HADIS PADA MASA RASULULLAH SAW DAN SAHABAT

A. Cara Sahabat Menerima Hadis Pada Masa Rasul

Suatu yang sangat didambakan oleh setiap umat untuk dapat bertemu dengan baginda Rasulullah saw, namun yang dapat membedakan antara masa ini ialah sahabat dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah saw sebagai sumber hadis. Antara Rasul saw dan sahabat tidak ada pembatas untuk bertemu tidak ada yang mempersulit mereka bertemu Rasul saw.
Allah menurunkan Al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad saw sebagai utusannya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan, dan apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah swt berfirman dalam menggambarkan kondisi utusanNya tersebut.

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunnya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S Al- Najm (53): 3-4)


Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamaannya dapat mencapai tingkat kesempurnaannya.


Oleh karena itu tempat-tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasanya digunakan Rasul saw cukup bervariasi, seperti di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah). 


Melalui tempat-tempat tersebut Rasul saw menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah)


Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah saw menyampaikan hadisnya denegan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. 


Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi saw menempuh beberapa cara, yaitu: 


Pertama, melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi saw untuk membina para jamaah. Melalui majelis ini oara sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan hadis ini melalui majelis ini dilakukan secara regular di mana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di majelis ini. Menurut catatan Mustafa al-Siba’I, roh ilmiah para sahabat sangat tinggi, mereka sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi saw mereka selalu meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu Rasulullah saw bahkan, mereka melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk memnta solusi kepada Nabi atas masalah yang mereka hadapi. 


Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah saw juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yamg kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi saw menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.


Ketiga, untuk hal-hal sensitive, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus hadis diatas ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi saw tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaimana mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda: “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “Bagaiman saya membersihkannya?” Nabi bersabda: “Bersihkan dengannya”. Wanita itu masih bertanya lag, “Bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda: Subhanallah, hednaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi saw berkata: “Wanita itu saya tarik ke arah saya dan saya katankan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadis ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjlaskan hal sensitive berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul saw, sering kali mereka bertanya kepada istri-istrinya.


Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak berkaitan dengan muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas isi khutbah itu antara lain; larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil hak orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya,; perintah memperlakukan para isti dengan baik, persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; dan umat Islam harus selalu berpegang kepada Al-Quran dan sunnah Nabi saw.


Kelima, melalui perbuatan langsung yag disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi lalu Nabi menjelasan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam. Misalnya, suatu ketika Nabi berjaan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”. 


Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah dengan ingatan mereka. Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwyatkan Al-Quran, hadis, syair, dan lain-lain dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku. 

B. Penulisan Hadis Pada Masa Rasul: Larangan dan Perintah Kebolehan Menuliskan Hadis


Pada masa Nabi hadis belum dikodifikasikan secara resmi sebagaimana yang terjadi pada beberapa tahun berikutnya, yakni masa Khalifah ‘Umar bn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H). Rasulullah tidak pernah memerintahkan sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana Al-Quran yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan, dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi bersabda: “Janganlah kalian tulis dariku (selain Al-Quran dan barang siapa yang menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Riwayatkan hadis dariku tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas namaku-Himan berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. 


Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis tercampur dengan Al-Quran yang saat itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abd Allah ibn ‘Umar katanya: “Aku pernah menulis segala sesutau yang kudengar dari Rasulullah saw aku ingin menjaga dan menghafalnya. Tetapi orang-orang Quraisy melarangku melakukannya. Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadis) padahal Radulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (untuk tidak menulis hadis) hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda: “Tulislah, maka demi Dzat yang aku berada dalam ekkuasaan-Nyatidaklah keluar dariku selain kebenarannya”.


Berdasarkan hadis di atas diketahui bahwa ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk menulis hadis, tetapi secara umum Nabi melarang umat Islam untuk menulisnya. Nabi melarang menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Quran dan pada kesempatan lain ia membolehkannya. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah melarangpun tidak mungkin hadis dapat ditulis semuanya. Karena, menurut M. Syuhudi Ismail: a. hadis disampaikan tidak selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis hadis, b. perhatian Nabi dan sahabat lebih banyak tercurah kepada Al-Quran, c. meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris, tetapi meraka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi, d. sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana. 


Mengahadapi dua hadis yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat berkenaan dengan ini, yaitu:


1) Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan;


2) Larangan penulisan hadis ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Quran. Izin menulis hadis diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidka dikhawatirkan salah serta bercampur dengan Al-Quran;


3) Larangan itu ditunjukkan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadis;


4) Larangan menulis hadis dcabut (dimansukh) oleh izin menulis hadis, karena tidak dikhawatirkan tercampurnya catatan hadis dengan Al-Quran;


5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak mencampurkan catatan hadis dan catatan Al-Quran;


6) Larangan ditujukanuntuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri;


7) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat maka penulisan hadis diizinkan. 



C. Pengertian Sahabat



Pengertian sahabat menurut terminology ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi saw, beriman kepadanya dan meinggal dalam keadaan beriman pula. Sahabat secara etimologi merupakan kata bentukan dari kata “ash-Shuhbah” (persahabatan), yang tidak mengandung pengertian persahabatan dalam ukuran tertentu, tetapi berlaku untuk orang yang menyertai orang lain, sedikit ataupun banyak. Sama seperti kata “Mukallim”, “Mukhathib” dan “Dharib” berasal dari bentuk “Mukalamah” (pembicaraan), “Mukhathabah” (ceramah) dan “Dharb” (pukulan), dan berlaku untuk siapa saja yang melakukan hal-hal itu, sedikit atau banyak. Dan demikian pula dengan kata-kata bentukan dari kata kerja lain.


Demikian pula dikatakan bahwa seseorang bersahabat dengan Fulan sepanjang masa, satu tahun, satu bulan, satu hari dan satu jam. Sehingga persahabatan digunakan untuk menyatakan kegiatan itu, baik tejadi dalam frekuensi minimal maupun maksimal. 


Sedangkan pengertian sahabat menurut ulama hadis adalah, setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah saw. Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya mengatakan, di antara kaum mulsimin yang pernah menyertai Nabi saw atau pernah melihat beliau termasuk sahabat beliau. Imam Ahmad menyebut Ahli Badar termasuk sahabat, kemudian berkata: Manusia paling utama setelah mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw, generasi di mana beliau diutus di kalangan mereka. Setiap orang yang pernah menyertai beliau selama satu tahun atau beberapa bulan atau sehari atau satu jam atau sekedar melihat beliau termasuk sahabat. Ia memiliki status sahabat sesuai dengan kadar kesertaan yang dilakukannya, dan sebelumnya pernah bersama, mendengar dari dan memperhatikan beliau.


Pada prinsipnya ada dua unsur yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat disebut sebagai sahabat: pertama, ia pernah bertemu dengan Rasulullah saw, kedua, dalam keadaan beriman dan Islam sampai ia meninggal dunia. Dengan demikian mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw atau pernah bertemu tetapi tidak dalam keadaan beriman tetapi ia meninggal dunia tidak dalam keadaan beriman, maka ia tidak dapat disebutkan sebagai sahabat. 


Ibn Hazm rahimahullah berkata, adapun yang dimaksud sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasah dengan Nabi saw meski hanya sesaat, mendengar dari beliau meski hanya satu kata, menyaksikan beliau menangani suatu masalah dan tidak termasuk orang-orang munafik yang kemunafikannya berlanjut sampai popular dan meninggal dalam keadaan seperti itu. Dan tidak ada toleransi bagi orang yang menafikan kenabian dan beliau dan mengaku mendapatkannya dan orang-orang yang seperti itu. Ciri-ciri orang yang kami sebutkan berarti merupakan sahabat. Seluruh mereka bersifat adil, imam yang utama lagi direstui. Kita diwajibkan menghormati dan mengagungkan mereka, serta selalu memintakan ampun dan mencintai mereka. 


D. Cara Mengetahui Sahabat

Sahabat bisa diketahui dengan satu di antara indikasi berikut:


1. Khabar mutawatir, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat lain yang mendapat jaminan surga secara tegas.


2. Khabar masyhur atau mustafidh, yang berada dibawah status mutawatir, seperti ‘Akasyah ibn Muhshan dan Dhammam ibn Tsa’labah.


3. Salah seorang memberikan khabar bahwa seorang berstatus sahabat. Misalnya Hamamah ibn Abu Hamamah ad-Dausiy yang meninggal di Ashbahan karena sakit perut, lalu Abu Musa al-Asy’ari memberikan kesaksian bahwa ia mendengar Nabi saw.


4. Seseorang mengkhabarkan diri sebagai sahabat diakui keadilan dan kesejamanannya dengan Nabi saw.


5. Seorang taba’iy mengkhabarkan bahwa seorang berstatus sebagai sahabat. Ini didasarkan [ada diterimanya “tazkiyah” dari satu orang. Dan inilah yang kuat. Sebenarnya bisa saja memadukan yang ketiga dengan yang kelima, yaitu berdasarkan khabar dari orang yang bisa diterima kesaksiannya. Kesahabatan merupakan status yang tidak bisa dimiliki seseorang kecuali ada dalil atau saksi yang memenuhi syarat-syarat kesaksian. Bila ada saksi yang bisa memenuhi syarat, maka barulah seseorang bisa mendapatkan status sahabat. 

E. “Ada alat al-Sahabat (Keadilan Sahabat)

Beberapa dalil mengenai keadilan sahabat.

Artinya: “Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 43).


Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Q.S Ali Imran [3]: 110)


Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka.” (Q.S Al-Fath [48]: 29)



Artinya: “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (Q.S Al-Anfal [8]: 64).



Artinya: “Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon” (Q.S Al-Fath [48]: 18).



Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah” (Q.S At Taubah [9]: 100).


Yang dimaksud sahabat itu orang-orang yang adil, bukan berarti mereka itu orang-orang terpelihara dari kemaksiatan, atau mustahil melakukan maksiat. Akan tetapi, yang dimaksud disni adalah adil dala konteks riwayat mereka dapat diterima tanpa persyaratan-persyaratan adil, dan meyakini mereka sebagai orang-orang yang bersih, tanpa ada prasangka mereka melakukan sesuatu yang tercela. Dan Alhamdulillah, hal itu ternyata terbukti tidak ada. Kita senantiasa berpegang atas kebaikan mereka selama masa Rasulullah saw sebagai hujjah, bahwa mereka seluruhnya adalah orang-orang yang bersih. Kita tidak perlu terpengaruh oleh apa yang disebutkan oleh ahli sejarah mengenai adanya sebagian sahabat yang bertingkah laku tidak baik. Keterangan yang demikian itu tidak benar. Kalau saja hal itu benar terjadi, maka harus dita’wilkan kepada kebenaran. Mengenai diri para sahabat ini, ‘Umar bin Abdul Aziz telah menyatakan, “bahwa mereka adalah darah-darah yang dijaga oleh Allah swt dari pedang-pedang kita, dan oleh karena itu mulut kita tidak boleh mencela mereka.


Dan oleh karena itu moralitas para sahabat sebagaimana tersebut diatas, maka imperative berimplikasi jika kita menemukan sebuah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang sahabat yang tidak diketahui nama atau identitasnya, hadis tersebut harus kita terima sebagai hujjah secara mutlak. Dan kondisi sanad yang demikian itu tidak berimplikasi negatif pada kedudukan hadis,karena semua sahabat adalah adil, dan orang yang mencatat sahabat adalah penilainnya tidak bisa diterima atau diridhai. 


F. Pandangan Ulama dan Argumentasinya Tentang Keadilan Sahabat



Para ulama hadis sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah adil, yang dimaksud dengan keadilan mereka dari kesengajaan melakukan dusta dalam meriwayatkan hadis, dari melakukan penukaran (pemutar balikan) hadis dan dari perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan tidak diterimanya riwayat mereka. Diantara dalil yang dikemukakan ulama hadis dalam menetapkan keadilan sahabat adalah Q.S Al-Baqarah ayat 144, Q.S Ali Imran ayat 110 dan hadis Nabi saw diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang keseluruhannya menyatakan bahwa umat Islam yang terbai adalah mereka yang hidup pada masa Rasulullah saw. 


Tentang penilaian terhadap para sahabat juga teradapat beberapa pendapat. 


1. Pendapat jumhur ulama mengatakan bahwa para sahabat Nabi saw adalah manusia-manusia yang arif, mujahid (ahli ijtihad) yang ‘adalah nya (keadilan, integritas kepribadiannya) dijamin oleh Al-Quran dan sunah. Karena itu mereka tidak bisa dikritik. Sesuatu yang datang mereka adalah benar. Mereka, menurut Ar-Razi adalah sahabat-sahabat Rasul saw yang menyaksikan wahyu dan tanzil, mengetahui tafsir dan takwil, memahami semua ajaran yang disampaikan oleh Allah swt telah menjadikan mereka teladan bagi umat. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Hajar al-Jailani, Ibn Hazm, al-Bazali, dan lain-lain.


2. Menurut pendapat Muktazilah, semua sahabat ‘adil (adil0, kecuali mereka yang terlibat dalam perang siffin (perang antara Ali dan Mu’awiyyah bin Abu Sufyan pada tahun 37 H/657M.


3. Menurut pendapat sebahagian kecil ulama semua sahabat seperti semua periwayat yang lain harus diuji ‘adalah-nya. Para sahabat, itu tidak beda dari manusia lainnya dalam hal ketidak mustahilannya berbuat salah dan alpa. Ke ‘adalah-an mereka bukan secara umum seperti kaidah pendapat jumhur sahabat kulluhum ‘udul (sahabat semuanya adil) tetapi secara perorangan, karena tingkat pengetahua, penguasaan terhadap agama dan kemampuan mereka tidak sama. Jadi bila ada sahabat yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, maka ‘adalahnya harus diteliti untuk menerima atau tidak hadis tersebut. Sebab, bila pendapat jumhur ulama diterima, maka semua hadis sahih. 


G. Jumlah Sahabat Yang Meriwayatkan Hadis



Jumlah sahabat itu banyak sekali. Ibnu Al-Shalah meriwayatkan dari Abu Zar’ah, dimana dia ditanya menegnai jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi saw. dia menjawab sambil balik bertanya, “Siapa yang bisa menentukan pastti berapa jumlahnya?” sahabat yang bersama Nabi saw mengikuti haji wada’ berjumlah empat ribu. Yang mengikuti Nabi saw dalam perang Tabuk sebanyak tujuh puluh ribu.” Ada satu riwayat dari Zar’ah bahwa dia ditanya, “apakah dengan menggunakan perhitungan kasar tidak bisa dikatakn hadis Nabi saw itu sebanyak empat ribu? Dia menjawab, “Siapa yang menetukan bilangan itu? Mudah-mudahan Allah swt menggilasnya. Itu adalah ucapan seorang zindiq. Dan siapa orangnya yang bisa menghitung hadis RAsul saw dengan lengkap dari orang yang meriwayatkan dan yang mendengarkan daripadanya? Kemudian, ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Zar’ah, sahabat-sahabat itu berada di mana, dan di mana mereka mendengar Rasul saw? Dia menjawab, “Mereka itu orang-orang Madinah, orang-orang Mekkah, orang-orang Badui, dan orang-orang yang bersama Nabi pada haji wada’. Mereka itu semuanya telah melihat Nabi saw dan mendengar darinya di Arafah.


Dari uraian tersebut di atas, maka untuk menghitung jumlah dan menetukan bilangan sahabat itu sulit dan tidak mungkin, karena mereka terpencar-terpencar di berbagai kota dan desa. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, bahwa Ka’ab bin Malik menceritakan ketertinggalan dirinya dalam perang Tabuk, dia mengatakan, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw itu banyak, tidak mungkin bisa dihitung dan sebutkan secara lengkap oleh pengarang-pengarang kitab yang hafidz. 


Sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadis Rasulullah saw ada tujuh orang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kontribusi sangat besar dan berperan penting dalam riwayat meriwayatkan hadis Nabi saw. mereka telah meriwayatkan lebih dari seribu hadis.


Para ulama telah menyusun biografi atau dunia pribadi mereka secara lengkap. Orang yang telah meriwayatkan lebih dari seribu hadis disebut “Nuktsir (orang yang banyak meriwayatkan hadis), dan ketujuh orang sahabat tersebut di atas disebut “Al-Muktsirum” (orang-orang yang banyak meriwayatkan hadis). Mereka ialah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abu Said Al-Khudri.


Abdullah bin Ibrahim Al-Alawi telah menghimpun nama ketujuh orang sahabat tersebut dalam bentuk nadham di dalam kitabnya Thal’atu Al-Anwar sebagai berikut: ”orang yang banyak meriwayatkan hadis ialah yang bergelar lautan ilmu di antara mereka (yaitu Ibnu Abbas), kemudian Anas, Jabir Al-Muqaddas, orang Daus (Abu Hurairah), dan demikian pula Ibnu Umar. Wahai Tuhan, peliharalah aku dan orang-orang yang banyak meriwayatkan hadis dari malapetaka.


Al-Imam Al-Allaamah, ahli hadis Mekkah dan Madinah, Syekh Hasan bin Muhammad Al-Masysyat mengatakan dalam nadhamnya sebagai berikut: “Sebagian ulama menambahkan lagi Abu Sa’id. Dia termasuk golongan mereka tanpa diragukan.”


Al-Hafidz Al-Suyuthi telah menghimpun nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tersebut ke dalam dua bait secara bersambung, sebagai berikut: “Orang-orang yang banyak meriwayatkan khabar (hadis) ialah Abu Hurairah, disusul kemudian oleh Ibnu Umar, Anas, Al-Bahr (ibnu Abbas) Al-Khudri, Jabir, dan istri Nabi saw (Aisyah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

Dalil Disyariatkan al-Jarh wa al-Ta’dil