Bidang Hukum Berlakunya Maslahat at-Tufi

Bidang Hukum Berlakunya Maslahat at-Tufi
            Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat, sebagaimana telah kami tetapkan. Maslahat dan dalil‑dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum‑hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh‑contoh lain yang serupa dalam hal dalil‑dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentan­gan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpa­duan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar‑benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil‑dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil‑dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.[1]
            At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah‑masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis ‑ bukan pada masalah‑masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak‑hak mereka di dalam memu­tuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.[2]
            Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat‑maslahat manusia karena dalil‑dalilnya harus dia­mbil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya. Kami mene­tapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat.[3]
            Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa  maslahat‑maslahat yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat. Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan hak‑hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami untuk mencari maslahat sendiri.



[1]Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi ( Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), hlm.13-18.
[2]Ibid, hlm.47.
[3]Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?