Penulisan dan Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke 2 H)
A. Penulisan dan Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan Hadis secara resmi,[1]hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya Hadis dan wafatnya para ulama Hadis.[2]Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara Hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.
Ada perbedaan dalam penghimpunan Hadis dengan Alquran. Hadis mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan Alquran yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek.[3] Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan Hadis disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab Hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.[4]
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah Hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan Hadis-hadis tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[5]
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan Hadis telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian Hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan Hadis yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah, hadis yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.[6]
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadis-hadis Nabi.[7]Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa Hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga bahagian dari agama.[8]
Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama Hadis yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada Hadis-hadis fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.[9]Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian Hadis itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat Hadis Nabi SAW dan fatwa ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama
1] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, (Jakarta :Mutiara Sumber Widya,2001) cet I.h.125.
[2] Shubhi ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh (Libanon: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977), h. 45.
[3] Ibid., h. 83.
[4] Shubudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis(Bandung: Angkasa, 1991), h. 69.
[5] Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 97.
[6] Mun'im Qindil, Kehidupan orang-orang Shaleh (Semarang: Asy Syifa', t.t ), h. 209.
[7] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 106.
[8]Abuddin Nata, Alquran dan Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 158.
[9] Ibid., h. 159.
Komentar
Posting Komentar