Prosedur pengajuan gugatan terhadap hak asuh anak
Prosedur pengajuan gugatan terhadap hak asuh anak :
Dalam memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu. Jadi tidak heran banyak permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik didalam persidangan maupun diluar persidangan. Kalaupun ada, satu-satunya aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak ada dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan :
“Dalam hal terjadi perceraian :
a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.
Adapun prosedur pengajuan hak asuh anak termasuk dalam kumulasi perkara acara permohonan cerai mengingat bahwa hak asuh anak terjadi sebagai akibat dari adanya perceraian. Permohonan ini dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 66 (5) UU-PA) kumulasi ini merupakan ketentuan khusus.
Cara mengajukan perkara hak asuh anak di pengadilan agama :
- Persyaratan Umum :
· Membayar panjar biaya perkara yang telah ditentukan
- Persyaratan Hadlonah/ Hak Asuh Anak :
a. Surat gugatan atau permohonan
b. Fotocopy surat nikah atau akte cerai Pemohon 1 lembar dengan materai Rp. 6000,-
c. Foto copy KTP satu lembar folio (tanpa dipotong)
d. Foto copy akta kelahiran anak yang akan diasuh atau surat keterangan dokter/ bidan 1 lembar materai Rp. 6000,-
e. Surat keterangan gaji/ penghasilan (bagi PNS/TNI/POLRI)[3]
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada aturan yang jelas mengenai pentapan hak asuh anak, dalam memutuskan perkara tersebut hakim juga harus mempertimbangkan tentang konsepsi perlindungan anak mengingat pengertian dari hak asuh anak itu sendiri adalah hak anak mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari orang tuanya . Sebagaimana yang diatur UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif asas-asas:
a) Nondiskriminasi
b) kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d) penghargaan terhadap pendapat anak.
Jadi dalam perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak, Hakim sebelum memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dapat meminta pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak terlepas dari kewajiban Hakim untuk memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan.
Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :
"Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan" Berdasarkan ketentuan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 diatas maka jelas dan tegas Hakim dapat meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”. Untuk meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”, hakim harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia si anak.
Komentar
Posting Komentar