Tradisi suku Tingkeban dijawa


Khusus yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di Desa Sidomulyo, tentunya sudah kombinasi dari berbagai macam tradisi dan ajaran. Melihat landasan historis tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yaitu berasal dari ajaran agama Hindu bukan berarti apa yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang notabene muslim di Sidomulyo adalah salah bentuk dari pengamalan ajaran agama Hindu. Hal ini, hanya bentuk keterpengaruhan dan warisan dari pendahulu (Seperti Sunan Kalijaga) yang berdakwah di tanah leluhur (pulau Jawa) dengan melakukan transformasi ajaran Islam melalui budaya dan tradisi yang berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut masyarakat Jawa.
Hal ini diakui oleh sesepuh adat di Sidomulyo bahwa tradisi adat Jawa adalah warisan dari para leluhur, seperti apa yang dilakukan oleh kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau kita lihat pola dakwah yang dikembangkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga adalah melalui tradisi atau budaya yang dianut oleh masyarakat kala itu. Hal ini yang menjadi salah satu factor keberhasilan dakwah Islam khususnya yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Makanya, dalam ritual tradisi adat Jawa, seperti tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dalam pembukaan yang dipimpin oleh sesepuh adat yang disebut ngujutne (pembukaan ritual) selalu diterakan nama kanjeng Sunan Kalijaga. Sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Pardi (Sesepuh Adat Jawa di Sidomulyo) kepada penulis.
Secara lengkap, dalam setiap ritual tradisi adat ada proses ngujutne terlebih dahulu. Penulis dalam hal ini sering mengikuti tradisi ritual adat di Sidomulyo dan sering mendengar bagaimana sesepuh adat itu memulai acara tradisi ritual adat Jawa. Adapun konsep ngujutne, itu adalah sebagai berikut:
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mugi kalian matur dumateng poro Bapak lan sederek kulo, ingkang sami pelenggahan wonten panggenan nipun. Boten namung kulo di sambut wiraos kulo seklima dumateng kapure bageaken rawuh ipun Bapak lan ngaturaken sembah pangabekti dumateng pernah sepah la ngaturaken dumateng pernah nem sumrambah skadangepun. Boten among panjenengan sedoyo kerso ngilangken langkah bucal tempo sauntawes memenuhi undanganepun. Kapure anakseni niatipun bade ningkepi ingkang putro lan putri meniko dinten ingkang kepengker nampi rezeki sangking pangeran rupinikun nur Muhammad juluk ipun kunan jabang bayi ingkang dipun kandung mulai sewulan sehinggo pitung wulan. Derek adat meniko lan dipun tingkepi lan di pitung wulani. Senjeng titiwancine kunang jabang bayi lahir ampun enten alangan sak tunggal penopo. Ngajeng dumogineng wingking botenanmung ngedalaken rezekineng pangeran meniko terbagi sepindah ngedalaken bubur petak miwah abret. Bubur petak mukani sumerep roh sangking bopo, bubur abret mukani sumerep roh sangking biung, juluk ipun wamuko rahmuko kakang kawah adi ari-ari, kakang barep adineng ragil. Tebih tampowangenan, celak tampo senggolan. Milo dingabeteni ampunenten alangan sak tunggal penopo. Ngajeng dumugineng wingking sekul suci ulam sari kangge mukani sumerep kanjeng nabi Muhammad sak kerabat, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali nilo dihormati sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken pisang ayu sekar arum nyukani sumerep mbok dewi pertimah ingkang jumeneng wonten Mekah Medinah. Milo dimangebateni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken jajan pasar mukani sumerep malaikat ingkang bagi rezeki milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken panggang mukanen sumerep kanjeng sunan kalijogo ingkang jagi sak lebet ipun wangon sak jawanipun kurung lan sak jawinipun karang sagetombangsulono selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken ambengan kangge mukani sumerep kaki datok nini datok kaki danyang nini danyang seng barekso. Milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken sekul gulung nukani sumerep dinten pitu pekenan gangsal, sasi rolas windu wolu, wuku tigang doso, tahun sekawan papat jatingarang sak peninggalane, milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken among mukani sumerep kaki among nini among ingkange mong kunang jabang bayine ingkang dipun kandung binjing titiwancineng kunang jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Poro lencang lan poro sederek nyambut sederek nyambul damel wonten pawon mendek tuyo secawu’an ron setuek kajeng seceklek ingkang dipun damel di tedeni sawa pandungone ingkang dipun ducal ampun dadake kulo dadeake coyo nur coyo neng cekap semonten atur kawulo menawi lepat nuwun pangapunten menawi enten kekirangane anggen kulo ngekralaken nuwun mapan panggenan kiambak-kiambak lan nuwun pangapunten du mateng bapak sederek kulo ingkang pelenggahan boten among kulo sampuni. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Adapun kandungan dari “ngujutne” ini adalah proses tradisi ritual adat dari tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang paling penting terkandung dalam prosesi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) sebagaimana terdapat dan diulang berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo” (Bayinya lahir dengan selamat, tidak ada halangan sedikitpun, semuanya lancar dan sehat wal’afiat). Secara rinci proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dapat dikemukakan sebagai berikut:   
Pertama, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar setaman oleh para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh (pitu) orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun(pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan.  
Kedua, setelah siramanselesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang  agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan. 
Ketiga, wanita hamil lalu berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan diakhiri dengan kain bermotif sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini, dapat dirunut dari makna kata sidamuktiyang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Hal ini sekaligus terkandung harapan agar kelak anak yang dilahirkan dapat mendapat kemuliaan dan kesenangan hidupnya.
Keempat, kain sidamuktiyang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan. 
Kelima, seorang suami memegang kelapa gading muda, kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari wanita hamil). Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah selesai, calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut yang masih hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke dalam sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah) tanpa pamit. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang dilepaskan pada sela-sela kain, harus dikejar oleh suami sampai tertangkap, merupakan lambang agar kelahiran bayi nanti dapat lebih cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian merupakan pola pemikiran asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin dibandingkan dengan kelahiran bayi.   
Keenam, seusai acara siraman di krobongan (luar rumah), ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak.Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki.
Ketujuh, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
(1)         Tumpeng kuat,yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu dibuat paling besar dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh menggambarkan umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai lambang agar bayi yang lahir sehat wal afiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin.
(2)         Keleman, yaitu sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela, gembili, kentang, wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup sederhana.
(3)         Rujakan dan dhawet ayu,yang terdiri dari jeruk, mentimun, belimbing, pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan.
Sega megana,yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?