Tafsir bi al-ra`yi al-mahmud

Tafsir bi al-ra`yi al-mahmud,
            Yaitu suatu penafsiran yang bedasarkan dari al-quran dan sunnah rasul, sedangkan pelaku dan mufassir adalah seorang pakar dalam bahasa arab, baik gayabahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushulnya.[1] Tafs³r bi al-ra`yi al mahmud ini sesuai dengan tujuan syara`, serta jauh dari kejahilan dan kesesatan.
            Adapun mengenai hukumnya, para ulama membolekan jenis tafs³rini, dengan mengajukan beberapa alasan, diantaranya:
1.       Firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-quran, ataukah hati mereka terkunci ?” (Q.S: Muhammad:24) serta ayat-ayat lain yang mengajak untuk mentadaburkan al-Quran.
2.      Do`a Rasulullah terhadap Ibnu Abbas: “Allah fahamkanlah dia mengenai agama dan pandaiakan dia dalam ta`wil.” Hadist itu menunjukkan keistemewaan yang dimiliki Ibnu Abbas yang mampu menggunakan ijtih±d dalam penafsirannya.
3.      Argumen yang menyataka bahwa bila tafs³r bi al-ra`yi tidak diperbolehkan maka banyak sekali hal-hal yang nantinya tidak mempunyai hukum, karena tidak dibolehkan berijtih±dpadahal Rasulullah SAW menjajikan bahwa orang yang berijtih±d mendapat pahala.[2]
            Tasir bi al-ra`yi al mahmud ini dibolehkan karena mufassir menafsirkan ayat dengan memenuhi segala kualifikasi dan sesuai dengan tujuan syar`i ditambah dengan ijtih±dnya sendiri. Salah satu contoh penafsiran bi al-ra`yi ditambah dengan ijtih±dnya sendiri. Salah satu contoh penafsiran bi al-ra`yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al-Mahalli dan imam as-sayuthi dalam kitab tafs³r kolaborasi mereka “tafs³r jalalain”, mengenai surat al-isra` ayat 85 :
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

            Imam mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya kedalam diri manusia maka manusia bisa hidup. Kemudian imam sayuthi memberiakan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah taala. Sebab itu menahan diri dari memberikan definisinya adalah lebih baik.[3]
            Karena tafs³r ini termasuk tafs³r bi al-ra`yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menfsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syariat.




[1] Fadh bin abdurrahman ar Rumi, Dirasah fi ‘Ulum Al-Quran, Terj: Amirul Hasan dan M.Halabi, ‘Ulumum Qur`an Study Kompleksitas Al-Quran, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet.II, 1999),hal.209
[2] Siti Amanah, Op-cit, hal 320 dari Mahmud Basuni Faudah, At Tafs³r wa Manahijuh, Terj: M.Mochtar Zoerni, Tafs³r-Tafs³r Al-Quran Perkenalan Dengan Metodologi Tafs³r, (Bandung,Pustaka,1987),hal.87
[3]  M.Aly Ash Shabuny,Op-cit, hal 215

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,