Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya mengenai bayi tabung menyatakan bahwa sebagai berikut :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri
kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram beraasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya)
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pbhasangna suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah bayi tabung. Dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang Yogyakarta pada tahun 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung ini, di antaranya adalah:
1. Apabila mani yang ditabung dan dimasukkan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a, seperti yang telah pemakalah kutip di atas.
2. Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah mani yang dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'.Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Bujairimi ‘ala al-Khatib :
(والحاصل) المراد بالمنى المحترم حال خروجه فقط على مااعتقده (م ر) وإن كان غير محترم حال الدخول وتجب العدة به إذا طلقت زوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر أن يكون محترما في الحالين كما قرره شيجنا]
Artinya: Kesimpulan adalah bahwa yang dimaksud dengan sperma yang terhormat itu adalah hanya cara keluarnya saja, senagaimana yang di yakini oleh Imam Ramli, walaupun tidak terhormat ketika masuk (saat bersetubuh). Karenanya maka wajib ber’idah jika wanita tersebut dicerai sebelum disetubuhi sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, berbeda pendapat dengan pendapat Ibnu Hajar tang menganggapntya sebagai sperma terhormat baik saat keluar ataupun masuk sebagaimana yang di tetapkan oleh syaikhuna Ibnu Hajar.
Jadi, yang dimaksud dengan Mani muhtaram adalah mani yang dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara seperti dikeluarkan oleh istri. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam Taqiyuddin dalam Kifayatu al-Akhyar:
لو استمنى الرجل منيه بيد إمراته جاز لأنه محل إستمنعها[
Artinya: Seandainya seorang lelaki mengeluarkan spermanya (dangan beronani) dengan tangan istrinya atau budak wanita, maka hal tersebut boleh karena istri dan budaknya itu memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.
3. Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).Persoalan bayi tabung pada manusia merupakan persoalan baru muncul di zaman modern, sehingga terjadi masalah fiqh kontemporer yang pembahasannya tidak dijumpai dalam buku-buku fiqh klasik. Karena itu pembahasan bayi tabung pada manusia di kalangan para ahli fiqh kontemporer lebih banyak mengacu kepada pertimbangan kemaslahatan umat manusia,khususnya kemaslahatan suami istri.
Berdasrkan beberapa uraian yang telah pemakalah kemukakan di atas maka dapat dipahami bahwa Bayi tabung dengan sel sperma dan ovum dari pasangan suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim orang lain (ibu titipan)diperbolehkan Fiqih Islam, jika keadaan kondisi suami istri benar-benar memerlukannya. Bayi tabung dengan cara sperma atau sel telur donor diharamkan dalam Fiqih Islam, hukumnya sama dengan zina dan anak dari bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar perkawianan yang sah. Menyewa rahim wanita lain untuk menanam janin hasil pembuahan bayi tabung hukumnya haram menurut Fiqih Islam, meskipun itu dalam bentuk apapun termasuk rahim istri kedua (madu dari istri yang punya sel telur). Sebab mudharatnya lebih banyak.
Komentar
Posting Komentar