Rukun dan Syarat Gadai Syari’ah
Please subscribe ya sobat
youtube.com/bolonzzzduhasimbolon
Dalam Fiqh Empat Mazhab (al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-arba’ah) dinyatakan bahwa rukun gadai adalah sebagai berikut:
1) Aqid (orang yang berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi dua arah, yaitu Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai) atau penerima gadai. Hal dimaksud didasari oleh sighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah terima antara penggadai dengan penerima gadai). Untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh dua pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.
2) Ma’qud ‘alaih (Barang yang Diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu Marhun (barang yang digadaikan), dan Marhun bihi (utang yang karenanya diadakan akad rahn)
b. Syarat Gadai
1) Sighat
Makna sighat adalah ungkapan ijab dan qabul atau serah terima objek yang akan digadaikan. Syarat sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu utang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya. Kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2) Pihak-pihak yang Berakad Cakap Menurut Hukum
Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah rahin dan marhun cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad. Ulama Syafi’iyah menyatakan ukuran yang dipakai bila seseorang telah dapat melakukan jual beli yaitu berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh, dengan kondisi ini maka anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang yang bodoh boleh melakukan rahn atas izin walinya.
3) Marhun Bih (Utang)
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika transaksi rahn terjadi. Hak ini tidak berpindah secara permanen melainkan sifatnya sementara yatu hanya bertahan sampai utang tersebut dilunasi dan barang jaminan kembali kepada peminjam (pemiliknya). Berkaitan dengan marhun ini, ulama Hanafiyah mengelaborasi beberapa syarat yang diperlukan antara lain:
a) Dapat diserahkan kepada orang yang memerlukan baik berupa uang maupun berupa benda. Barang tersebut bermakna harus berada dalam kekuasaan orang yang memberi jaminan. Tujuannya untuk membedakan dengan bentuk dari jaminan lain dalam Islam seperti kafalah maupun dhaman.
b) Dimungkinkan untuk dapat dan segera dibayarkan kepada yang membutuhkan, sekiranya tidak dapat dilakukan maka hal tersebut menyebabkan rahn tidak sah, karena sifat rahn adalah bantuan segera yang diberikan kepada yang sangat berhajat.
c) Hak dan kewajiban terhadap marhun bih harus jelas, seperti mana yang menjadi utang dan wajib dibayar oleh peminjam atau hak apa saja yang ia dapat dari bentuk perjanjian tersebut. Apakah bentuk pembayarannya atau hak menggunakannya untuk berapa lama dan sebagainya.
Sedangkan ulama Hanabilah dan Syafi’iyah menyebutkan persyaratan marhun bih antara lain: berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, ketentuan utang harus jelas dan pasti pada waktu akad berlangsung, serta bentuk utang tersebut harus jelas dan dimengerti oleh para pihak.
4) Marhun
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya sebagai jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual belikan, yang ketentuannya adalah:
a) Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam; sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak dapat dijadikan agunan.
b) Agunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.
c) Agunan harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
d) Agunan itu milik sah debitur.
e) Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya). Agunan dimaksud, berbeda dengan agunan dalam praktik perbankan konvensional, agunan kredit boleh milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Hal tersebut adalah sejalan dengan ketentuan KUH Perdata yang membolehkan hal demikian. Dalam hal debitur mengendaki agar barang pihak ketiga yang menjadi agunan, seharusnya ditempuh dengan menggunakan prinsip kafalah.
f) Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada di beberapa tempat. Lain halnya dalam praktik perbankan konvensional, agunan kredit boleh berupa tagihan (yang dibuktikan dengan surat utang atau bukti lainnya). Demikian pula boleh dijadikan agunan kredit barang-barang yang bertebaran di berbagai lokasi. Al tersebut sejalan dengan ketentuan KUH Perdata yang membolehkan hal itu.
g) Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, bak materinya maupun manfaatnya.
4. Aplikasi Gadai (Rahn) dalam Perbankan Syari’ah
Adapun kontrak gadai (rahn) yang diaplikasikan dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua hal berikut:
a. Sebagai Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai jaminan pembiayaan. Ia menyertai pembiayaan yang dikucurkan kepada nasabah, seperti pembiayaan murabahah dan salam. Dan pengucuran dana itu perlu jaminan dari nasabah. Dalam hal ini bank tidak menahan jaminan secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya saja (fidusia). Pada prinsipnya, konsep normatif murabahah dan salam tidak mempersyaratkan adanya jaminan. Bank Muamalat Indonesia sebagai salah satu contoh Bank yang berbasis syari’ah memandang bahwa jaminan itu diberlakukan dengan mengacu pada pranata rahn. Ada penggabungan antara konsep pembiayaan, seperti murabahah atau salam dengan rahn. Namun sejauh ini rahn lebih sering diterapkan sebagai penyerta atau jaminan dalam pembiayaan terhadap nasabah. Rahn sebagai sebuah gadai, seperti halnya gadai yang dikeluarkan Perum Pegadaian, masih jarang diterapkan oleh seluruh bank syari’ah, hanya beberapa bank syari’ah saja yang baru menerapkan rahn sebagai produk tersendiri.
b. Sebagai Produk Tersendiri
Rahn sebagai produk tersendiri yaitu gadai. Bank dapat menerima jaminan dan menahannya, misalnya dalam bentuk emas dan barang yang bernilai untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka pendek. Konsep produk ini dikembangkan dari konsep dasar rahn.
Di beberapa Negara Islam termasuk diantaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian syari’ah, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga. Yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran.
suatu hari nanti kelak menjadi kaya ingat pesan beliau ini...