Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif

Dalam Undang Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan Campuran menyatakan “Bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang orang yang berada di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan”. Rumusan pasal ini tampaknya tidak jelas apakah yang dimaksud dengan “ tunduk pada hokum yang berlainan” itu dilihat dari hukum karena berbeda golongan penduduknya ( Vide Indesche Staatsregelung ). Pasal 163 membagi rakyat Indonesia menjadi tiga golongan: Eropa, Pribumi, dan Timur Asing atau karena berbeda agamanya, asal daerahnya, ataukah perbedaan lainnya.

Akibat ketidak jelasan rumusan pasal di atas menimbulkan beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum. Ada yang berpendapat bahwa perkawinan campuran hanya terjadi kepada orang orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Ada pula yang berpendapat bahwa perkawinan orang orang yang berlainan agamanya, dan ada juga yang berpendapat antara oaring orang yang berlainan daerahnya.

Berbeda dengan pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 yang dengan jelas menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah antara dua orang yang tinggal di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena berbeda kewarga negaraan, dan salah satunya berkewarga negaraan Indonesia.

Berdasarkan pasal 57 di atas, maka jelaslah bahwa perkawinan antara orang orang yang berlainan agama tidak termasuk perkawinan campuran. Oleh kerna itu, jika UU perkawinan ini dilaksanakan ini dilaksanakan secara murni dan konsekwen, seharusnya setiap pengajuan permohonan perkawinan antar orang orang yang berlainan agama yang sebelumnya di telah di tolak baik oleh KUA (Kawin berdasarkan Islam) maupun oleh kantor Catatan Sipil ( Kawain dengan selain cara islam ) (Vide pasal 2 ayat 1 2 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974), maka seharusnya pengadilan negeri secara yuridis bias menolak permohonan izin kawin tersebut. Sebab berdasarkan Pasal 2 ayat 1 No. 8f UU No. 1/1974 yang menegaskan bahwa perkawinan itu sah jika dilakukan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaan. Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dengan ketentuan pasal tersebut berarti perkawinan harus dilakukan dengan hukum agama dan hal hal yang dilarang oleh agama berate dilarng pula oleh UU perkainan.

Namun kenyataannya sekarang pengadilan negeri masih memberikan izin perkawinan antara orang yang berlainan agama dan memandang sebagi perkawinan campuran yang di atur oleh pasal 60-62 UU Perkawinan. Antara orang orang yang berbeda kewarga negaraannya dan salah satunya berkewarga negaraan Indonesia.
baca juga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?