hakim islam, PROSEDUR PENGANGKATAN QADHI/HAKIM DALAM SISTEM PERADILAN ISLAM
A. prosedur pengangkatan qadhi dalam sistem peradilan islam
Menurut ketentuan hukum Islam, seseorang yang diangkat sebagai qadhi (hakim) mestilah orang yang benar-benar layak dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Tidak dibenarkan pengangkatan seorang yang personalitasnya lemah, intelektualitasnya kurang, profesionalisme tidak meyakinkan, dan akhlaknya buruk. Jika ia diangkat sebagai qadhi maka dikhawatirkan ia tidak dapat berlaku adil dan dapat terpengaruh oleh tekanan situasi lingkungannya. Rasullullah pernah menolak permohonan Abu Zar sebagai qadhi karena wataknya yang lemah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Zar sendiri bahwa beliau pernah meminta jabatan hakim kepada Rasul, lalu Rasullullah menjawab “Hai Abu Zar, engkau seorang yang lemah, mudah dipengaruhi orang, sedangkan tugas itu adalah suatu amanah dan di hari kiamat nanti mendatangkan penyesalan dan kehinaan, kecuali jika dapat dipenuhi haknya dengan sempurna dan dapat dijalankan kewajiban itu sebagaimana mestinya.
Dalam sejarah perkembangan peradilan Islam dapat diketahui bahwa uji kepatutan dan kelayakan dalam pengangkatan qadhi sudah dilaksanakan sejak zaman Rasul. Suatu ketika Rasul pernah menguji Muadz bin Jabal sebelum menugaskan Muadz untuk menjadi qadhi di Yaman.
Ujian kelayakan dan kepatutan dalam pengangkatan qadhi juga pernah dilaksanakan pada masa Khalifah umar Ibn Khattab. Pada masa itu Umar menitik beratkan calon qadhi kepada orang yang dihormati oleh masyarakat dan mempunyai ilmu pengetahuan hukum yang memadai. Beliau sendiri yang mengadakan ujian kelayakan tentang kemampuan seorang calon qadhi dalam memutus suatu perkara. Diriwayatkan bahwa sebelum mengangkat Imam Suraih sebagai qadhi di Kufah Umar melakukan uji kelayakan dan kepatutan dengan mengambil sekor kuda dari seorang laki-laki yang masih dalam tawar-menawar harganya lalu Umar meletakkan barang-barangnya di atas punggung kuda tersebut. Oleh karena barang-barang yang diletakkan beliau sangat berat, maka cederalah kuda itu. Setelah kejadian itu, beliau meminta kepada pemilik kuda agar menunjuk seorang yang mampu menyelesaikan perkara yang sedang mereka alami. Pemilik kuda menjawab bahwa ia menunjuk Imam Suraih untuk menyelesaikan perkara mereka.
Husain Al-Halimi dalam kitabnya Nihayatul Arab zuj 6 mengemukakan bahwa dalam pengangkatan qadhi seharusnya sultan tidak mengangkat qadhi, kecuali ia memiliki ilmu pengetahuan yang cukup, tenang dan tabah dalam menghadapi berbagai persoalan, memiliki kepahaman terhadap suatu masalah yang dihadapinya, memiliki watak kesabaran dan kesantunan, adil dan dapat dipercaya, bersih dari pamrih yang rendah, jauh dari hasrat-hasrat yang hina, keras dan kuat dalam bertaqorrub kepada Allah, sangat menjaga diri, dan takut terjatuh dalam murkaNya, bukan penakut dan lemah karena orang yang demikian tidak berwibawa, tidak sombong karena orang yang sombong tidak akan dipatuhi, tetapi hendaknya qadhi itu dipilih dan diangkat dari orang yang sederhana dan betul-betul orang pilihan. Dalam hal ini hendaknya para sultan tidak boleh mengabaikan riwayat hidup calon qadhi, harus dikenal betul hal ihwal dan perjalanan hidup calon qadhi itu. Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi, barulah qadhi itu dapat diangkat dan hendaknya diberi gaji yang layak oleh negara.
B. Syarat-Syarat Pengangkatan Qadhi Dalam Sistem Peradilan Islam
Para pakar hukum Islam berbeda pandangan dalam menentukan persyaratan seseorang untuk dapat diangkat menjadi seorang hakim (qadhi). Apabila kita cermati, sebenarnya berbedaan tersebut tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lainnya, tetapi perbedaan tersebut justru saling melengkapi di antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, Al-Ramli sebagaimana yang didasarkan atas pendapat imam an-Nawawi, menyebutkan ada sepuluh syarat yang harus terpenuhi oleh seorang qadhi yaitu: Islam, mukallaf, merdeka, laki-laki, mendengar, melihat, berkata-kata, berkemampuan, dan mujtahid. Sedangkan al-Mawardi mensyaratkan ada tujuh syarat yaitu: laki-laki, berakal, merdeka, Islam, adil, sejahtera, pendengaran dan penglihatan, dan menguasai bidang hukum syara’. Jika diteliti syarat-syarat yang dikemukakan oleh kedua pakar di atas, ternyata tidak mempunyai perbedaan yang berarti, bahkan saling melengkapi, dan sebenarnya keduanya memiliki asas dan tujuan yang sama.
1. Beragama Islam
Orang yang hendak diangkat sebagai qadhi hendaklah orang yang beragama Islam, Sebab semua kasus yang diperiksa adalah melibatkan orang Islam. Tugas peradilan dalam Islam termasuk dalam wilayah yang orang kafir tidak boleh dilaksanakan selain orang Islam sendiri. Hal ini disebutkan dalam Alquran suroh Annisa ayat 141.
Pendapat yang mengatakan orang kafir tidak boleh sebagai qadhi adalah pendapat kebanyakan para ahli hukum Islam.
Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi membolehkan mengangkat qadhi non Muslim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Abidin bahwa diperkenankan melantik qadhi khusus bagi golongan dzimmah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang mereka alami, sebab samalah halnya tidak mendatangkan mudorat dengan mengangkat orang Islam untuk menjadi qadhi bagi orang-orang Islam.
Muhammad Salam Madkur membenarkan dan memperbolehkan pengangkatan qadhi dari orang yang bukan Islam untuk mengadili perkara-perkara antara orang Islam. Hal ini didasarkan kepada kelayakan menjadi saksi dimana non Muslim boleh menjadi saksi bagi orang Islam kecuali dalam perkara yang berhubungan dengan kekeluargaan. Juga dari segi siyasah Syari’ah, dapat dikatakan bahwa suatu hal yang sangat menguntungkan apabila mengangkat orang non Islam untuk menjadi qadhi orang-orang Islam terutama untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam hukum sipil.
Abdul al-Autwah tidak setuju dengan pendapat salam Madkur yang membenarkan pengangkatan qadhi yang bukan Islam untuk mengadili orang-orang Islam. Autwah mengemukakan bahwa kebolehan mengangkat qadhi non Muslim hanya dalam keadaan darurat saja. Oleh karena masalah peradilan hal yang sangat penting dan menentukan, karena melalui lembaga peradilan hukum Syara’ dapat ditegakkan, maka syarat qadhi dalam lembaga peradilan Islam hendaknya beragama Islam.
Penulis sependapat dengan Abdul Authah yang menentang pengangkatan qadhi yang non Muslim di sebuah peradilan Islam. Tetapi penulis juga sepakat untuk memperbolehkan mengangkat seorang qadhi non Muslim yang memeriksa kasus-kasus di luar kewenangan peradilan Islam dan hanya memutus perkara terhadap orang yang non Muslim.
2. Laki-laki
Menurut jumhur ulama di kalangan mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali, laki-laki merupakan syarat untuk dapat diangkat sebagai qadhi. Tidak sah mengangkat wanita sebagai qadhi, apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai qadhi, maka putusan yang dijatuhkan ini tidak sah.
Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa wanita boleh diangkat sebagai qadhi untuk memutus perkara yang menerima persaksian wanita dan tidak boleh memangku jabatan qadhi dalam masalah yang tidak menerima persaksiannya. Jika ada penguasa yang mengangkat wanita sebagai hakim, maka pengangkatannya itu sah tetapi orang yang mengangkatnya menanggung dosa.
Ibnu Jarir At-Thobari mempunyai pendapat tersendiri dan berlainan dengan pendapat jumhur fuqoha sebagaimana telah diuraikan di atas. Thobari memperbolehkan wanita menjadi qadhi secara mutlak. Ini berarti Thobari memperbolehkan wanita memeriksa semua kasus termasuk hudud dan qisos. At-Thobari mengemukakan bahwa tujuan diangkatnya qadhi itu adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu jabatan qadhi itu boleh diberikan kepada siapa saja baik laki-laki maupun perempuan asalkan ia mampu melaksanakan tugas itu dengan baik dan benar.
Penulis sendiri lebih sepakat dengan pendapat Thobari yang memperbolehkan pengangkatan seorang qadhi perempuan dengan syarat ia memiliki kemampuan dan kecakapan dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang qadhi.
3. Baligh dan Berakal
Di dalam Hukum Islam tidak ditemukan aturan yang membatasi secara pasti berapa umur minimal seorang dapat diangakat sebagai seorang qadhi, tetapi Islam menentukan baligh merupakan syarat minimum untuk mengangkat seseorang menjadi qadhi. Dengan demikian anak-anak tidak dibenarkan untuk menjadi qadhi, karena mereka belum dapat memepertanggungjawabkan pekerjaannya. Pada umumnya para ahli hukum Islam menyebutkan ketentuan batasan minimal umur seseorang untuk dapat diangkat menjadi qadhi adalah 25 tahun. Dalam batasan usia minimal 25 tahun ini, para ahli hukum Islam memandang bahwa seseorang sudah dapat bekerja dengan baik dan sudah dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya.
Di samping baliqh, para ahli hukum Islam juga mensyaratkan berakal sebagai syarat untuk dapat mengangkat seseorang menjadi qadhi, dan tidak dibenarkan mengangkat orang gila meskipun kadang-kadang ia sembuh.
4. Kredibilitas Individu (al-Adalah)
Penentuan adil untuk diangkat sebagai qadhi merupakan persyaratan yang sangat benar atau tidaknya, sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum.
Menurut imam al-Mawardi yang dimaksud dengan adil (kredibilitas pribadi) mempunya arti bahwa orang itu jelas pembicaraannya, bersifat amanah, menjaga dirinya dari perbuatan yang haram, menjauhi perbuatan tercela, jauh dari tuduhan yang buruk, terjamin penguasaan dirinya saat senang dan marah, menjaga muruah (harga diri) orang dengan status seperti dirinya dalam agama dan dunianya. Jika hal ini terpenuhi dalam dirinya, ia memiliki adalat (sifat adil) yang dengan hal itu persaksiannya menjadi boleh dan jabatan yang ia duduki menjadi sah.
Sebagian ahli hukum dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa sifat adil bukan merupakan syarat untuk mengangkat seorang qadhi, tetapi merupakan syarat kesempurnaan pengangkatan saja. Dalam keadaan tertentu orang fasik dapat diangkat menjadi qadhi, dan putusan yang dijatuhkan oleh qadhi yang fasik itu apabila selaras dan sesuai dengan ketentuan hukum syara’, maka putusan tersebut tetap sah.
Meskipun demikian, bukan berarti dalam kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang fasik wajar diangkat menjadi qadhi dan dapat diangkat dengan sewenang-wenang, melainkan mereka tetap berpedoman bahwa adil merupakan syarat sempurnanya pengangkatan, dan sah diangkat qadhi dari orang fasik apabila menetapkan hukum dengan hukum syara’, penekanannya pada putusan dan hukuman.
Pendapat mazhab Hanafi yang seperti ini, menurut penulis lebih tepat untuk diterapkan pada saat sekarang ini, mengingat pada saat ini sangat sulit untuk mendapatkan seseorang yang benar-benar adil Disamping itu sangat sulit untuk mengukur keadilan dari seseorang, karena sifat adil merupakan hal yang abstrak.
Dalam hal ini Autwah mengingatkan, bahwa kedaan seperti ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengangkat qadhi dari orang-orang yang jelas fasik, tetapi hendaklah mengangkat qadhi dari orang yang paling layak di kalangan mereka yang kurang layak. Dari sini, sebenarnya pendapat kalangan Hanafi sama dengan Autwah yang tetap menjadikan adil sebagai kreteria yang semestinya dimiliki oleh seorang qadhi.
5. Sempurna Pancaindera
Orang yang akan diangkat menjadi seorang qadhi hendaklah orang yang sempurna pancainderanya, terutama ia dapat mendengar dan tidak bisu. Hal ini penting bagi seorang qadhi karena akan memberikan arahan dan menanyakan segala hal kepada pihak-pihak yang berperkara. Jika seorang hakim tidak dapat mendengar dan bisu, maka ia tidak akan dapat mencari fakta-fakta hukum dan mengetahui tentang pembuktian, sehingga putusan yang dijatuhkan akan menyimpang dari persoalan yang sebenarnya.
Disamping itu hemat penulis, dengan mengangkat seseorang yang tidak sempurna pancainderanya dapat mengurangi kewibawaan peradilan itu sendiri.
Jadi, pengangkatan qadhi itu tidak boleh dari orang buta dan tuli, sedangkan cacat tubuh yang lain seperti puntung tangannya, atau puntung kakinya tidak menjadi halangan untuk diangkat menjadi qadhi dan tidak diperhitungkan menjadi persyaratan sah pengangkatan qadhi. Meskipun demikian, mengangkat orang yang sempurna anggota tubuhnya dan memiliki kemampuan dan kelayakan lebih diutamakan karena akan lebih menampakkan kesempurnaan bagi seorang qadhi.
6. Berpengalaman Luas
Para ahli hukum di kalangan mazhab Syafi’i, Hanbali dan sebagian di kalngan mazhab Hanafi mensyaratkan dalam pengangkatan qadhi hendaknya berpengetahuan luas dalam bidang hukum Islam dan kepandaiannya itu harus bertahap mujtahid. Sehubungan dengan ini, mereka berpandangan bahwa mengangkat qadhi yang jahil dan mukalid tidak sah.
Menurut al-Mawardi, orang yang dianggap mengetahui hukum Islam secara luas adalah: pertama, menguasai ilmu tentang kitab Allah SWT. Dalam kadar yang dengannya ia dapat mengetahui kandungan hukum-mukum dalam Alquran, seperti nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, amm dan khas, mujmal dan mufassar; kedua, memiliki pengetahuan keilmuan tentang sunnah Rasullullah yang stabil seperti sabda dan perbuatan beliau, serta jalur-jalur kedatangannya, seperti tawatir, ahad, sahih, dan buruk serta tentang hadis yang datang berdasarkan adanya suatu sebab dan yang datang tanpa sebab; ketiga, menguasai pengetahuan tentang takwil kalangan salaf, apa yang mereka sepakati dan apa yang mereka perselisihkan sehingga ia dapat mengikuti bagian yang telah disepakati oleh mereka; keempat memiliki pengetahuan tentang qiyas yang dapat mengembalikan cabang-cabang hukum yang tidak dibicarakan dalam nash dan yang telah disepakati oleh ulama, sehingga ia dapat mengetahui bagaimana menetapkan hukum-hukum atas kejadian yang timbul dan membedakan antara hak dengan yang batil. Menurutnya apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi pada seseorang, maka ia tidak sah diangkat sebagai qadhi untuk memutus suatu perkara.
Para ahli hukum Islam dari kalangan mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengangkatan qadhi harus orang yang sudah mujtahid. Jika tidak terdapat orang-orang yang tingkat pengetahuannya kepada tingkat mujtahid, maka boleh diangkat orang yang taraf mukallid asal sempurna ilmunya.
Saat ini sulit ditemukan orang yang mempunyai keahlian sampai kepada tarap mujtahid mutlak. Dalam hal ini as-Sharbani mengemukakan bahwa sekiranya orang yang mempunyai pengetahuan sampai pada tarap mujtahid sulit didapat, jabatan al-qadhi tidak boleh kosong, melainkan tetap harus diisi. Oleh karena itu, carilah orang yang diangkat sebagai qadhi itu adalah yang teralim dan terbaik di kalangan yang ada walaupun yang ada hanya pada tarap mukallid. Inilah yang dikatakan oleh beberapa ahli dari kalangan mazhab Syafi’i bahwa pengangkan qadhi yang tidak mempunyai pengetahuan yang lengkap hanya diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat saja.
7. Bukan Budak
Para pakar hukum Islam dalam berbagai mazhab sepakat bahwa pengangkatan qadhi tidak diperbolehkan dari kalangan budak secara mutlak. Hal ini disebabkan kerena seorang hamba dianggap tidak mampu untuk memiliki kemampuan dirinya sendiri. Pada saat sekarang ini, pensyaratan orang yang merdeka bagi seorang qadhi dengan sendirinya ditinggalkan orang, hal ini disebabkan, pada saat ini perbudakan sudah dihapuskan sehingga syarat yang terakhir ini sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.
C. Wilayah Kekuasaan Qadhi (Hakim) Dalam Sistem Peradilan Islam
Menurut Rifiyal Ka’bah bahwa syari’at Islam tidak menentukan secara rinci kerangka organisasi al-qodha ia hanya meletakkan kaidah umum, prinsip-prinsip dasar, dan tujuan-tujuan murni peradilan. Masalah tentang pembatasan wewenang, tempat atau waktu, pengikut sertaan hakim yang lain disamping hakim utama dan lain-lain diserahkan kepada kebiasaan dan kebutuhan masyarakat, dengan syarat bahwa semua itu harus memenuhi ketentuan hukum Islam yang sah. Syariat Islam juga tidak menentukan secara baku tentang tingkatan peradilan, seperti tingkat pertama, banding dan kasasi, tetapi dapat diatur berdasarkan undang-undang sesuai dengan kebutuhan dan terwujudnya rasa keadilan. Juga dapat disimpulkan bahwa para hakim masalah pidana tidak berada di satu lembaga, tetapi terbagi di bawah wewenang beberapa jabatan, seperti khalifah, wali al-Muzhalim, Al-Amin, Wali al-Harb, Sahib asy Syurthan, al-Muhtasib, al-Hakim atau al-Qadhi dalam pengertian sempit.
Sehubungan dengan hal tersebut, Mahmud Saedan Awang Othman membagi wilayah kekuasaan al-qadha menjadi delapan macam wilayah yurisdiksi, sebagai berikut:
1. Ikhtishah an-Navi’ie
Yang dimaksud dengan konsep ini adalah seorang qadhi hanya diperbolehkan memutus suatu perkara tertentu menurut jenis perkara, misalnya perdata khusus menyangkut hukum keluarga atau perdata khusus yang menyangkut bidang ekonomi. Dalam keadaan seperti ini, seorang qadhi yang diangkat untuk menyelesaikan bidang yang telah ditetapkan, tidak dibenarkan memutus perkara selain yang telah ditetapkan itu.
2. Al-Ikhtishash bi Miqdar Mu’ayyan
Yuridiksi konsep ini adalah seorang qadhi hanya dibenarkan memeriksa dan mengadili dengan ukuran tertentu, misalnya ia hanya boleh memutus dalam perkara yang mempunyai nilai dibawah 200 dirham dan 20 dinar, atau batas hukuman yang telah ditetapkan. Jika ia memutus perkara melebihi kadar yang telah ditetapkan maka putusannya itu batal dengan sendirinya.
3. Al-Ikhtishah bi Qadiyyah Muiayyanah
Konsep ini bermakna bahwa seorang qadhi hanya diberi kuasa untuk mengadili dan menyelesaikan suatu perkara tertentu saja. Ini berarti bidang kuasanya hanyalah untuk kasus tertentu saja, jika ia mengadili kasus selain yang telah ditetapkan kepadanya maka putusan terhadap kasus itu batal dengan sendirinya.
4. Al-Ittisna’ Ba’da al-waqa’i wa al-Hawadist
Konsep lembaga peradilan ini adalah seorang qadhi yang mempunyai wewenang semua perkara dengan mengecualikan hanya beberapa kasus saja. Perkara-perkara yang telah dikecualikan tidak boleh diadili oleh qadhi tersebut, apabila diadili juga maka putusannya batal dengan sendirinya.
5. Al-Ikhtisan al-Makani
Konsep lembaga peradilan ini ialah seorang qadhi hanya mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili suatu kasus di tempat tertentu saja. Jika seorang qadhi mengadili dan memutus suatu perkara di luar tempat yang telah ditentukan maka putusannya itu batal dengan sendirinya.
6. Ikhtisas al-Qadhi Inda Taaduddihim
Yang dimaksud dengan konsep ini adalah apabila khalifah mengangkat beberapa orang hakim dalam satu tempat atau kawasan dan ia hanya mempunyai wewenang yurisdiksi di dalam kawasan itu, atau tempat itu. Jika khalifah mengangkat dua orang qadhi atau lebih, tetapi ia menentukan bidang kuasa yang khusus bagi tiap-tiap qadhi yang diangkat itu, pengangkatan seperti itu adalah sah dan ia dapat memeriksa perkara hanya dalam kasusu-kasus yang telah ditentukan kepadanya. Misalnya seorang dari qadhi yang diangkat itu ditugaskan hanya untuk memeriksa perkara muamalah, qadhi yang satu lagi dalam bidang-hukum-hukum keluarga, dan qadhi yang satu lagi hanya dalam bidang pertanahan serta yang satu lagi dalam bidang hukum pidana (jinayah).
Jika khalifah mengangkat beberapa orang qadhi, tetapi mereka diberi tugas di tempat atau kawasan yang berlainan, maka pengangkatan itu adalah sah. Dengan demikian para qadhi itu mempunya wilayah yurisdiksi yang telah ditentukan masing-masing. Pengangkatan qadhi yang demikian tidak akan menimbulkan pertentangan di kalangan para qadhi yang diangkat atau para pihak yang berperkara atau berselisih.
7. Al-Ikhtishash al-Qadha bi Zaman Muniayyan
Lembaga perdilan model ini adalah apabila ia seorang qadhi diangkat hanya mempunyai tugas untuk memeriksa dan mengadili suatu kasus hanya pada hari atau masa tertentu saja. Misalnya qadhi tersebut mempunyai wewenang memeriksa perkara pada hari Sabtu dan Ahad saja, ia tidah sah memeriksa perkara hari lain
8. Ikhtisas al-Qadha bi Mazhab Muiayyan
Konsep ini adalah qadhi yang diangkat hendaklah menghukum berdasarkan Mazhab tertentu. Dalam perkembangan sejarah peradilan, masalah ini masih diperselisihkan oleh para ahli hukum. Imam Abu Hanifah termasuk para ahli hukum Islam yang menghendaki agar qadhi menghukum tidak hanya pada mazhabnya, tetapi juga didasarkan pada mazhab yang lain. Di negera-negara Islam banyak qadhi dalam memeriksa dan memutus perkara terikat dengan qanun yang mengandung pandangan berbagai mazhab dan telah disepakati oleh negara untuk memakainya.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para hakim dalam negara-negara Islam menghukum tanpa terikat kepada suatu mazhab secara ketat. Jika terdapat undang-undang hukum syara’ telah diqanunkan dan diberlakukan dalam seluruh negara, maka qadhi-qadhi tersebut terikat pada qanun tersebut.
Menurut imam al-Mawardi jabatan qadhi itu dapat berupa umum dan dapat berupa khusus. Jika jabatan diberikan itu bersifat umum, maka ia bebas untuk bertindak dalam seluruh bidang yang berada dalam lingkup wewenang jabatanya. Wewenangnya itu mencakup sepuluh macam yaitu:
- Menyelesaikan sengketa dan permusuhan, baik dengan penyelesaian secara damai dan suka rela antara kedua belah pihak, sesuai dengan aturan yang diperbolehkan, maupun dengan paksaan melalui kekuatan hukum yang memaksa pihak yang sedang bersengketa itu untuk dijalankan.
- Meminta suatu hak dari pihak yang menahan hak orang lain, kemudian menyampaikannya kepada pihak yang berhak setelah diketahui kepastian hak itu merupakan haknya, melalui dua jalan, pengakuan atau adanya bukti.
- Menjadi wali atas orang yang dilarang untuk bertransaksi sendirian seperti karena gila atau masih kanak-kanak, dan membatasi tindakan orang yang menurut kebijakannya perlu dibatasi, seperti kebodohannya, atau tidak dapat memelihara harta milik orang serta meluruskan pelaksanaan transaksi orang seperti itu.
- Menangani harta wakaf dengan menjaga harta dasarnya dan mengembangkan cabangnya serta mengumpulkan dan membagi-bagikan hasilnya kepada yang berhak.
- Melaksanakan wasiat berdasarkan secara pihak yang memberikan wasiat dalam perkara yang diperbolehkan oleh syari’at dan tidak dilarang.
- Melaksakana pernikahan para wanita janda dengan orang-orang yang sekufu (setingkat setatusnya) jika mereka tidak memiliki wali nikah pada saat meraka akan menikah. Sementara ini imam Abu Hanifah tidak menjadikan hal ini merupakan bagian dari tugas hakim karena dalam mazhab Hanafi wanita janda mempunyai wewenang untuk menikahkan dirinya sendiri.
- Melaksakana hukum hak atas pihak-pihak yang seharusnya dijatuhi hukuman itu. Jika hal itu adalah bagian dari hak-hak Allah, ia berhak menangani proses hukumnya sendiri tanpa menunggu adanya pihak yang mengajukan tuntutan dan pengaduan, jika kejahatan itu telah terbukti dengan pengakuan atau adanya bukti yang kuat. Jika masalah itu bagian dari masalah hak-hak manusia, pelaksanaannya menunggu adanya tuntutan dan pengaduan dari yang berhak.
- Memeriksa kemaslahatan wilayah tugasnya seperti mencegah terjadinya kejahatan di jalan-jalan dan padang pasir, serta membongkar bangunan yang tidak layak dibangun atau dipertahankan keberadaannya. Ia boleh menangani hal ini meskipun tidak ada pihak yang menuntut.
- Memeriksa saksi-saksinya serta para pembantunya dan memilih wakil-wakilnya, serta mengakui dan mengandalkan mereka jika mereka berlaku benar dan lurus, mengalihkan dan mengganti mereka jika mereka cacat dalam melaksanakan tugasnya atau berkhianat terhadap amanah yang diberikan kepadanya.
- Menyejajarkan dalam menangani masalah hukum manusia antara pihak yang lemah dan pihak yang kuat, dan bersikap adil dalam dalam menetapkan keputusan antara pihak yang terhormat dan orang yang biasa, dan ia tidak mengikuti hawa nafsunya dalam mengurangi hak orang yang berhak atau condong kepada kebatilan.
Melihat kepada wilayatul qodho dan tugas-tugas qadhi dalam peradilan islam, maka dapat diketahui tugas-tugas yang diberatkan kepada qadhi itu mengenai urusan hukum saja, tidak termasuk urusan pemerintahan. Adapun kekuasaan menjalankan hukum, mentanfizkan hukum merupakan urusan diluar wewenang qadhi. Tugas para qadhi tidak dibatasi oleh hukum syara’, hanya diserahkan kepada yang memberi tugas saja. Tugas-tugas itu boleh bersifat umum atau bersifat khusus atau tugas-tugas temporer, boleh juga terbatas pada wilayah hukumnya menurut masa, tempat, dan kejadian. Apabila hal ini terjadi, maka para qadhi tidak memutus sesuatu perkara melainkan apa yang telah ditentukan sulthan (penguasa) kepadanya. Apabila para qadhi memutus suatu perkara, sedangkan tauliah tidak diberikan kepadanya, maka putusan itu batal dengan sendirinya, dan tidak boleh dijalankan.
Komentar
Posting Komentar