Para pemikir Islam kontemporer berupaya keluar dari bingkai pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an yang kaku, hanya berpatokan pada riwayat semata, tidak melihat realitas umat Islam dan pembacaan terhadap kondisi masyarakatnya dalam teks-teks Al-Qur’an. Hal ini seolah-olah tertekan di bawah
tutup baja bahasa, historisitas, teologis, kerohanian dan hukum masa lampau. Bahkan ada kesan seolah-olah Al-Quran tidak membumi, sehingga Quraysh Shihab menulis buku berjudul ‘Membumikan Al-Qur’an’.
Berbagai pendekatan dilakukan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an sesuai teks, konteks dan kontekstualisasi. Fazlur Rahman dalam teori double movementnya menggunakan metode 2 langkah, yaitu : Pertama, bergerak dari sistuasi sekarang ke situasi Al-Qur’an diturunkan, yaitu menggali situasi dahulu, mencari nilai dari perintah (ayat) yang diturunkan dalam merespon peristiwa yang terjadi di masa wahyu, Kedua, setelah menemukan prinsip umum, maka dikembalikan pada masa sekarang untuk diterapkan dan jika perlu diubah dalam bentuk dimana nilai-nilai Al-Qur’an bisa diterapkan.
Arkoun mencoba mendekati hermeneutika Al-Qur’an lewat ilmu antropologi, analisis bahasa, dan semiotika. Bagi Arkoun analisis semiotika adalah upaya ‘pembebasan’ yakni pembebasan dalam membaca dan memahami teks, untuk kemudian bisa keluar dari beban-beban ideologis, politik, citra dan angan-angan yang telah dan sering diselewengkan, namun tanpa disadari telah membelenggu kita. Shahrur mencoba membaca Al-Qur’an lewat teori-teori dan pandangan ilmu modern yang dia yakini mampu mengantarkannya kepada kebenaran yang lebih tepat, walaupun kebenaran itu tidak bersifat absolut, mungkin bersifat lokal dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman/pergantian masa.
Nasaruddin Umar dari kalangan pemikir Muslim Indonesia menganggap metode hermeneutika dapat digunakan untuk memahami teks, termasuk di dalamnya teks-teks kitab suci. Hermeneutika menyuguhkan filosofi pemaknaan teks yang lebih mendalam, sehingga terjalin hubungan interaktif antara manusia dan teks. Qurays Shihab mengatakan bahwa kumpulan kata yang terucap atau tertulis tidak dapat dipahamai secara baik dan benar kecuali dengan mengenal secara baik pembicara, mitra bicara, konteks pembicaraan, kondisi sosial, kultural, dan psikologis ketika teks disampaikan.Dapat dipahami bahwa hermeneutika adalah perbincangan tentang persoalan pemahaman atau penafsiran manusia terhadap realitas di sekelilingnya, termasuk di dalamnya agama dan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum yang mengitarinya (an nas wa ma haulahu) baik yang menyangkut tentang teori, metode, pendekatan, filosofi aliran-aliran, tokoh, maupun tema, isu-isu aktual dan seterusnya. Meskipun demikian, metode hermeneutika terhadap penafsiran Al-Qur’an tidak dapat diterima sepenuhnya oleh para pemikir muslim dan para ulama lainnya, dengan beberapa alasan, antara lain :
Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia, asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks semula yang dianggap suci belakangan diragukan keasliannya. Bila diterapkan pada Al-Qur’an, hermeneutika otomatis akan menolak status Al-Qur’an sebagai kalamullah, mempertanyakan otensitasnya, dan menggugat kemutawatiran mushaf Utsmani
Kedua, dekonstruksi konsep wahyu. Hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah/budaya, padahal Al-Qur’an diyakini adalah firman Allah lafzhan wa ma’nan. Ketiga, hermeneut dituntut bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran darimanapun datangnya, di mana makna selalu berubah, hal ini cocok untuk Bible yang telah mengalami gonta ganti bahasa dan memuat banyak perubahan, tetapi tidak cocok untuk Al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutik menghendaki pelakunya memiliki relativisme epistemologi. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Kebenaran terikat dan tergantung pada konteks tertentu, hal ini akan mengaburkan dan menolak kebenaran, juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu.
Kelima, curiga dan dan mencerca ulama Islam. Para pendukung hermeneutik dipandang tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap para ulama Islam yang terkemuka.
Walaupun terdapat penolakan terhadap metode hermeneutik dalam penafsiran Al-Quran yang dianggap merupakan produk Jahiliyyah, dan dianggap tafsir dan hermeneutika tidak identik, akan tetapi banyak juga persentuhan antara tafsir dan hermeneutika. Persentuhan tersebut antara lain adalah :
Pertama, dalam hermeneutika dikenal pemahaman kebahasaan, sementara di dalam tafsir pemahaman kebahasaan seperti nahwu, balaghah, bayan, ma’ani juga dibutuhkan. Kedua, dalam hermeneutika dikenal teori historical text, dimana teks perlu dicari maknanya berdasarkan makna teks saat dia ditulis, dekat dengan ilmu Asbabun Nuzulpada tradisi tafsir.
Ketiga, di dalam hermeneutik dikenal adanya pengaruh psikologi penulis teks atau dalam kajan tafsir bisa berarti juga psikologi penafsir yang juga mempengaruhi tafsir terhadap teks Al-Qur’an, di dalam tafsir juga dikenal ada penafsir yang beraliran/cenderung melakukan pendekatan sufistik, hukum, teologis (Asy’ari, Mu’tazilah, Wahabi, Syiah dll). Keempat, di dalam hermeneutik ada keterlibatan triangle circle (3 unsur) antara pengarang (author), penafsir dan audiens, demikian juga dalam tafsir ada keterkaitan antara penafsir dan umat (audiens). Sebagian ulama tafsir melakukan pendekatan sosio cultural masyarakat dimana dia hidup.
Contoh sederhana ketika Allah berfirman dalam QS. Ar Rum 30 : 41 :
Abu Bakar menafsirkan yang dimaksud dengan lautan dalam ayat ini adalah hati dan daratan adalah lisan. Sedang Ibnu Abbas menafsirkan kurangnya berkah disebabkan amal perbuatan manusia agar mereka mau bertaubat. Dalam konteks keindonesiaan saat ini, pengrusakan daratan bisa ditafsirkan pembakaran hutan, kabut asap, lumpur Lapindo dan lainnya sedangkan pada masa Nabi di tanah Arab hutan tidak ada. Konteks pemahaman ayat pada konteks kekinian termasuk bagian hermeneutik.
Komentar
Posting Komentar