Bayi tabung ditinjau dari segi hukum islam dan UU
Ada beberapa hal yang sangat dominan untuk mene-tapkan hubungan nasab anak yang terlahir dengan proses inseminasi buatan (bayi tabung) kepada kedua orang-tuanya yaitu:
Pertama ada ikatan perkawinan yang sah antara laki-laki yang diambil spermanya dengan perempuan yang diambil ovumnya dan perempuan yang diambil ovumnya adalah perempuanyang mengandung dan yang melahirkan bayi tabung. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. (UU No. 1 tahun 1974, pasal 42). Dengan ketentuan ini, maka anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan mengambil sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri yang kemudian embrionya disarangkan ke dalam rahim isterinya adalah anak sah yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan anak yang lahir dengan proses alami.
Kedua ada materi (sperma dan ovum) yang menjadi embrio secara yakin dapat dipastikan berasal dari pasangan suami-isteri yang mengandung dan yang melahirkannya.( proses bayi tabung yang mengambil sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri yang kemudian embrionya ditransfer ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother).
Apabila dianalisa dari aspek moral, etika, hukum dan agama, dimana setiap orang yang telah terikat dengan perkawinan berarti juga terikat dalam hal mu’asyarah bil ma’ruf antara suami-isteri, maka tidak pantas dan tidak layaklah apabila sepasang suami isteri yang hanya dengan modal mengeluarkan beberapa tetes sperma dan ovum yang kemudian diserahkan kepada orang lain tanpa mereka menjalani proses kehamilan dan kelahirannya, tiba-tiba setelah orang lain (surrogate mother) melahirkan mereka (lakilaki dan perempuan yang diambil sperma dan ovumnya) mendapat predikat sebagai seorang ayah dan ibu.
Ketiga faktor dominan yang menghubungkan nasab kepada orangtuanya adalah adanya al-firasy. Al-firasy yang dimaksud di sini adalah ibu yang melahirkannya. Jadi ibu yang mengandung dan yang melahirkan bayi tabung adalah ibu kandungnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
yang artinya
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, ibunya yang mengandung dalam keadaan yang sangat lemah dan disapih sampai dua tahun”. (QS Luqman(31): 14)
Menurut Hassan Hathout bahwa atas dasarayat-ayat tersebut di atas, maka ibu dari anak yang dilahirkan melalui proses surroagate mother adalah ibu yang mengandung dan melahirkannya. Sebab menurut beliau, kata “walidaini” yang berarti ayah dan ibu dan kata “ummun”, yang berarti ibu, adalah orang yang memberikan kelahiran atas seseorang.
Atas dasar tersebut di atas, penulis selain menolak seluruh pendapat yang membolehkan bayi tabung dengan proses surrogate mother, walaupun sperma dan ovumnya diambil dari pasangan suami-isteri juga penulis menolak bayi tabung dengan sperma dan atau ovum donor. Jika terjadi demikian, maka bayi tabung yang lahir itu hanya bernasab kepada ibu yang mengandung dan yang melahirkannya. Sedangkan kepada laki-laki yang diambil ovumnya, nasab tidak bisa dihubungkan kepadanya.
Hal ini sesuai dengan ungkapan Muhammad Jawad Muqniyah: Bilamana ada orang melakukan inseminasi dan berhasil hamil, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami yang mengandung karena kandungan itu tidak berasal dan bernasab kepada yang mempunyai sperma, sebab dia tidak mengadakan hubungan seks dengan perempuan yang mengandungnya atas dasar perkawinan dan tidak pula atas dasar wati syubhat. Karena itu anak dinasabkan kepada ibu yang mengandung saja.
Komentar
Posting Komentar