Literalianisme adalah satu paradigma




Dalam sejarah inteletualisme Islam, literalisme (harfiyyah) adalah satu paradigma keagamaan yang sudah berusia sangat tua, setua agama Islam itu sendiri. Di kalangan sahabat nabi, misalnya kita mendengar kisah Adi bin Hatim yang gagal memahami makna metafor dari “benang putih” dan “benang hitam” pada QS. 2: 187. Dalam khazanah fikih Islam bahkan ada suatu mazhab yang secara terbuka memproklamirkan diri sebagai penganut literalisme keagamaan atau mazhab Zahiri. Sehingga literalisme sendiri sesungguhnya bisa dikatakan adalah suatu paradigma interpretasi keagamaan yang bersifat universal dan akan selalu muncul dalam sejarah agama manan pun. Namun, dalam konteks Islam, karena karakter pemikiran Islam bersifat dialektis, maka paradigma literal sulit mendapatkan posisi siginifikan. Kecuali dalam beberapa pengecualian ketika ia didukung oleh satu sistem politik yang menghendaki adanya legitimasi keagamaan, seperti yang pernah terjadi pada Dinasti Abasiyyah era al-Mutawakkil
Penyebaran faham literalisme religius ini belakangan semakin mendapatkan sorotan di kalangan sarjana Islam. Karena semakin disadari bahwa ada banyak implikasi negatif yang muncul dari tersebarluasnya faham ini. Diantaranya adalah munculnya problematika Islam yang semakin mengalami kesulitan berhadapan dengan modernitas. Sebab di dalam paradigma ini “Islam masa lalu” dihadapkan vis a vis dengan perubahan dan perkembangan zaman. Bagi paradigma ini, dalam konteks situasi dan kondisi apapun, hanya tafsir dan praktik masa lalulah yang paling valid dan harus diikuti.
Implikasi yang tampak paling serius dari fenomena penyebaran literalisme adalah apa yang disebut oleh Khaled Abou Fadel sebagai “krisis otoritas keagamaan” (azmah al-shulthah al-diniyyah). Dua fenomena yang menandai krisis otoritas ini adalah munculnya eksploitasi teks-teks keagamaan dan otoritarianisme keagamaan. Nas-nas suci dimaknai secara sempit dengan tidak mengindahkan rumusan metodologis yang mapan dan meminggirkan pentingnya makna reinterpretasi sesuai dengan konteks sosial yang relevan. Parahnya lagi, paradigma literal ini selalu diiringi dengan truth claim (klaim kebenaran) yang absolut sehingga yang berada di luar kelompoknya adalah salah, bidah, syirik atau atribut-atribut peyoratif lainnya. Sehingga implikasinya umat Islam berada diambang kebingungan karena berhadapan dengan realitas paradoks yang terjadi antara pengusung Islam literal dan Islam lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?