Apakah keberadaan Jaringan Islam Liberal Membawa Kesesatan?
Jaringan Islam liberal (JIL), sebelumnya disebut juga dengan Islam liberal (JIL), atau Islib sebagai akronim dari Islam liberal. Dikalangan Islib dikenal pula suatu istilah lain yang dipandang mengambil posisi yang berbalikan dari Islib, yaitu Isfun singkatan dari Islam Fundamentalis. JIL dikenal juga dengan nama KUK (Kelompok Utan Kayu). Forum ini berpusat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, tanah milik jurnalis dan intelektual bernama Gunawan Mohammad.
Karena bekerjasama dengan berbagai pihak yang berbentuk jaringan, kelompok tersebut lalu disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal).
Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah forum intelektual terbuka yang membincangkan dan menyebarkan faham ‘liberalisme’ Islam di Indonesia. Namun demikian, pada tahap-tahap selanjutnya istilah Islam liberal di Indonesia justru mengandung konotasi JIL, kelompok ini lebih banyak dikenali dari aspek kelembagaan dibanding dengan lembaga-lembaga lain yang pada dasarnya memiliki visi liberal atas Islam. Lembaga serupa yang memiliki visi yang sama dapat disebutkan misalnya, NGO yang menamakan dirinya sebagai Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) yang mengembangkan tafsir emansipatoris untuk kemanusiaan,Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) mengusung diskursus, sekularisme, pluralisme dan liberalisme serta lembaga-lembaga lain seperti Freedom Institute, PSIK Paramadina dan The Wahid Institute.
Munculnya pemikiran Islam liberal baru yang menamakan dirinya Islam liberal, adalah untuk menjawab dan mengetahui secara benar ajaran Islam murni sebagai wujud dari filsafat sosial, keyakinan ketuhanan, serta untuk mengenal dan mengetahui kondisi dan tuntutan zaman. Islam liberal menjadi sebuah wacana menarik untuk dikaji. Hal itu terjadi karena Islam liberal yang pertama kali dikembangkan oleh Charles Kurzman mendapat reaksi hebat dari masyarakat awam, tokoh, agama, maupun para intelektual muslim. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai komitmen tinggi terhadap Islam.
Kemunculannya di Indonesia kemudian dikembangkan oleh intelektual muslim (dipelopori oleh Nurcholish Madjid) kemudian dikembangkan lebih lanjut melalui organisasi Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdallah.
JIL mulai aktif pada Maret 2001, kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis) yang bergabung dalam Islam liberal@yahoogroups.com. selain menyebarkan gagasannya lewat website www.Islam Liberal.com.
Pengelolaan JIL dikomandani oleh beberapa pemikir muda, seperti Luthfie Asyssyaukani (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar Abdallah (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), markas JIL berpusat di Jl. Utan Kayu, juga sering diramaikan dengan diskusi para aktifis muda dari berbagai kalangan. JIL juga bekerjasama dengan para intelektual, penulis, dan akademisi dalam dan luar negeri untuk menjadi kontributornya.
Selain aktif kampanye lewat internet dan radio sejumlah aktifis Islam Liberal juga menerbitkan Jurnal Tashwirul Afkar, yang dikomandani juga oleh Ulil Abshar Abdalla (pemred). Jurnal yang terbit empat bulanan ini resmi dibawahi oleh Lakpesdam NU bekerjasama dengan the Asia Foundation. Wajah liberal dalam jurnal ini misalnya, tampak dalam terbitannya Edisi II/ 2001. Dimana Tashwirul Afkar menampilkan tema menuju Pendidikan Islam Pluralis. Di edisinya itu ditampilkan tulisan tokoh-tokoh Islam seperti Nashr Hamid Abu Neyd, Abdul Mulkan, dan lain-lain.] JIL mempunyai beberapa misi dalam menjalankan program-programnya, misi tersebut antara lain:Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Hanya dengan tersedianya ruang dialog yang selanjutnya akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
JIL menyatakan gerakannya bertujuan untuk melawan atau menghambat gerakan Islam militan atau Islam fundamentalis. Dalam latar belakang pendiriannya JIL menyatakan:
Kekhawatiran akan bangkitnya ekstrimisme dan fundamentalisme agama sempat membuat orang banyak khawatir akhir-akhir ini: gejala yang menunjukkan perkembangan seperti itu memang cukup banyak, munculnya sejumlah kelompok militan Islam, tindakan pengrusakan gereja (juga tempat ibadah yang lain), berkembangnya sejumlah media yang menyuarakan aspirasi Islam militan. Penggunaan istilah “jihad” sebagai alat pengesah terhadap serangan terhadap kelompok agama lain dan semacamnya, adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang ekstrem tersebut.
Selain itu JIL ingin menghambat kelompok yang berjuang untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan. JIL merumuskan tujuan gerakannya kedalam empat hal:
Memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme.
Membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan dan perbedaan.
Mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya Islam) yang pluralis, terbuka dan humanis.
Mencegah agar pandangan-pandangan keagamaan yang militan dan pro kekerasan tidak menguasai wacana publik.Pemikiran JIL dalam aspek hukum Islam sebagai dikemukakan oleh Fajar Kuniarto lebih menukik pada pemaknaan fikih. Fikih sebagai bentuk pemahaman manusia terhadap nash syari’at menempatkannya sebagai sesuatu yang profan (duniawi), artinya dapat saja dilakukan oleh setiap orang yang memiliki kapasitas untuk memahaminya. Fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan dan kaku.
Setidaknya ada tiga penyebab mengerasnya kecendrungan mempertahankan produk fikih klasik tersebut sampai kini[10], yaitu:
Fikih diidentikkan dengan syariat. Padahal, dari sisi kebahasaan saja, fikih yang berarti paham sangat berbeda dari syariat yang berarti “jalan”. Perbedaan itu berlanjut pada dataran istilah. Dalam hal ini, fikih dimaknai sebatas pengetahuan mengenai syariat dan keduanya tidak identik. Fikih akhirnya memiliki ranah yang berbeda dari ranah syariat. Syariat sejatinya adalah ajaran-ajaran ilahi yang universal dan ditujukan untuk kemaslahatan umat.
Menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Ketika fikih diidentikkan dengan syariat, konsekuensinya, ia akan dianggap sakral. Umat memandang fikih sebagai sesuatu yang sakral karena diambil dari Alquran dan hadis. Dengan pandangan ini, mengubah fikih dipahami sebagai tindakan mengubah syariat yang sakral.
Tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan hukum-hukum agama. Misalnya, dalam konteks Indonesia, kalangan yang dianggap memiliki otoritas itu telah menjadi institusi nasional yang mendapatkan legalitas negara.
Jaringan Islam Liberal telah mengembangkan penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan sebagai berikut
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
Sementara itu, jika dilihat penafsiran liberal sebagai prinsip yang dianut JIL, maka liberal disini dimaknai dengan “kebebasan” dan “pembebasan” yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan struktur sosio-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua:
kebebasan dan pembebasan. JIL percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. JIL memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, maka dibentuklah Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan tujuan utamanya adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu JIL memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. JIL tidak mempunyai sistem organisasi sistematik karena menjaga kelonggaran dan inklusivisme (terbuka).
Komentar
Posting Komentar