Pandangan Ulama Tentang Transplantasi
Ulama- ulama fiqh (pakar Hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer:
Imam al-Nawawi dalam karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan.
وَلَو وَصَلَ عَظَمُهُ بِنَجْسٍ لِفَقْدِ الطَّاهِرِ فَمَعْذُوْرِ وَإِلاَّ وَجَبَ نَزْعُهُ إِنْ لمَ ْيَخْفَ ضَرَرًا ظَاهِرًا قِيْلَ وَإِنْ خَافَ, فَإِنْ مَاتَ لَمْ يَنْزَعْ عَلَى الصَّحِيْحِ.
“Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhu>r (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya, dikatakan jika membahayakan atau (menimbulkan) kematian maka tidak mengambilnya (tulang tersebut) itu dibolehkan”
Zakariya al-Ansari (abad IX) dalam karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab, kitab Manhaj al-Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karya imam al-Nawawi (w. abad VI). Zakariya mengatakan :
وَلَوْوَصَلَ عَظَمُهُ لِحَاجَةٍ إِلَى وَصْلِهِ بِنَجْسٍ مِنْ عَظَمِ لاَ يَصْلِحُ لِلْوَصْلِ غَيْرِهِ عُذْرٌ فِيْ ذَلِكَ فَتَصِحُ صِلاََتُهُ مَعَهُ وَإِلاَ بِأَنْ لَمْ يَحْتَجْ أَوْ وَجَدَ صَالِحًا غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَدَمِيٍّ وَجَبَ عَلَيْهِ نَزْعُ النَّجْسِ وَإِنِ اكْتَسَى لَحْمًا إِنْ أَمَنَ مِنْ نَزْعِهِ ضَرَرًا يَبِيْحُ التَيَممِ وَلَمْ يَمُتْ
“Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.
Al-Bujayrami, dalam komentarnya atas ‘ibarah (teks) kitab Fathu al-Wahhab di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh.
Ibnu Hajr al-Haitami dalam Tuhfahnya juga berpendapat yang sama dengan Zakariya al-Ansari, mengatakan:bahwa ia memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ manusia dalam keadaan jika sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika masih ditemukan/ada tulang yang najis maka tidak boleh memakai tulang manusia.
Pakar Hukum Islam kontemporer dalam masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadith Nabi saw :
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا.
“Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadits di atas menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.
Kedua, berbeda dengan Ibn Baz para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi, al-Buti, Abd Allah Kanun dan Abd Allah al-Faqih yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya mengatakan : Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya, misalkan mendonorkannya. Lanjut Qardawi,perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat an-Nur : 33.
وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِى ءَاتَاكُمْ ....(النور : 33)
“…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kamu… (an Nur : 33 )
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara itu hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya. Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris. Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Dari penjelasan di atas bahwa transplantasi dalam hukum Islam terdapat perselisihan pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek tersebut secara mutlak berdasarkan hadits Nabi saw dan dalil ‘aqli bahwa anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri melainkan hanya titipan Allah yang harus dijaga hidup dan mati. Sementara pakar Hukum Islam lainnya mengatakan boleh dengan beberapa syarat seperti dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya sebagaimana pendapat pertama yaitu tidak boleh.
Termasuk syarat yang memperbolehkan praktek transplantasi menurut banyak pakar Hukum Islam yaitu bahwa praktek tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual beli di antara dua pihak pendonor dan resipien namun ada pendapat yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, dalam bukunya Masail Fiqhiyah menyebutkan kriteria boleh dan tidaknya transplantasi dalam pandangan Islam ,
Pertama; apabila pencangkokan dilakukan atau diambil dari donor yang masih hidup maka Islam tidak membenarkannya. Dasarnya adalah :
a. Surat Al-Baqarah ayat 195
“ Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat di atas menunjukkan manunusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun hal tersebut mempunyai tujuan kemanusiaan.
b. Kaidah hukum Islam
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“ Menghindari kerusakan/resiko didahulukan atas menarik kemaslahatan “
أَلضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“ Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya ‘
Kedua; apabila pencangkokan diambil dari donor yang dalam keadaan koma atau hamper dipastikan meninggal, maka Islam pun tidak membenarkannya. Dasarnya adalah:
a. Hadits Nabi riwayat Malik dari Anas bin Yahya
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak boleh membikin madhlarat pada dirinya dan tidak boleh membikin madhlarat pada orang lain".
Ketiga; apabila pencangkokan diambilkan dari donor yang sudah meninggal secara kliniks dan yuridis, maka Islam membolehkannya dengan syarat :
1. Dalam keadaan darurat atau sangat membutuhkannya
2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resepien.
Dasarnya adalah :
a. Al Qur’an surat al-Maidah ayat 32
`tB @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $YèÏJy_
“… dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya… “
b. Hadits Nabi SAW
تَدَاوُوْا عِبَادِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
“ berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakit, kecuali Dia meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu yaitu penyakit tua (pikun) (Hadits riwayat Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi, Abu Daud, Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibran dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)”
c. Kaidah hukum Islam
الضَّرَرُ يُزَالُ
“ Bahaya itu harus dilenyapkan atau dihilangkan “
Komentar
Posting Komentar