Teori at-Tufi tentang Maslahat
Teori at-Tufi tentang Maslahat
Pandangan at‑Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) hadis nomor 32 hadis Arba'in Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi "la darara wa la dirara" artinya "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain". Bahasan at‑Tufi mengenai hadis nomor 32 tersebut dikutip secara utuh dan lengkap yang bersumber dari bahasan Syaikh Jamaluddin al‑Qasimi seorang ulama Damaskus yang telah berupaya memisahkan bahasan at‑Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di dalam risalah tersebut. Kemudian majalah al‑Manar No. IX/10, Oktober 1906 memuat risalah at‑Tufi berikut syarahnya secara lengkap.[1]
Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas Dar al‑Ulum memilih sebuah bahasan at‑Tufi dan pendapatnya tentang maslahat sebagai judul risalahnya. Referensi yang dijadikan rujukan untuk penelitian Mustafa Zaid, di samping untuk memperkuat risalah at‑Tufi, ia menggunakan dua manuskrip yang tersimpan di perpustakaan at‑Taimuria milik Dar al‑Kutub al‑Misriyah, yang memuat syarah at‑Tufi mengenai hadis Arba'in Nawawi, manuskrip pertama terdaftar pada nomor 328 kelompok hadis. dan kedua terdaftar pada nomor 446 kelompok hadis. Ia juga menggunakan risalah Syaikh Jamaluddin al‑Qasimi, majalah al‑Manar No. IX/10, 1906. Dalam kaitan ini ia mengadakan studi komparatif dan penelitian di antara sumber‑sumber tersebut mengenai risalah at‑Tufi sehingga karyanya tersebut membuahkan tulisan mengenai risalah at‑Tufi yang disunting secara bagus.[2]
Sumber yang penulis gunakan dalam pembahasan tulisan ini adalah risalah at‑Tufi yang dimuat dalam tiga sumber, yaitu buku al‑Maslahat fi at‑Tasyri'i al‑Islami wa Najamuddin at‑Tufi pada bagian lampiran halaman 13‑48 karya Mustafa Zaid yang diterbitkan oleh Dar al‑Fikr Kairo pada tahun 1954, dan buku Masadir at‑Tasyri'i al‑Islami Fima la Nassa fih halaman 105‑144 karya Abdul Wahhab Khallaf yang diterbitkan oleh Dar al‑Qalam Kuwait pada tahun 1972, dan juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li al-Imam at-Tufi terbitan Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, hlm.13-47. Ketiga buku tersebut memuat teks risalah at‑Tufi tentang Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah hadis nomor 32.
Dalil Syara'
Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil‑dalil syari'at itu terdiri dari sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah tercakup di dalam macam‑macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah : (1).al‑Kitab, (2). as‑Sunnah, (3). Ijma' al‑Ummah, (4). Ijma' ahl al‑Madinnah, (5). al‑Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al‑Mursalah, (8). al‑Istishab, (9). al‑Bara'ah al‑Asliyyah, (10). al‑'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az‑Zara'i, (13). Istidlal, (14). al‑Istihsan, (15).al Akhzu bi al‑Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al‑'Ismah, (17). ijma' ahl al‑kufah, (18). Ijma' ahl al‑'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al‑Khulafa' al‑Rasyidin.[3]
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at, maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak.[4]
Dari sembilan belas dalil tersebut , dalil terkuat adalah nas dan ijma'. Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nas, ijma' dan maslahat, yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.[5]
Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung madarat sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung madarat , terkadang madarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian . Jika mudarat yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd, uqubat dan jinayat. Jika pengertian darara (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men‑takhsis, wajib di‑takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirara, dengan pengertian mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.[6]
Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[7]
[1]At-Tufi, Syarh al-Arbain an Nawawiyah dalam Abdul Wahhab Khallaf, masadir at‑Tasyri' al‑Islami Fima la Nassa fih, (Kuwait: Dar al‑Qalam, 1972), hlm.105.
[2]Ibid. dan lihat juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li al-Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), hlm.13-47.
[3]Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi ( Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), hlm.13-18.
Komentar
Posting Komentar