Hukum Zakat Produktif menurut ulama
Tentang hukum pemberdayaan zakat ini terdapat juga perbedaan di kalangan ulama, dan bentuk pengelolaannya juga ada dua macam:
1. Yang bertindak mengelola zakat adalah si pemilik harta, orang yang telah berkewajiban membayar zakat pada hartanya kemudian dia kembangkan harta itu,ini berarti telah menunda pembayaran zakat dari waktunya, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, tapi yang rajih adalah wajib segera membayar zakat tidak boleh ditunda, karena Allah berfirman : ( وسارعوا إلى مغفرة من ربكم).) فاستبقوا الخيرات pada kedua ayat ini mengandung perintah untuk bersegera melakukan kebaikan, dan para ulama usul mengatakan bahwa asal dari perintah adalah wajib, dengan ini yang benar adalah tidak boleh.
2. Yang bertindak menjadi pengelola adalah Imam kaum muslimin atau wakilnya, para ulama ahli fiqih sepakat akan di syari’atkannya bagi seorang imam untuk mengumpulkan zakat dari rakyatnya, dan dengan membayarkan zakat kepada Imam maka kewajiban kaum muslimin telah gugur atau lepas, tapi yang menjadi perdebatan dikalangan ulama kontemporer adalah pemberdayaan Imam atau wakilnya terhadap harta zakat, disini ada dua pendapat :
a. Tidak boleh memberdayakan harta zakat, ini pendapat Majma’ fiqih islami yang berada di bawah Rabitah Alam Islami pada seminar yang ke 15, dan Majma’ Fiqih Islami di India pada seminar yang ke- 13, dan dewan fatwa Kerajaan Saudi Arabia.
Alasannya adalah :
- Karena maksud dari zakat itu adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir, dan melunasi hutang-hutang orang yang berhutang.
- Karena memenuhi kebutuhan para fakir dan miskin pada waktu sekarang wajib, sedangkan masalah mereka dikemudian hari kita serahkan perkaranya kepada Allah.
b. Boleh memberdayakan harta zakat, ini pendapat Majma’ Fiqih Islami dibawah naungan Munazzomah Mu'tmar Islami pada dauroh yang ke- 3, dan Baitu At-Tamwil Al-Kuwait, dan Hai’ah As-Syar’iyah rumah zakat di Kuwait, dan ini juga pendapat As-Syaikh Mustafa Al-zarqo, Wahbah Al-Zuhaili, dan Yusuf Qaradhawi.
Alasannya adalah karena Al-Quran, Hadits dan Ijma’ tidak menyebutkan secara tegas tentang cara pemberian zakat apakah dengan cara konsumtif atau produktif. Dapat dikatakan tidak ada dalil naqli dan ṣariḥ yang mengatur tentang bagaimana pemberian zakat itu kepada para mustahiq. Surat At-Taubah ayat 60,14 oleh sebagian besar ulama dijadikan dasar hukum dalam pendistribusian zakat. Namun ayat ini hanya menyebutkan pos-pos dimana zakat harus diberikan. Tidak menyebutkan cara pemberian zakat kepada pos-pos tersebut. Teori hukum Islam menunjukkan bahwa dalam menghadapi masalah yang tidak jelas rinciannya dalam Al-Quran atau petunjuk yang ditinggalkan Nabi saw, penyelesaiannya adalah dengan metode ijtihad. Ijtihad atau pemakaian akal dengan tetap berpedoman kepada Al-Quran dan Hadith.
Komentar
Posting Komentar