Tafsir Sufi Isyari
Tafsir Sufi Isyari.
Kaum sufi sejak dahulu telah berusaha untuk menemukan sandaran kepada nash-nash Alquran bagi ajaran mereka, dan berusaha mengambil ayat-ayat Alquran sebagai tonggak yang akan menguatkan langkah dan jalan mereka. Kaum sufi melihat bahwa ada ide-ide yang dalam, terperinci yang tersembunyi di balik dalalah lafziah sebuah ayat. Mereka berpendapat bahwa makna hakiki dari penurunan Alquran ini tidak akan ada habisnya hanya pada makna pada bentuk zahirnya saja, tetapi ada makna yang zahir/jelas dan bathin/samar. Dan yang paling penting adalah hendaklah disandingkan kedua arti itu.
Kaum sufi berpendapat bahwa ilmu isyarah adalah ilmu tentang rahasia-rahasia dalam Alquran dengan jalan mengamalkannya,[1]mereka menamakannya, mazhab ahlu sufwah dalam menyimpulkan dengan benar apa yang dapat difahami dari Alquran.
Allah SWT. berfirman;
ا فلا يتدبرون القرأن أم على فلويهم أقفالها
Dan nabi Muhammad SAW bersabda;
من عمل بما علم ورثه الله نعالى علم ما لم يعلم
‘’Barang siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, niscaya Allah SWT. akan memberikannya ilmu tentang apa yang belum ia ketahui’’
Yaitu ilmu yang tidak ada pada ahli ilmu (ilmuwan lainnya).
Sedangkan iqpalul qulub (hati terkunci) adalah karat yang ada pada hati, karena banyaknya dosa, mengikuti hawa nafsu, mencintai dunia, kelalain yang panjang, ketamakan yang sangat, mencintai kesejahteraan, mencintai pujian dan sanjungan. Dan lain sebagainya yang termasuk dari kesesatan dan kelalaian, pelanggaran dan pengkhianatan.
Apabila Allah SWT. telah melepaskan hal itu dari hati, yakni dengan bertaubat yang baik, dan penyesalan atas perbuatan zalim yang ia lakukan, maka Allah SWT. akan membukakan hati yang terkuci tersebut., dan memberikan bekal, faedah dari hal-hal yang ghaib kepada orang tersebut. Maka dengan begitu seorang yang telah diberikan hal tersebut akan bisa menta’birkannya (mengkalimatkan) dalam menerjemahkan al-qur’an, yaitu dengan lidah yang bisa berbicara tentang keghoriban (keanehan) hikmah dan keghoriban ilmu.
Allah SWT. berfirman;
أفلا يتدبرون القرأن ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا (النساء 82)
‘’Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an. Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah SWT. , tentulah mendapatkan pertentangan yang banyak didalamnya’’.
Hal itu menujukkan bahwa dengan merenungkan Alquran Al-karim mereka menyimpulkan sesuatu darinya (mengambil sari pati), karena seandainya Alquran bukan dari sisi Allah SWT. mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.
Kaum sufi juga berpendapat bahwa dalam satu huruf Alquran Al-karim ada banyak yang bisa difahami, tapi hal itu tersimpan bagi orang yang mengetahuinya saja dan tergantung sebara besar ia diberi pemahaman oleh Allah Swt.[2] Untuk hal itu mereka mengajukan dalil;
و إن من شيئ إلا عندنا خزائنه و ما ننزله إلا بقدر معلوم (الحجو 21)
‘’Dan tidak ada sesutau apapun melainkan di sisi kamilah khazanahnya, dan kami tidak menurunkan melainkan dengan ukuran yang tertentu’’
Kaum sufi berpendapat bahwa kata من شيئ berarti sesuatu dari ilmu agama, ilmu ahwal (keadaan) antara Allah SWT. dan hambanya, dan lain sebagainya. Seseorang hanya akan sampai kepada hal itu bila merenungkan Alquran, memikirkannya dan menyadarinya, menghadirkan hatinya ketika membacanya.
Abu Said Al-Khurroz berpendapat bahwa apabila seorang hamba sudah berkumpul dengan tuhannya, maka perhatiannya tidak akan tertuju kepada selain Allah SWT. sedikitpun, maka pada saat itu ia akan mendapatkan hakikat pemahaman ketika membaca Alquran, yang tidak ada pada manusia lainnya’. Ia juga berkata bahwa setiap kali ada satu huruf yang ada dalam Alquran Al-karim, maka di situ ada pemahaman yang lain dari pemahaman orang lain, sesuai dengan kedekatan seseorang kepada Allah Swt., kehadiran hati waktu membacanya, kecintaan kepadaNya, kesucian dzikir, dan kedekatan, karena perbedaan pada hal inilah makanya ada tingkatan dalam memahami Alquran.[3]
Apa yang dipahami dari Alquran hanyalah sebatas apa yang dibukakan Allah bagi hati para wali-walinya. Kalamullahitu bukanlah makhluk, maka pemahaman makhluk tidak akan pernah sampai kepada batas kalamullah tersebut, karena manusia adalah makhluk, dan pemahamannya juga adalah makhluk yang ada awalnya.
Kaum sufi berpendapat bahwasanya kunci untuk pemahaman yang mendalam dan merinci untuk memahami Alquran adalah mengamalkan Alquran itu sendiri.[4]Karena itu Abu Said Al-Khurraz berkata;’awal pemahaman terhadap Alquran Al-karim adalah mengamalkannya, karena didalamnya terkandung ilmu, pemahaman, dan pengambilan kesimpulan, juga awal pemahan untuk Alquran adalah dengan menyimak dan memperhatikan wahyu Allah SWT. ;
إن قى ذالك لذكرى لمن كان له قلب أو ألقى السمع و هو شهيد (ق 37)
‘’Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benra terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikan.’’.
Begitulah kaum sufi melangkah dalam jalan mereka yang khusus untuk mereka. Mereka mengatakan kepada kita bahwa mereka berdiam memikirkan satu dari banyak ayat dalam Alquran hingga bermalam-malam, mereka merenungkannya, dan mengambil kesimpulannya, dan melihat kepada keajaiban yang menarik bagi mereka, hingga hampi-hampir gila.[5]
Kadang-kadang kaum sufi ini memang benar dalam memahami Alquran Al-karim dengan isyarah yang mereka maksudkan, orang-orangpun bisa memerima perkataan mereka, seperti perkataan Abu Bakar al-Kittani ketika ia ditanya tentang ayat;
إلا من أتى الله بقلب سليم (الشعراء 89)
‘’Kecuali orang-orang yang menghadap Allah Swt. dengan hati yang bersih’’
Beliau mengatakan;’ yang dapat difahami dengan qalbun salim, ada tiga sisi/macam: salah satunya adalah orang yang bertemu dengan Allah Swt. dan di hatinya tidak ada sekutu Allah Swt. Yang kedua adalah orang yang bertemu dengan Allah Swt. dan dihatinya tidak ada kerisauan terhadap Allah dan tidak menginginkan kecuali Allah. Yang ketiga adalah orang yang bertemu dengan Allah SWT. dan tidak ada bersamanya kecuali mengingatNya dan takut padaNya.
Imam Ghazali-yang tidak melarang penafsiran dengan tafsir sufi ini, jikalau tafsir tersebut tidak mempermudah/memperluas batas-batas bolehnya bersandar kepada rumus dan isyarahyang mereka fahami-menafsirkan ayat; فاخلع نعليك ‘’Maka lepaskankanlah sandalmu’’
Tapi juga sebagian dari mereka kadang telah menyimpang dalam menakwilakan al-qur’an, hingga orang lain teracuni. Beberapa contoh kesalahan mereka dalam menafsirkan ayat adalah seperti berikut;[6].
الم يجدك يتيما فأوى (الضحى 6)
(bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu),
mereka berpendapat kata yatim berati mutiara yang tiada duanya.
Sebagian lagi malah sungguh aneh pendapatnya, sungguh aneh yang melebihi batas. Seperti pendapat mereka tentang; sesungguhnya Alquran Al-karim itu dimulai dengan huruf Ba dalam ayat يسم الله الرحمن الرحيم (الفاتحة 1) dan berkhir dengan huruf sin, seperti dalam ayat من الجنة و الناس (الناس 6) , kedua huruf itu membentuk kata بس yang berati cukup, artinya cukuplah Alquran ini, manusia tidak akan membutuhkan kepada selain Alquran Al-karim.
Ada banyak tokoh yang membela dan menyerang bentuk penafsiran isyari shufi ini. Tapi kesemuanya itu bermuara kepada bahwa apabila penafsiran tersebut tidak melenceng dari zahirnya ayat, maka pada dasarnya tidaklah masalah.[7]
Perbedaan tafsir isyari dengan isyari as-shufi adalah bahwa penekanan pada isyari adalah makna yang muncul yang kemudian tidak bertentangan dengan makna zahir ayat, sedangkan isyari as-shufi berprinsip bahwa makna utama dan hakiki dalam sebuah ayat adalah makna isyarinya.[8]
Komentar
Posting Komentar