Hukum Mempelejari Masalah fikih Kontemporer
Fiqh pada dasarnya sudah muncul sejak zaman Nabi, terutama sejak periode Madinah, meskipun baru dirumuskan dan dibukukan menjadi ilmu fiqh baru pada awal abad kedua Hijriyah. Umar sebagai sahabat Rasul dalam memahami hukum syari’ah menggunaan qiyas (analogi) dan maslahah (kemanfaatan atau kepentingan umum) jika ia tidak menemukan dalil dalam al-Qur’an dan hadits. Kemudian pula pada masa-masa sesudahnya, sebelum datangnya al-Syafi’i, misalnya dengan munculnya dua aliran dalam memahami ajaran Islam. Disini dapat kita lihat betapa penting dan dibutuhkannya peran ulama dan para pengkaji ilmu dalam mengkaji hukum yang selalu memenuhi kehidupan manusia.
Hukum dalam mengkaji hukum Islam kontemporer adalah fardhu kifayah, maksudnya apabila ada sebagian yang telah mempelajari dan dirasa cukup, maka kewajiban itu gugur bagi selain mereka. Sebab menjelaskan ilmu dan apa yang dibutuhkan oleh manusia adalah wajib kifayah, yaitu apabila ada sebagian yang mempelajarinya, maka bagi yang lain kewajiban itu telah gugur.
Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran: 187.
Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,”
Maka, menjelaskan ilmu dan menyampaikan masalah ini adalah wajib bagi para ulama dan para penuntut ilmu. Dan untuk menentukan status hukum persoalan kontemporer seperti ini, berdasarkan keputusan yang ada di dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta pendapat para ulama kadang masih dirasa kurang baik dan kurang memadai untuk ukuran orang awam.
Masalah dianggap wajib kifayah sebab pekerjaan ini berhubungan dengan amal, tidak berhubungan dengan orang yang mengamalkan. Pada pembahasan yang lalu tentang “kaidah-kaidah fiqih”, kita telah menjelaskan perbedaan antara fardhu kifayah dan fardhu ‘ain.
Hukum dalam mengkaji hukum Islam kontemporer adalah fardhu kifayah, maksudnya apabila ada sebagian yang telah mempelajari dan dirasa cukup, maka kewajiban itu gugur bagi selain mereka. Sebab menjelaskan ilmu dan apa yang dibutuhkan oleh manusia adalah wajib kifayah, yaitu apabila ada sebagian yang mempelajarinya, maka bagi yang lain kewajiban itu telah gugur.
Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran: 187.
Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,”
Maka, menjelaskan ilmu dan menyampaikan masalah ini adalah wajib bagi para ulama dan para penuntut ilmu. Dan untuk menentukan status hukum persoalan kontemporer seperti ini, berdasarkan keputusan yang ada di dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta pendapat para ulama kadang masih dirasa kurang baik dan kurang memadai untuk ukuran orang awam.
Masalah dianggap wajib kifayah sebab pekerjaan ini berhubungan dengan amal, tidak berhubungan dengan orang yang mengamalkan. Pada pembahasan yang lalu tentang “kaidah-kaidah fiqih”, kita telah menjelaskan perbedaan antara fardhu kifayah dan fardhu ‘ain.
Komentar
Posting Komentar