Pendekatan Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam
A. Pengertian Pembaruan dalam Hukum Islam
Kata ”pembaharuan” menurut beberapa literatur bisa dipadankan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Dan yang paling mewakili adalah kata reformasi, islah dan tajdid. Kata tajdid berasal dari masdar jaddada – yujaddidu – tajdidan, artinya memperbarui, sehingga tajdid berarti pembaharuan, atau menjadikan sesuatu menjadi baru.
Dalam literature hukum islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Menurut Yusuf Al-Qadhrawi, yang dimaksud dengan pembaruan adalah berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal itu dengan cara memperkokoh sesuatu yang lemah, memperbaiki yang rusak, dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya yang baru.
Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah
Pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan ketentuan hukum di sini adalah ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.
Berbicara mengenai pembaruan hukum Islam, tidak dapat terlepas dari wacana pembaruan pemikiran dalam Islam pada umumnya. Dalam hal ini ditemukan dua bentuk pendekatan, yaitu pendekatan melalui analisa tekstual dan pendekatan sosiohistoris. Pendekatan melalui analisa tekstual, pembaharuan diartikan sebagai upaya menghidupkan ajaran agama, dan pengembaliannya kepada bentuk aslinya pada masa salaf, yaitu pembersihan agama dari berbagai hal yang bukan ajaran agama (berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama). Sedangkan pembaharuan dengan pendekatan sosiohistoris adalah mengandung arti modernisasi pemikiran, gerakan dan aliran dalam usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, dan institusi lama disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dalam perspektif sejarah, pembaruan hukum Islam menurut Noel J. Coulson, menampakkan diri dalam empat bentuk :
Dalam literature hukum islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Menurut Yusuf Al-Qadhrawi, yang dimaksud dengan pembaruan adalah berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal itu dengan cara memperkokoh sesuatu yang lemah, memperbaiki yang rusak, dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya yang baru.
Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah
Pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan ketentuan hukum di sini adalah ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.
Berbicara mengenai pembaruan hukum Islam, tidak dapat terlepas dari wacana pembaruan pemikiran dalam Islam pada umumnya. Dalam hal ini ditemukan dua bentuk pendekatan, yaitu pendekatan melalui analisa tekstual dan pendekatan sosiohistoris. Pendekatan melalui analisa tekstual, pembaharuan diartikan sebagai upaya menghidupkan ajaran agama, dan pengembaliannya kepada bentuk aslinya pada masa salaf, yaitu pembersihan agama dari berbagai hal yang bukan ajaran agama (berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama). Sedangkan pembaharuan dengan pendekatan sosiohistoris adalah mengandung arti modernisasi pemikiran, gerakan dan aliran dalam usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, dan institusi lama disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dalam perspektif sejarah, pembaruan hukum Islam menurut Noel J. Coulson, menampakkan diri dalam empat bentuk :
- Dikodifikasikannya (yaitu pengelompokan hukum yang sejenis kedalam kitab undang-undang) hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan Negara, yang disebutnya sebagai doktrin siyasab;
- Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab hukum tertentu, yang disebutnya doktrin takhayyur (seleksi) pendapat mana yang paling dominan dalam masyarakat;
- Perkembangan hukum dalam mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut doktrin tatbiq (penerapan hukum terhadap peristiwa baru);
- Perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru yang disebutnya doktrin tajdid (reinterpretasi).
Tampaknya, Coulson mengartikan perubahan sama dengan pembaruan. Friedman, seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan yang telah diutarakan, memandang bahwa kedua istilah tersebut merupakan dua konsep yang berbeda. Perubahan hukum tidak mengubah ketentuan formal, sedangkan pembaruan hukum mengubah ketentuan formal. Konsep pembaruan hukum Islam ialah pembaruan hukum Islam ijtihadi, mengembangkan hukum yang ditetapkan Alloh dan Rosul, dan penuangan nilai-nilai hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional melalui penggalian dari sumbernya (Al-Qur’an dan al-Hadis) dengan menggunakan metode ijtihad. (Amir Mu’allim dan Yusdani, 1999:16)
Menurut hasil disertasi Abdul Manan (2007: 153-159) pembaharuan pemikiran hukum Islam terjadi karena ada lima faktor utamanya, yaitu:
Menurut hasil disertasi Abdul Manan (2007: 153-159) pembaharuan pemikiran hukum Islam terjadi karena ada lima faktor utamanya, yaitu:
- Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqih tidak (belum) mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum yang berhubungan dengan masalah tersebut sangat mendesak untuk diterapkan.
- Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.
- Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
- Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta yang menguasai hajat hidup orang banyak.
- Untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin maka tidak bisa tidak (la budda) harus dirumuskan kerangka metodologi pembaharuan pemikiran hukum Islam yang komperhensif, sistematis, mempunyai akar, argumen dan dasar yang kukuh serta menyentuh semangat perubahan zaman. Kerangka metodologi ini harus menyentuh dua aspek, yaitu formal dan ideal-moral. Sehingga semangat perubahan tidak lepas dari buminya dan tetap memperhatikan keutuhan norma-norma keilahian, kemanusiaan dan kemaslahatan bagi peri-kehidupan.
Komentar
Posting Komentar