hewan korban), Ad-Dahaya (kurban idhul adha)
g. Kitab iman ditempatkan di bagian akhir
h. Yang tidak termasuk hukum hanyalah kitab iman dan kitab Al-Istiadzah

5. Pendapat Para Tokoh/Ulama terhadap al-Nasa’i dan Kitab Sunan al-Nasa’i
Imam An  Nasa’i telah diakui keutamaan, keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits oleh murid-murid beliau dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi murid-muridnya. Hal ini terbukti dari perkataan beberapa ulama, seperti berikut ini :  

  • Al-Dar al Quthni mengatakan bahwa Imam An  Nasa’i adalah orang yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadits pada masanya ketika orang membicarakan keilmuan hadits.
  • Al-Khalili berkata bahwa An  Nasa’i adalah seorang yang hafidz mutqinun, telah diakui kekuatan hafalannya dan kepintarannya,dan pendapatnya sangat diandalkan dalam bidang ilmu jarh dan ta’dil.
  • Ibnu Nuqtah berkata : Imam An  Nasa’i adalah salah seorang tokoh dalam bidang ilmu hadits.
  • Al-Zahabi : An  Nasa’i adalah ulama yang padanya terkumpul lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, dan sangat kritis terhadap seorang rawi serta mempunyai karangan yang sangat baik dan banyak berdatangan para hafidz kepadanya.
  • Ibnu Katsir : Al-Nasa’i adalah seorang imam pada masanya dan orang yang paling utama dalam bidangnya. 

Beberapa ulama juga memberikan pandangan terhadap kitab Sunan al-Nasa’i antara lain:  
a. Al-Suyuti, sebagaimana dikutip oleh Nawir Yuslem menyatakan bahwa buku karya imam al-Nasa’i merupakan buku terbaik dan terindah di antara kitab sunan yang ada, menurutnya, “al-Mujtaba” merupakan perpaduan antara metode imam Bukari dan imam Muslim dengan penjel;asan tentang berbagai illat. Secara keseluruhan kitab Sunan al-Nasa’i ini merupakan kitab hadis yang paling sedikit memuat unsur hadis da’if dan perawi yang majruh setelah kitab sahihain 
b. Al-Nasa’i bersikap ketat (mutasyaddid) dalam menyusun kitab al-Sunan ini, oleh karena itu sebahagian ulama memposisikan kitab ini setelah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim dengan alasan sunan ini lebih sedikit hadis da’ifnya, walaupun demikian Abu al-Farj bin al-Jauzi mengritik al-Sunan bahwa didalamnya ada 10 hadis maudu’. Kritik itu dibela oleh as-Suyuti menurutnya pendapat al-Jauz itu tidak bisa diterima.
c. Ibn Hajar mengatakan persayaratan yang yang dibuat al-Nasa’i dalam Mujtaba lebih ketat persyaratannya setelah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Al Hafiz Abu Ali memberi ketentuan bahwa persyaratan yang dibuat oleh al-Nasa’i sangat ketat/selektif betul dalam periwayatan hadis, Al-Hakim Abu Abdurrahman dan Darquthubi mengomentari bahwa al-Nasa’i lebih diutamakan dari orang lain pada zamannya.
d. Menurut Abu Abdurrahman kitab hadis yang dikumpul al-Nasa’i adalah sebagus kitab baik di bidang penyusunan maupun di bidang pembagiannya. Dinukilkan as-Subqi, Al-Nasa’i lebih hafiz dibandingkan dengan Muslim pemilik Sahih Muslim. Komentar sebagian ulama sesungguhnya kitab al-Nasa’i semulia-mulianya kitab dalam Islam.

6. Kitab-Kitab Syarah Sunan al-Nasa’i
Kitab Sunan al-Nasa’i tidak luput dari perhatian dan komentar dari para ulama hadis, akan tetapi jumlah dan bentuk syarahan di kitab-kitab hadis lainnya tidaklah sama dengan komentar yang ada pada kitab Sunan Al-Nasa’i yang berjumlah sedikit dan bentuknya hanya sebatas catatan tentang hadis tersebut atau sebatas pendapat seseorang mengenai hukum menyangkut hadis tersebut. Di antara ulama yang memberikan syarah pada Sunan tersebut adalah:
a. Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuti
Penjelasan syarah ini sangat singkat, bahkan seperti catatan biasa. Syarah tersebut bernama Zuhar ar-Rubba’ ‘Ala al-Mujtaba’. Terbit di Janpur pada tahun 1847, di New Delhi pada tahun 1850 dan di Kairo diterbitkan dalam bentuk dua jilid pada tahun 1312 H. Kitab syarah ini memberikan penekanan pada aspek nama-nama rawi, penjelasan lafaz, kata-kata yang agak asing dan aneh, serta menyebutkan sebagian hukum-hukum dan etika yang tercakup oleh berbagai hadis nabi. Dikatakan bahwa syarah yang diberikan oleh As-Suyuti ini lebih dekat kepada apa yang dimaksud oleh al-Suyuti. Meskipun uraian kitab syarah ini sangat singkat namun sangat berguna.

b. Syaikh al-Allama Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi As-Sindi (w. 1138 H)
Ulama ini lahir di Madinah dan meninggal pada tahun 1138, terkenal dengan nama panggilan As-Sindi. Kitab syarahnya diberi judul “Hasyiyah Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba’. Syarah ini lebih sempurna daripada syarah Suyuti, karena di dalamnya terdapat pendapat hukum dari al-Sindi. Isinya hanya uraian singkat mengenai hal-hal yang sangat diperlukan oleh para pembaca seperti bahasa, i’rab, hadis garib dan lainnya.  Kitab syarah ini juga diterbitkan di India dan Cairo.

c. Syaikh al-Allamah Sirajudin Umar bin Ali bin al-Mulqin as-Syafi’i (w. 804 H)
Syarah yang ditulis oleh ulama ini hanya merupakan tambahan atas shahih Bukhari dan Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Syarah ini hanya satu jilid dan terletak bersama dengan syarah terhadap kitab al-Sahihain, Abu Dawud dan Turmudzi.
d. Sayyid Ali bin Sulaiman al-Bajma’wi
Syarahnya beliau terhadap kitab ini bernama ‘Urf Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba’. 

B. Sunan Ibnu Majah
1. Biografi Imam Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah  ar-Rabi’ al-Qazwi. Beliau dilahirkan di Qazwen salah satu kota di Iraq bagian persia yang sangat terkenal banyak menghasilkan para ulama besar, pada tahun 209 H.  Tidak dicantumkan pada usia berapa beliau mulai mempelajari hadis. Guru beliau yang pertama adalah Ali ibn Muhammad at-Tanasafi (w. 233 H), dengan begitu dapat disimpulkan bahwa beliau mulai belajar hadits sebelum tahun 233 H. diperkirakan beliau mulai belajar hadits berkisar pada umur 15 hingga 20 tahun seperti kebiasaan pada saat itu. 
Ibnu Majah melakukan rihlah untuk menuntut ilmu ke Mekkah pada tahun 230 H. selain ke Mekkah, beliau juga pergi ke Bashrah, Kufah, Baghdad, Iraq, Syiria, Mesir, Rayy dan kota lainnya untuk mengumpulkan hadis. Ibnu Majah banyak bertemu dengan ulama-ulama hadis besar lainnya di negeri-negeri tersebut. Beliau banyak mendengarkan hadis dari imam-imam hadis pada masanya, diantaranya adalah sahabat-sahabat Imam Malik, sahabat-sahabat Imam al-Laits, Abu Bakar ibn Abi Sya’bah, Muhammad ibn Abdillah bin Numair, hasan ibn Amar, Muhammad ibn Rahmi, Ahmad Ibn Azhr, Basyar bin Adam, Yazid bin Abdullah al-Yamani, Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Kharami. Abdullah bin Mua’wiyah, Hisyam bin Imar, Dawud bin Rasyid, Alqomah bin Umar ad-Darimi dan tokoh-tokoh lainnya yang setingkat. 
Sedangkan hadis-hadis beliau diriwayatkan oleh tokoh-tokoh antara lain Muhammad Ibn ´sa serta Ishaq bin Muhammad, Abi Ya’la al-Khalili, Ja’far bin Idris dan lain-lain. Beliau wafat pada tanggal 22 Ramadhan 237 H. 

2. Latar Belakang Penulisan Kitab Sunan Ibnu Majah
Karya besar Ibnu Majah adalah karya dalam bentuk sunan yang dikenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Memang bentuk sunan adalah salah satu bentuk penulisan kitab yang sangat terkenal saat itu, selain sunan, para muhadditsin mengenal bentuk lain seperti sahih dan musnad.  Ibnu Majah kemudian memilih bentuk Sunan daripada bentuk sahih. Ibnu Majah bukanlah orang yang pertama yang menuliskan hadis dengans sistimatika seperti ini, tokoh pertama yang menghimpun hadis dengan metode seperti ini adalah Abu Dawud al-Sijistani dalam karyanya Sunan Abu Dawud.
Memang ada kecenderungan dalam pemilihan bentuk penulisan kitab-kitab hadist ini, ada pola, dimana setelah munculnya sahih al-Bukhari dan sahih Muslim, para ulama hadis kemudian lebih banyak mencurahkan dan lebih meminati bentuk penulisan sunan. Kitab hadis dengan pola sahih yang sungguh terkenal hanya ada dua yakni karya Imam Bukhari dan Imam Muslim, setelah mereka lebih banyak muncul tokoh-tokoh yang menghimpun hadis berdasarkan sunan.
Ibnu Majah menuliskan 4341 hadis yang terbagi kepada 37 kitab dan 1502 bab. Semua hadis-hadis itu terdiri dari 428 hadis sahih, 119 hadis hasan, 613 hadis dhaif, 99 hadis yang sangat lemah.  Dari 4341 hadis yang terdapat di dalam Sunan Ibnu Majah, 3002 hadis telah diriwayatkan di dalam kitab al-Usl al-Khamsah, berarti hanya 1339 hadis saja yang diriwayatkan oleh beliau, artinya hanya ada 1339 zawaid yang terdapat di dalam Sunan Ibnu Majah. 

3. Metode Penulisan dan Penyusunan Kitab Sunan Ibnu Majah
Mungkin karena Sunan Ibnu Majah tidak memberikan keterangan tentang kualitas hadis-hadis yang termuat di dalamnya, juga mencakup hadis yang sangat dhaif dan bahkan hadis yang munkar, karena itulah sebagian ulama lebih mengutamakan Sunan ad-Darimi dari pada karya Ibnu Majah ini.

4. Sistematika Penyusunan Kitab Sunan Ibnu Majah
Jika dilihat dari sistematika penulisannya, maka sunan ini ditulis berdasarkan sistematika kitab fiqih juga, namun lebih disempurnakan, karena “kitab” (bab untuk istilah sekarang) dimulai dengan bab ‘Ibtida’ Sunah Rasulullah Saw. dalam bab ini diberikan hadis-hadis yang menunjukkan kehujjahan sunnah, kewajiban mengikutinya, dan mengamalkannya.  Dan menurut Syeikh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, jumlah rincian “kitabnya”sebanyak 37 macam, dan selanjutnya dirinci lagi menjadi 1515 “bab” .
Perbedaan perhitungan jumlah hadis dan klasifikasi bab dan sub babnya dalam penulisan sunan ini dapat dimaklumi, karena mereka berbeda cara memandangnya. Sebahagian melihat bahwa sebuah hadis dapat dibagi menjadi sekian – misalnya – sebagian lain membagi menjadi sekian dalam jumlah yang lain, atau berbeda dalam kelompoknya. Akan tetapi jika dilihat langsung dalam kitab Sunan Ibnu Majah, Jilid I sampai jilid II cetakan Beirut oleh penerbit Dar al-Fikr terlihat bahwa jumlah seluruh hadisnya adalah 4341 buah, jumlah ‘kitabnya’nya (babnya) 37, dan jumlah “bab”nya (sub babnya) sebanyak 1515. Kitab pertama adalah “Muqaddimah” yang diawali dengan “bab” Itba’ sunnah Rasulullah Saw. dan kitab terakhir adalah tentang al-Zuhd. 

5. Pendapat Para Tokoh/Ulama terhadap Kitab Sunan Ibnu Majah 
Ibnu Majah tidak memberikan komentar dan kriteria tentang hadis yang ia tuliskan dalam kitabnya. Beliau juga tidak menyebutkan tujuan penulisan dan alasan penyusunan kitab itu. Oleh karena itu para ulama banyak mengadakan kajian dan diskusi untuk memperhatikan kitab ini. Diskusi dan kajian yang diadakan ternyata memberikan efek terhadap sikap para ulama dalam menolak ataupun menerima untuk mengkategorikan Sunan Ibnu Majah dalam kitab as-Sittah. 
Ulama yang berperan banyak dalam kajian terhadap karya Ibnu Majah ini adalah seperti Abu Fadhl Muhammad ibn Tahir al-Maqdisi (w 507 H), adalah orang yang pertama kali mengkategorikan Sunan Ibnu Majah dalam Kutub as-Sittah. Pengkategorian ini didapatkan dalam buku beliau al-Atraf al-Kutub as-Sittah dan dalam risalahnya. Ulama selanjutnya yang juga berperan adalah Abd al-Gani ibn al-Wahid al-Qudsi (w 600 H), beliau memberikan komentar tentang Sunan Ibnu Majah ini dalam bukunya al-Ikmal fi Asmair Rijal.
Alasan mengkategorikan Sunan Ibnu Majah ini kedalam al-Kutub as-Sittah mengandung hadis tambahan (zawaid) atas al-Kutub al-Khamsah.  Ada beberapa perbedaan pendapat yang terjadi dalam mengkategorikan Sunan Ibnu Majah ke dalam al-Kutub as-Sittah. Sebagaian ulama memang mengkategorikannya sebagai al-Kutub as-Sittah, sedangkan ulama lainnya tidak maumengkategorikannya. Biasanya Sunan Ibnu Majah ini, kalau dikategorikan dalam al-Kutub as-Sittah, akan menempati urutan keenam.
Dalam perbedaan pendapat tentang hal itu, ternyata beberapa golongan ulama lebih cenderung untuk menempatkan Muwatho’ karya Imam Malik sebagai peringkat ke-enam. Pendapat ini diajukan oleh Abil Hasan bin Ruzaini al-Adburi as-Sarkuti (w 535 H), beliau mengutarakan mendapatnya ini dalam bukunya at-Tajrid Fil Jami’ Baina as-sahih. 
Sebagian ulama lain seperti Imam an-Nawawi (w 675 H), Ibn Hajar al-Asqolani (w 852 H) menyebut Sunan ad-Darimilah yang menempati urutan ke-enam dalam al-Kutub as-Sittah. 
Perbedaan pendapat tentang kelayakan Sunan Ibnu Majah menempati peringkat ke-enam dalam al-Kutub as-Sittah muncul dari fakta ternyata mesikipun karya Ibnu Majah ini memuat hadis-hadis sahih, dan hasan, ternyata juga memuat hadis dha’if dan bahkan hadis munkar meskipun jumlahhnya sedikit.
Menurut beberapa pendapat dikatakan bahwa Ibnu Majah meriwayatkan hadis-hadis dari periwayat yang dituduh berdusta dan meriwayatkan hadis maudhu’.  Kritikan seperti ini datang dari Ab al-Farizi ibn al-Jauzy. Beliau mengatakan bahwa dalam Sunan Ibnu Majah terdapat 30 hadis maudu’.
Tapi di sisi lain, as-Suyuti membantah pendapat ini dengan mengatakan bahwa banyak pendapat al-Jauzi yang lemah dan tidak dapat diterima, sebab sebahagiannya sudah disepakati oleh ulama kritik hadis tentang keda’ifannya. Hal ini kemudian dikemontari oleh Abu Zur‘ah, seorang ulama terkenal pada masa itu, komentara beliau ini adalah bahwa hadis da’if yang termuat dalam Sunan Ibnu Majah tidak mencapai jumlah tiga puluh.
Ulama lain yang berkomentar tentang Sunan Ibnu Majah ini adalah Ibu Katsir, menurutnya kitab Sunan Ibnu Majah adalah buku yang sungguh banyak faedahnya, baik dari segi susunan bab-babnya menurut fikih ataupun karena masalah lainnya.
Perbedaan pendapat lainnya muncul dari pertanyaan apakah hadis maudu’ yang terdapat dalam Sunan Ibnu Majah bisa merendahkan kitab itu kalau dikaitkan kepada jumlah hadis yang mencapai 4000 hadis. Dalam perbincangan ini, tentu saja ada yang mengatakan bahwa fakta bahwa Sunan Ibnu Majah memuat hadis maudhu’ telah merendahkan derajat buku ini, meskipun tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa buku ini sungguh berperan dalam ilmu hadis, dan ada juga yang mengatakan bahwa hal itu tidaklah merendahkan derajatnya.
Sedangkan menyoal tentang kepribadian Ibnu Majah, menurut az-Zauhari bahwa Ibnu Majah adalah seorang hafiz yang dipercaya sangat luas keilmuannya, termasuk ahli hadis pada masanya dan salah satu penulis dan penghimpun hadis dengan berdasarkan bab-bab fikih.
Sedangkan menurut Abu Ya’la al-Khalili, Ibnu Majah adalah seorang yang disepakati kekuatan riwayatannya.  Bila kita membandingkan antara Sunan Ibnu Majah dengan Sunan Abu Dawud, maka kita akan menemukan fakta sebagai berikut:

1. Dari segi awal waktu, Sunan Abi Dawud memang muncul lebih dahulu, jadi wajar Abu Dawud al-Sijistani lah yang pertama menusliskan kitab hadis dengan sistem sunan, sedangkan Ibnu Majah hanya mengikuti langkah-langkah dalam penulisan sunan.

2. Abu Dawud al-Sijistani menuliskan keterangan tentang kualitas hadis yang ia cantumkan sedangkan Ibnu Majah tidak.

3. Abu Dawud al-Sijistani hanya mencantumkan hadis sahih dan hasan juga beberapa hadis da’if yang tanpa keterangan, sedangkan Ibnu Majah selain hadis sahih, hasan, dhaif juga memasukkan hadis munkar yang semuanya tanpa diberi penjelasan.

4. Beberapa hadis-hadis yang termuat dalam Sunan Abi Dawud tidak ditemukan dalam sahih al-Bukhari maupun sahih Muslim, sedangkan kebanyakan dari hadis-hadis yang dimuat dalam Sunan Ibnu Majah sudah diriwayatkan dalam sahihain.

Meskipun demikian tidak bisa dipungkiri peran besar yang dimainkan oleh Ibnu Majah dan Sunannya dalam perkembangan ilmu hadits. Pada faktanya, sekarang, Ibnu Majah sudah menjadi seorang tokoh yang sungguh masyhur dan dikaji di berbagi studi-studi hadis. Sunan Ibnu Majah juga telah menjadi salah satu kitab hadis yang dipercaya dan menjadi salah satu sumber penting dalam studi-studi hadis.

6. Kitab-Kitab Syarah Sunan Ibnu Majah
Sama halnya dengan kitab-kitab hadits lainnya, Sunan Ibnu Majah ini juga telah membangkitkan minat dan perhatian para ulama setelahnya untuk menulis beberapa karya yang berusaha menjelaskan Sunan Ibnu Majah ini. Akan tetapi meskipun demikian ternyata karya-karya yang mensyarah Sunan Ibnu Majah ini tidaklah sebanyak kitab-kitab syarah untuk kitab-kitab hadis lainnya seperti sahih Bukhari, sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan lain sebagainya.
Beberapa kitab-kitab syarah Sunan Ibnu Majah ini bisa dikatakan sebagai berikut:
a. Syarah karya Imam Jalaluddin as-Suyuti. Karya ini diberi judul Misbah az-Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan penjelasan singkat dan ringkas yang menjelaskan permasalahan-permasalah yang penting saja.

b. Syarah karya as-Sindi al-Madani. Nama karya ini adalah Syarhu Sunan Ibnu Majah. Kitab ini tidak terlalu jauh berbeda dengan syarah karya Imam Jalaluddin as-Syuti , syarah ringkas, yang menjelaskan masalah-masalah yang penting saja, penejelasan ini ditempatkan di pinggiran matan Sunan.

c. Syarah oleh Ibrahim bin Muhammad al-Halaby.

d. Kitab al-Dibaj oleh Muhammad bin al-Damiri.

Selain itu Muhammad Fa’al mentahqiq kembali sumber-sumber periwayatan hadis yang dimasukkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya. Beliau juga mentakhrij hadis-hadisnya dan mendapatkan jumlah 4341 hadis yang terbagi kepada 37 kitab dan 1502 bab.


Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?