LEMBAGA ”HERZIENING” ATAU PENINJAUAN KEMBALI

Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan'yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Lembaga ini semula hanya

dikenal di dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad Nomor 40 jo Nomor 57 tahun 1847 yang tercantum di dalam TITEL 18. (Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kebetul

an tercantum di dalam BAB XVIII juga-yang dimulai dari pasal 356 sampai dengan pasal 360). Pada waktu itu lembaga herziening tersebut tidak berlaku bagi pengadilan ”inlander”.

Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga herziening itu, maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga itu dapat dihidupkan. Usaha tersebut mulai muncul-ketika Undang-undang tentang Mahkamah Agung (Undang-undang Nomor 1 tahun 1950) dinyatakan berlaku di 'mana di dalam pasal 131 dinyatakan bahwa:

;”Jika di dalam pengadilan ada soal yang tidak diatur di dalam

Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan

sendiri secara bagaimana soal itu harus d ibicarakana " Mahkamah Agung sendiri menafsirkan pasal 131 tersebut sebagai suatu wewenang yang diberikan oleh Undang-undang untuk mengisi suatu kekosongan yang terjadi di dalam hukum.

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun. 1969 menetapkan tentang ”peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di mana ternyata diatur tidak saja masalah ”herziening” tetapi juga berlakunya kembali lembaga ”request civiel”, yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di lapangan hukum perdata.
2. LEMBAGA ”HERZIENING” ATAU PENINJAUAN KEMBALI "" '

_ Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan'yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Lembaga ini semula hanya

dikenal di dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad Nomor 40 jo Nomor 57 tahun 1847 yang tercantum di dalam TITEL 18. (Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kebetul

an tercantum di dalam BAB XVIII juga-yang dimulai dari pasal 356 sampai dengan pasal 360). Pada waktu itu lembaga herziening tersebut tidak berlaku bagi pengadilan ”inlander”.

Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga herziening itu, maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga itu dapat dihidupkan. Usaha tersebut mulai muncul-ketika Undang-undang tentang Mahkamah Agung (Undang-undang Nomor 1 tahun 1950) dinyatakan berlaku di 'mana di dalam pasal 131 dinyatakan bahwa:

;”Jika di dalam pengadilan ada soal yang tidak diatur di dalam

Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan

sendiri secara bagaimana soal itu harus d ibicarakana " Mahkamah Agung sendiri menafsirkan pasal 131 tersebut sebagai suatu wewenang yang diberikan oleh Undang-undang untuk mengisi suatu kekosongan yang terjadi di dalam hukum.

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun. 1969 menetapkan tentang ”peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di mana ternyata diatur tidak saja masalah ”herziening” tetapi juga berlakunya kembali lembaga ”request civiel”, yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di lapangan hukum per

Tetapi Peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama, sebab pada tahun 1971 telah keluar Peraturan Mahkamah Agung nomor 1/ 1971 yang mencabut Peraturan Mahkam' agung nomor 1 tahun 1969. Maka sejak itu terjadi kekosongan lagi di dalam peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara itu di Mahkamah Agung mengalir terus permintaan peninjauan kembali baik yang mengenai perkara perdata maupun pidana.

Sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bahwa dengan dica. butnya Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1969 berarti telah terjadi kekosongan hukum di dalam hal peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebab pencabutan Peraturan Mahkamah Agung nomorl tahun 1969 didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970

telah dikeluarkan Undang-undang nomor 14 tahun 1970, yaitu Undang-undang tentang Pokok-pokok Kehakiman di mana pada pasal 21 telah terdapat pasal mengenai ”peninjauan kembali pu

tusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di mana dikatakan:

”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yangtelah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana. ”

Ketentuan pada pasal 21 tersebut yang semula dimaksudkan untuk antara lain menggantikan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1969 ternyata tidak dapat dilaksanakan karena pasal 21 tersebut tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan kata lain pasal 21 Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tidak memiliki hukum acaranya,sehingga tidak dapat dilaksanakan, hal mana berarti sama saja masih ada kekosongan di dalam ”peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”

Oleh sebab itu, ketika terjadi kasus ”Sengkon dan Karta” yang telah menggoyahkan sendi-sendi hukum di Indonesia, para 2. LEMBAGA ”HERZIENING” ATAU PENINJAUAN KEMBALI "" '

_ Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan'yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Lembaga ini semula hanya

dikenal di dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad Nomor 40 jo Nomor 57 tahun 1847 yang tercantum di dalam TITEL 18. (Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kebetul

an tercantum di dalam BAB XVIII juga-yang dimulai dari pasal 356 sampai dengan pasal 360). Pada waktu itu lembaga herziening tersebut tidak berlaku bagi pengadilan ”inlander”.

Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga herziening itu, maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga itu dapat dihidupkan. Usaha tersebut mulai muncul-ketika Undang-undang tentang Mahkamah Agung (Undang-undang Nomor 1 tahun 1950) dinyatakan berlaku di 'mana di dalam pasal 131 dinyatakan bahwa:

;”Jika di dalam pengadilan ada soal yang tidak diatur di dalam

Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan

sendiri secara bagaimana soal itu harus d ibicarakana " Mahkamah Agung sendiri menafsirkan pasal 131 tersebut sebagai suatu wewenang yang diberikan oleh Undang-undang untuk mengisi suatu kekosongan yang terjadi di dalam hukum.

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun. 1969 menetapkan tentang ”peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di mana ternyata diatur tidak saja masalah ”herziening” tetapi juga berlakunya kembali lembaga ”request civiel”, yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di lapangan hukum per

Tetapi Peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama, sebab pada tahun 1971 telah keluar Peraturan Mahkamah Agung nomor 1/ 1971 yang mencabut Peraturan Mahkam' agung nomor 1 tahun 1969. Maka sejak itu terjadi kekosongan lagi di dalam peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara itu di Mahkamah Agung mengalir terus permintaan peninjauan kembali baik yang mengenai perkara perdata maupun pidana.

Sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bahwa dengan dica. butnya Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1969 berarti telah terjadi kekosongan hukum di dalam hal peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebab pencabutan Peraturan Mahkamah Agung nomorl tahun 1969 didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970

telah dikeluarkan Undang-undang nomor 14 tahun 1970, yaitu Undang-undang tentang Pokok-pokok Kehakiman di mana pada pasal 21 telah terdapat pasal mengenai ”peninjauan kembali pu

tusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di mana dikatakan:

”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yangtelah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana. ”

Ketentuan pada pasal 21 tersebut yang semula dimaksudkan untuk antara lain menggantikan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1969 ternyata tidak dapat dilaksanakan karena pasal 21 tersebut tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan kata lain pasal 21 Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tidak memiliki hukum acaranya,sehingga tidak dapat dilaksanakan, hal mana berarti sama saja masih ada kekosongan di dalam ”peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”

Oleh sebab itu, ketika terjadi kasus ”Sengkon dan Karta” yang telah menggoyahkan sendi-sendi hukum di Indonesia, para

ahli hukum, para penegak hukum dan berbagai'pihak lainnya baru menyadari bahwa kita benar-benar memerlukan lembaga ”berziening” dan lembaga tersebut pada saat itu memang tidak ada atau setidak-tidaknya meskipun ada pada pasal 21 Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tidak dapat dilaksanakan di dalam kasus ”Sengkon dan Karta” ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,