Indeks Saham Konvensional dan Indeks Saham Islam
Indeks Saham Konvensional dan Indeks Saham Islam
Indeks Islam tidak hanya dapat dikeluarkan oleh pasar modal syariah saja tetapi juga oleh pasar modal konvensional. Bahkan sebelum berdirinya institusi pasar modal syariah di suatu negeri, bursa efek setempat yang tentu saja berbasis konvensional terlebih dahulu mengeluarkan indeks Islam. Di Bursa Efek Jakarta misalnya, PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) bekerja sama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM) meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) sebelum pasar modal syariah sendiri diresmikan.[1]
Adapun tujuan diadakannya indeks Islam sebagaimana Jakarta Islamic Index yang melibatkan 30 saham terpilih, yaitu sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja investasi pada saham yang berbasis syariah dan meningkatkan kepercayaan para investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah,[2]atau untuk memberikan kesempatan kepada investor yang ingin melakukan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.[3]
Perbedaan mendasar antara indeks konvensional dengan indeks Islam adalah indeks konvensional memasukkan seluruh saham yang tercatat di bursa dengan mengabaikan aspek halal haram, yang penting saham emiten yang terdaftar (listing) sudah sesuai aturan yang berlaku (legal). Akibatnya bukanlah suatu persoalan jika ada emiten yang menjual sahamnya di bursa bergerak di sektor usaha yang bertentangan dengan Islam atau yang memiliki sifat merusak kehidupan masyarakat. Misalnya pada awal tahun 2003 yang lalu, di Australia ada rumah bordir (pelacuran) yang masuk ke bursa efek setempat.
Secara lebih rinci Dow Jones dalam websitenya membuat kriteria saham yang tidak boleh dimasukkan ke dalam perhitungan Indeks Pasar Islam (DJ Islamic Market Indexes), yaitu perusahaan yang bergerak dalam produksi :
· Alkohol (minuman keras)
· Babi dan yang terkait dengannya
· Jasa keuangan konvensional / Kapitalis, seperti bank dan asuransi
· Industri hiburan, seperti hotel, kasino dan perjudian, bioskop, media porno dan industri musik.
Dow Jones juga mengemukakan pendapat para sarjana Islam agar tidak berinvestasi pada perusahaan yang terkait dengan tembakau dan rokok serta industri senjata pemusnah massal.[4]Sementara itu, FTSE dalam papernya yang berjudul Ground Rules for the Management of the FTSE Global Islamic Index Series mengemukakan bahwa saham perusahaan yang dimasukkan ke dalam indeks Islam tidak boleh bergerak dalam bidang :
· Perbankan dan bisnis keuangan lainnya yang terkait dengan bunga (interest)
· Alkohol
· Rokok
· Judi
· Pabrik senjata
· Asuransi jiwa
· Peternakan babi, pengepakan dan pengolahan atau hal-hal lainnya yang terkait dengan babi.
· Sektor / perusahaan yang siknifikan dipengaruhi oleh hal-hal yang disebutkan di atas.
· Perusahaan yang memiliki beban utang ribawi dengan persentasinya terhadap aset perusahaan melebihi batas-batas yang diijinkan hukum Islam.[5]
Pada Bursa Efek Jakarta (BEJ), menurut Adiwarman dari 333 emiten yang tercatat 236 saham di antaranya tergolong sesuai syariah. Sedangkan sisanya 59 saham tergolong “haram” atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti saham perbankan, minuman keras dan rokok. Sisanya 34 saham tergolong subhat seperti saham industri perhotelan dan empat saham mudharat.[6]
Dari uraian di atas dapat ditarik garis pemisah antara indeks Islam dan indeks konvensional. Pertama, jika indeks Islam dikeluarkan oleh suatu institusi yang bernaung dalam pasar modal konvensional, maka perhitungan indeks tersebut berdasarkan kepada saham-saham yang digolongkan memenuhi kriteria-kriteria syariah sedangkan indeks konvensional memasukkan semua saham yang terdaftar dalam bursa efek tersebut. Kedua, jika indeks Islam dikeluarkan oleh institusi pasar modal syariah, maka indeks tersebut didasarkan pada seluruh saham yang terdaftar di dalam pasar modal syariah yang sebelumnya sudah diseleksi oleh pengelola.
Komentar
Posting Komentar