Status Anak Di Luar Nikah menurut kompilasi hukum Islam
Dalam masalah status anak, KHI (Kompilasi Hukum Islam) menjelaskan nya yaitu:
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut
Pasal 100 :
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101 :
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 99 di atas mengandung pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim isteri, dan dilahirkan juga oleh isteri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara suami dan isteri yang terikat oleh perkawinan yang sah.
Pasal 102 Kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya.
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.[4]
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Alquran memberi petunjuk yang jelas tentang masalah ini.
Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari firman Allah swt :
وَحَمْلُهُ وَفِصاَلُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْراً...(الأحقاف : 15)
Artinya : “...Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan (dua setengah tahun, pen)”. (QS. Al-Ahqaf, 46:15).
حَمَلَتْهُ اُمٌُهُ وَهْناً عَلىَ وَهْنٍ وٌَ فِصاَلُهُ فِيْ عاَمَيْنِ...(لقمان : 14)
Artinya : “...Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun...”. (QS.Luqman, 31:14).
Kedua ayat tersebut, oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti, bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan.
Oleh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan, tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepad ibu dan keluarga ibunya saja (pasal 100 KHI). Pendapat semacam ini, boleh jadi terasa kaku. Tetapi apabila semua pihak konsisten dengan gagasan Alquran yang menekankan pembinaan moral, tentu akan dapat menyadari dan memakluminya. Persoalan pokok, sesungguhnya terletak pada kejujuran seorang perempuan yang sedang mengandung di luar perkawinan itu sendiri, atau setidak-tidaknya dalam keadaan tertentu meski telah bersuami, ia – dalam hati kecilnya - tahu bagaimana sesungguhnya nasab bayi itu, jika ia melakukan selingkuh dengan laki-laki lain.
Pelaksanaan dari ketentuan pasal ini, besar kemungkinan akan mendatangkan kesulitan, setidaknya bagi pihak-pihak yang telah terlanjur hamil dahulu, sebelum akad nikah dilaksanakan, termasuk dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah.
Komentar
Posting Komentar