Biografi Ahmad bin Hanbal

1.    Riwayat Hidup

Ahmad bin Hanbal merupakan seorang ulama besar, ahli dalam bidang fikih maupun hadis ini memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris al-Zuhli al-Syaibani al-Marwazi al-Baghdadi.  Dalam sumber lain menyebutkan nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Ibnu Hilal Ibnu Asad Ibnu Idris Ibnu ‘Abdillah bin Hayyan Ibnu ‘Abdillah bin Annas Ibnu ‘Awf Ibnu Qasit Ibnu Mazin Ibnu Syaiban Ibnu Zulal Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim. Dari nama tersebut bisa diketahui bahwa beliau adalah keturunan Arab dari suku bani Syaiban, sehingga diberi laqab al-Syaibany.  Keturunan bin Hanbal bertemu dengan Rasulullah pada Mazin bin Mu’adz bin Adnan. Beliau masyhur dengan nama Hanbal karena kakeknya yang bernama Hanbal Ibnu Hilal merupakan Gubernur Sarakhs pada Dinasti Abbasiyah yang aktif menyerukan penentangan terhadap dinasti Umayyah di Khurasan.
Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad, kota Meru/Merv pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H atau Nopember 780 M. Bapak beliau, Muhammad telah meninggal dunia sejak beliau masih kecil sehingga beliau hanya diasuh oleh ibunya yang bernama Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani. Oleh karena itu, ibunya juga berasal dari keturunan Syaibaniyah sebagaimana ayahnya.
Ahmad bin Hanbal hidup dalam keadaan ekonomi yang sederhana karena ayahnya hanya meninggalkan warisan sebuah rumah kecil dan sebidang tanah. Karena melihat keadaan seperti itulah yang memotivasi beliau untuk giat mencari ilmu agar suatu saat dapat membantu meringankan beban ibunya. Setelah menginjak dewasa, beliau menikah dan memiliki dua orang putra yang bernama Abdullah dan Salih, mereka banyak meriwayatkan hadis dari sang ayah dan memasukkan sejumlah hadis ke dalam musnad milik ayahnya.
Ahmad bin Hanbal hidup pada zaman pemerintahan Abbasiyah di mana banyak sekali terjadi ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi, pada saat itu pula marak sekali bid’ah yang tersebar serta monopoli kekuasaan kaum Mu’tazilah.  Sehingga, melihat situasi seperti itulah yang memacu Ahmad bin Hanbal untuk giat melakukan perlawatan hadis ke berbagai wilayah.
Meskipun Ahmad bin Hanbal hidup miskin, namun tidak menghalangi langkah beliau untuk melakukan perlawatan ke berbagai wilayah untuk menuntut ilmu, di antaranya adalah Makkah, Madinah, Syam, Yaman, Kufah, Basrah, dan Jazirah.  Beliau mulai mencari hadis pada usia lima belas tahun. Selama tujuh tahun, ia mencari hadis dari guru-guru di Baghdad.
Kehidupan Ahmad bin Hanbal selain mengalami cobaan dalam masalah sosial ekonomi, beliau juga banyak mengalami cobaan dan fitnah dalam politiknya. Diantaranya, beliau mendapati fitnah kemakhlukan Alqur’an (Mihnah)  yang  pada saat itu disebarkan oleh dinasti Abbasiyah pada masa kekhalifahan al-Makmun, al-Mu’tashim dan Al-Wasiq. Karena sikap Ahmad yang bersikukuh melawan doktrin Mu’tazilah tersebut, sampai beliau dicambuk dan dipenjara. Hingga akhirnya pada tahun 220 H beliau dibuang dari Baghdad.
Namun, ketika jabatan khalifah dipegang oleh al-Mutawakkil pada tahun 232 H, dekrit tentang khalaq Alqur’an dicabut, aliran Mu’tazilah dicopot dari mazhab resi Negara dan digantikan oleh mazhab Sunni. Berkat reformasi besar tersebut pula Ahmad bin Hanbal dibebaskan dari penjara.
Ahmad berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat 241 H (855 M) di usia 77 tahun.  Beliau meninggal di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz. Sebagian ulama menerangkan bahwa disaat meninggalnya, jenazah Ahmad diantar oleh sekitar 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang perempuan dan suatu kejadian yang menakjubkan saat itu pula 20.000 orang dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi masuk agama Islam. Dan beliau meninggalkan dua orang putera yang terkenal dalam bidang hadis yaitu Shalih dan Abdullah.
2.    Riwayat Pendidikan
Ahmad sejak kecil sudah disekolahkan kepada seorang ahli qira’at. Ia sudah dapat menghafalkan Alquran di umurnya yang masih muda. Sejak usia enam belas tahun Ahmad juga belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Abu Yusuf, seorang ahl al-ra’yi dan salah satu sahabat Abu Hanifah. Tahun 183 H Ahmad bin Hanbal pergi ke beberapa kota dalam rangka mencari ilmu. Dia pergi ke Kuffah pada tahun 183 H, kemudian ke Bashrah pada tahun 186 H, ke Makkah pada tahun 187 H, dilanjutkan ke Madinah, Yaman pada tahun 197 H dan terakhir ke Mesapotamia. Selama perjalanannya, Ahmad memusatkan perhatiannya untuk mencari hadis.
Ahmad sangat mencintai hadis Nabi, sehingga beliau tidak segan-segan melakukan perjalanan-perjalanan yang jauh untuk mencari hadis. Beliau tidak memperdulikan penderitaan yang akan dialaminya dalam mencapai maksud tersebut. Di samping itu ia sangat membenci orang-orang yang mengakui muslim tetapi perbuatannya banyak menyalahi sunah Nabi. Dari kota Baghdad beliau mulai mencurahkan perhatiannya untuk belajar dan mencari hadis sekhidmat-khidmatnya, sejak ia berumur 16 tahun (179 H).
Beliau belajar hadis pertama kali kepada al-Qadhi Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim salah seorang sahabat Abu Hanifah. Namun ada yang berpendapat bahwa guru pertama beliau adalah Husyaim bin Basyir bin Abi Khasim Al-Wasiti. Kemudian pada usia dua puluh dua tahun beliau pergi ke Bashrah lalu ke Hijaz dan di sanalah beliau mendengarkan hadis dari Syafi’i di Masjidil Haram. Kemudian beliau pulang kembali ke Baghdad dan ke Hijaz lagi, di sana beliau mendengarkan hadis dari Imam Malik dan Imam Al-Laits bin Sa’ad Al-Mishry. Setelah itu beliau melakukan perlawatan lagi ke Yaman untuk berguru kepada Abdurraziq bin Hammam.
Ahmad bin Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat Hadis, karena Hadis sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan Hadis dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang Hadis tersebut dan berfatwa berdasarkannya”.
Selain melakukan perlawatan hadis, beliau juga belajar Fikih kepada Abdullah Ibnu Al-Mubarrak. Selama perlawatannya di Hijaz pun beliau belajar fikih pula kepada Imam Syafi’i dan menjumpai seluruh fuqaha’ pada saat itu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi selama musim Haji.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Musnad, beberapa ulama yang pernah menjadi guru beliau antara lain: Ismail bin Ibrahim bin Muqsam al-Asadi (w.193 H), Yahzun bin Asad al-‘Ammi Abu al-Asad al-Basari (w. +200 H), Hajjaj bin Muhammad al-Musisi al-A’war (w.206 H), Al-Hasan bin Musa al-Asyyab Abu Ali al-Baghdadi (w.208 H), Sufyan bin ‘Uyaynah bin Abi ‘Imran al-Hilali al-Kufi (w.198 H), Abdurrahman bin Mahdi bin Hisan Abu Sa’id al-Basari al-Lu’lu-i (w.198 H), Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ al-Himyari maula Abu Bakar al-San’i (w.211 H), Abdullah bin Numair al-Hamdani Abu Hisyam al-Kufi (w.199 H), Affan bin Muslim bin Abdullah al-Safar Abu Usman al-Basari (w.196 H), Muhammad bin Ja’far al-Huzali maula Abu Abdullah al-Basari/Ghundar (w.192 H), Muhammad bin Khazim Abu Mu’awiyah al-Ahwal (w. 198 H) dan Ya’la bin ‘Ubaid bin Abi Umayyah al-Iyadi Abu Yusuf al-Tanafisi al-Kufi (w.209 H).
Sedangkan murid-murid beliau antara lain: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hina-i al-A’ri al-Ta’i, Ishaq bin Mansur al-Kausaj, Ibnu Makhlad al-Andalusi, al-Hasan bin al-Sabah al-Bazzaz, Hanbal bin Ishaq bin Hanbal (sepupu beliau), Salih bin Muhammad bin Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Amu Dunya, Abu Zur’ah Abdurrahman bin Amru al-DImasyqi, Abu al-Hasan Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni, Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdul Karim al-Razi, Usman bin Sa’id al-Darimi, Ali bin al-Madini (lebih dahulu wafat), Abu Hatim Muhammad bin Idris al-Razi, Muhammad bin Ubaidillah bin al-Munadi, Muhammad bin Yahya bin Abdullah al-Zuhali, Ya’qub bin Sufyan al-Farisi, Ya’qub bin Syaibah al-Sudusi dan lain-lain.

3.    Sekilas tentang Mazhab Hambali
Dalam pemikirannya Ahmad banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i, beliau merupakan guru besar Ahmad. Meskipun Imam Syafi’i sebagai guru besar Ahmad tapi tidak selalu pendapat mereka sama dalam satu masalah . Hal ini dikarenakan Ahmad mempunyai pembedaharaan hadis yang banyak dan lebih menguasai hadis. selain pengaruh Imam Syafi’i terhadap pemikirannya sangat dominan, Ahmad juga dipengaruhi warna-warna Maliki dalam fiqihnya.
Selain dipengaruhi oleh pola pemikiran Imam Syafi’i, juga sedikit banyak terdapat pengaruh imam Maliki. Adapun dasar-dasar yang digunakan beliau dalam istinbat hukum diantaranya adalah :
a.    Alqur’an dan Hadis; kecintaan Ahmad terhadap hadis mendorongya untuk terus berfatwa tiap kali dia menemukan satu hadis, tanpa mempedulikan pendapat yang bertentangan dengan hadis tersebut.
b.    Fatwa Sahabat; yaitu apabila Ahmad menemukan pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan pendapat sahabat yang lain, maka beliau menjadikan pendapat tersebut sebagai hujjah.
c.    Pendapat sahabat yang lebih dekat kepada Alqur’an dan Sunnah.
d.    Hadis Mursal atau Dha’if; hadis ini dipakai jika tidak ada keterangan atau pendapat yang menolaknya.
e.    Qiyas; Ahmad menggunakan qiyas ketika darurat, jika tidak ditemukan dalam Alqur’an maupun Sunnah.
Mazhab ini berkembang sangat pesat di Baghdad, kemudian berkembang ke Irak. Menurut sebagian ulama, penganut mazhab ini tidak terlalu banyak, karena Ahmad terlalu keras berpegang pada riwayat dan bersikukuh untuk tidak berfatwa tentang sesuatu yang tidak ada nasnya.
Ahmad bin Hanbal selain beliau seorang ahli hadis dan fikih, beliau juga seorang sufi, yang pemikirannya dipengaruhi oleh dua sufi besar, Hasan al-Basri dan Ibrahim bin Adham.
4.    Karya-Karya
Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama’ yang produktif dalam mentransfer keilmuannya, itu terlihat dari banyaknya karya tulis yang telah beliau susun, diantaranya adalah Al-Musnad, al-Tafsir, kitab al-Sunnah, Kitab al-Zuhud, Kitab al-Salah, Kitab Wara’ wa al-Iman, ‘Ilalul hadits, FadhailU Shahabah.

B.    Penamaan dan Metode Penyusunan, Kodifikasi dan Sumber Musnad
1.    Penamaan Musnad
Di antara beberapa kitab yang menjadi karya Ahmad bin Hanbal, Musnad merupakan satu dari sekian karya yang paling monumental. Musnad berasal dari bahasa Arab "أسند – يسند - إسنادا", merupakan isim masdar yang artinya “sesuatu yang disandarkan”. Kalau dikatakan sanad berarti rangkaian para perawi dari mukharrij atau mudawwin paling akhir sampai rawi yang pertama langsung menerima dari Rasulullah. Dalam istilah ahli Hadis, musnad adalah sesuatu yang dikarang berdasarkan nama-nama sahabat dan di dalamnya menghimpun semua periwayatan para sahabat.  Istilah lain menuturkan Kitab Musnad adalah sebuah kitab yang disusun dengan tanpa menyaring dan menerangkan derajat hadis-hadis tersebut. Mahmud Thahan dalam bukunya “Taisir Mustalahul Hadis” karena ia merupakan kitab yang menghimpun periwayatan setiap sahabat tanpa memandang judul/tema yang terkait dengan Hadis tersebut.

2.    Metode Penyusunan Musnad Ahmad bin Hanbal

Musnad tersebut mencakup beberapa bab yang dimulai dari Musnad Khulafa’ al-Rasyidin  Musnad sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga  musnad sahabat setelah sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, musnad ahli bait,  musnad Bani Hasyim, musnad  sahabat yang banyak meriwayatkan hadits , sisa musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, musnad penduduk Makkah, musnad penduduk Madinah, musnad penduduk Syam, musnad penduduk Kufah, musnad  penduduk Bashrah, musnad sahabat Anshar, musnad sahabat Anshar dan diakhiri dengan musnad dari para perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, jika seseorang hendak mencari hadis atas suatu perkara fikih dengan merujuk kepada kitab Musnad Ahmad bin Hanbal ini, maka dibutuhkan waktu yang sangat lama disebabkan harus meneliti satu-persatu hadis yang ada di dalamnya. Hal ini disebabkan bab-bab yang disajikan dalam Musnad bukan berdasarkan tematik fikih sebagaimana disusun oleh para ulama hadis seperti Imam Malik dalam al-Muwatta’, melainkan disusun berdasarkan urutan sanad atau nama-nama perawi yang notabene Sahabat terdekat dan seterusnya yang meriwayatkan hadis sampai ke Rasulullah.
Dalam Musnad Ahmad ini terdapat 40.000 hadis, kurang lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari Abdullah, putra beliau sekitar 10.000 hadis dan diantaranya ada beberapa tambahan pula dari Ahmad bin Ja’far al-Qatili. Sayyid Ahmad bin Ja’far Al-Qatili berkata : “Satu satunya kitab Musnad yang menghidupkan Sunnah adalah yang disusun oleh Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani yang meninggal di Baghdad pada tahun 241 H.”

3.    Kodifikasi Musnad Ahmad bin Hanbal
Upaya pengkodifikasian Musnad sepenuhnya dikerjakan oleh Abdullah, putra Ahmad bin Hanbal sendiri. Namun  Al-Hafidz Syamsuddin Ibnul Jazari bahwa Ahmad bin Hanbal sendirilah yang memprakasai pembukuan Musnad yang diawali dengan tulisan tangan. Kemudian beliau mengajarkan kepada keluarganya dikarenakan beliau telah lanjut usia. Abdullah, putra beliau mengambil alih kodifikasi tersebut, dan hadis-hadis yang diperdengarkan kepada Abdullah tertulis dalam Musnad dengan pengantar riwayat “haddatsana Abdullah”, “haddatsana Abi”. Bila diperhatikan dari pengantar riwayat diketahui Abdullah telah mengambil inisiatif menambahkan hadis-hadis yang berasal dari tulisan tangan pribadi ayahnya yang belum pernah diajarkan kepada Abdullah. Selain itu Abdullah menambahkan hadis-hadis hasil berguru dari ulama hadis seangkatan Ahmad bin Hanbal.

4.    Sumber Hadis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal
Berdasarkan sumbernya, kitab Musnad Ahmad dibagi menjadi enam macam, yaitu :
1)    Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari ayahnya dengan mendengar langsung.
2)    Hadis yang didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain, Hadis ini jumlahnya sedikit.
3)    Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya. Hadis ini dinamakan hadis “zawaid” Abdullah (tambahan).
4)    Hadis yang  tidak didengar Abdullah dari ayahnya, melainkan dibacakan kepada sang ayah.
5)    Hadis yang tidak didengar dan tidak pula dibacakan kepada ayahnya, tetapi Abdullah menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
6)    Hadis yang diriwayatkan oleh Al-hafidz Abu Bakar Al-Qath’i yang meriwayatkan dari Abdullah.

C.    Penilaian Ulama terhadap Ahmad bin Hanbal dan Musnad
1.    Penilaian terhadap Ahmad bin Hanbal
Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya.
Abdurrazak as shan’ani berkata ; “telah mendatangiku 4 orang dari Iraq (mencari hadits) diantara pembesar hadits; as syadzakuni ia adalah yang paling baik hafalannya,  ibnu al madini ia adalah yang paling tahu perselisihan hadits, yahya bin ma’in ia adalah yang paling tahu tentang rijal hadits, dan ahmad bin hanbal ia adalah yang paling menguasai semuanya”. Qutaibah bin Sa’id berkata  : “ kalaulah ahmad bin hanbal sezaman dengan as tsuri, malik, auza’I dan al laits bin sa’d tentulah dia yang lebih utama”.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: imam Syafi’i berkata kepada kami; “Ahmad bin  Hanbal menghimpun 8 sifat yaitu imam dalam Hadis, imam fiqih, imam bahasa, imam Alqur’an, Imam dalam kefakiran, Imam zuhud, Imam wara’ dan Imam Sunnah”. Imam Syafi’i juga mengatakan tentang Ahmad, setelah saya keluar dari Baghdad tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih saleh, dan lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal.
Abu Zur’ah pernah ditanya perihal kekuatan hafalan antara beliau dengan Ahmad bin Hanbal, beliau menjawab,“Ahmad”(lebih kuat darinya). Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Ahmad bin Hanbal hafal satu juta Hadis”

2.    Penilaian terhadap Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Mengenai derajat hadis Musnad Ahmad bin Hanbal setidaknya terdapat 3 (tiga) penilaian ulama yang berbeda terkait kesahihan atau kehujjahannya yang di antaranya adalah :
a.    Seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini berdasarkan perkataan beliau bahwa : “Jika umat Islam berselisih tentang suatu hadis maka merujuklah pada kitab Musnad ini, namun jika tidak menemukan hadis dalam  Musnad ini maka tidak dapat dijadikan hujjah.
b.    Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal terdapat hadis shahih, dhaif, bahkan yang maudhu’. Ibnu Al-Jauzy mengatakan bahwa Musnad Ahmad terdapat 29 hadis maudhu’.
c.    Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal terdapat hadis yang sahih dan da’if yang mendekati derajat hasan. Adapun yang berpendapat demikian adalah al-Zahabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Taimiyah, dan al-Suyuthi.

D.    Perhatian Ulama terhadap kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Beberapa ulama mencurahkan perhatiannya terhadap kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dan mencoba untuk mensistematiskan/mensyarah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal berdasarkan kebutuhan umat Islam. Di antara ulama beserta usaha mereka terhadap kitab ini antara lain:
a.    Al-Hafiz Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin al-Muhibb ash-Shamith menyusunnya berdasarkan Mu’jam shahabat dan para perawi dari mereka seperti penyusunan kitab-kitab Athraf.
b.    Al-Hafiz Abu al-Fida` ‘Imaduddin Isma’il bin ‘Umar bin Kasir mengambil Kitab Musnad melalui penyusunan yang dibuat Ibnu al-Muhibb dan ia beri nama ‘Jami’ al-Masanid wa al-Sunan.
c.    Al-Hafiz Ibnu Hajar juga menyusunnya berdasarkan metode penyusunan kitab Athraf, yang diberi nama ‘Athraf al-Musnid al-Mu’tali Bi Athraf al-Musnad al-Hanbali.’ Kemudian ia menggabungkannya dengan sepuluh kitab dalam kitabnya ‘Ithaf al-Sadah al-Maharah al-Khayyirah Bi Athraf al-Kutub al-‘Asyarah.’
d.    Al-Hafiz Syamsuddin al-Husaini dalam kitabnya Al-Ikmal Biman Fi Musnad Ahmad Min al-Rijal min Man Laisa Fi Tahdzib al-Kamal Li al-Mizzi’ memuat riwayat hidup para perawinya, kemudian memuat para perawinya juga dalam kitabnya ‘at-Tadzkirah Bi Rijal al-‘Asyrah’, yaitu al-Kutub al-Sittah; Muwaththa` Malik; Musnad Ahmad; Musnad asy-Syafi’i dan Musnad Abi Hanifah. Al-Hafiz Ibnu Hajar telah meringkasnya dalam kitabnya Ta’jil al-Manfa’ah, dengan memuat sebatas para perawi empat kitab Sunan.
e.    Syaikh Ahmad bin Abdurrahm al-Sa’ati menyusunnya berdasarkan kitab-kitab dan bab-bab untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam mengambil manfaat Musnad. Ia menamakan kitabnya “al-Fat-h ar-Rabbani Bi Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani,” kemudian kembali mensyarahnya dan mengeluarkan hadits-haditsnya dalam kitabnya yang diberi nama “Bulugh al-Amani Min Asrar al-Fat-h ar-Rabbani.”
f.    Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Syakir juga memberikan perhatian kepada kitab Musnad Ahmad, dengan mensyarah Gharib-nya (kata-kata yang asing,unik) lalu menilai kualitasnya dari sisi keshahihan dan ke-dha’if-annya sesuai dengan ijtihad yang mampu dikerahkannya. Kemudian ia membuat Faharis (index) dengan membaginya kepada dua bagian: Faharis lafazh seperti faharis untuk tokoh dan semisalnya; Faharis ‘Ilmiah seperti yang dibuatnya pada kitab ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i. Beliau wafat sebelum sempat menyempurnakannya. Apa yang telah dikerjakannya mencapai hampir seperempatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?