Arti Dan Sejarah Timbulnya Syiah

Syiah berasal dari kata Arab Syi’ah yang secara etimologis berarti pengikut, kelompok, golongan dan pendukung.Sedangkan secara terminologis, Syiah berarti orang atau kelompok yang mengangkat kepemimpinan Ali dan Keluarganya. Mereka itu anatara lain adalah : Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Abu Dzar al Ghiffari dan lainnya.


Dukungan kepada Ali yang berlebihan untuk menjadi khalifah tidak hanya terjadi saat setelah meninggalnya Nabi Muhammad yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah dimana suara Bani Hasyim dan sekelompok kecil Muhajirin menuntut kekhalifahan bagi Ali, tetapi lebih memuncak pada saat kepemimpinan Utsman yang tidak adil dan hanya mementingkan kaum Umayyah sehingga mengakibatkan terbunuhnya Ustman bin Affan dan pengangkatan Ali sebagai khalifah ke empat.


Saat setelah pengangkatan sebagai khalifah, Ali mendapat tantangan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ingin menjadi khalifah,terutama adalah Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari isteri Nabi Muhammad yaitu Aisyah. Dalam peperangan yang dikenal dengan nama Harbul Jamal, Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.


Tantangan kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damaskus sekaligus anggota terdekat dari Utsman bin Affan. Kontraversi ini mengharuskan perang dengan Muawiyyah tak terhindarkan, Ali hampir menang secara militer, namun dengan cepat Muawiyyah mohon penyelesaian secara diplomatik dan akhirnya mereka memenangkan diplomasi.


Setelah kekalahan diplomatik dengan Muawiyyah, soliditas kubu Ali terpecah menjadi dua yaitu golongan yang tetap setia kepada Ali dan golongan pemberontak yang kelak lebih dikenal dengan golongan Khawarij.Golongan yang kedua ini ingin mengembalikan masalah kekhaifahan kepada rakyat banyak melalui pemilihan, tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyyah, sehingga ia merencanakan untuk membunuh keduanya namun hanya Ali yang terbunuh sedangkan Muawiyyah malah berhasil mengkonsolidasikan diri dengan ummat Islam, hal ini berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya.


Karena trauma dengan pertumpahan darah, kaum Muslimin secara pragmatis mendukung kekuasaan Muawiyyah sehingga saat itu yaitu tahun ke 4 hijriah secara khusus disebut tahun persatuan.[3] Dalam bidang keagamaan, sikap traumatis menimbulkan netralitas warga Madinah yang dipelopori Abdullah bin Umar dalam mendalami agama berdasarkan Al Qur’an dengan memperhatikan serta mempertahankan tradisi warga Madinah, yang dipandang sebagai kelanjutan tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi dan merupakan cerminan Sunnah Nabi itu sendiri.


Kaum netralis ini selalu dipercaya oleh penguasa umayyah, meski sering melakukan oposisi moral dengan rezim Damaskus namun unifikasi dilakukan antara Golongan netralis (sunnah) dengan golongan jamaah (pendukung Muawiyyah) yang kemudian melahirkan golongan Sunnah dan Jamaah ( Ahl al Sunnah wa al Jamaah ).

Sementara golongan yang setia kepada Ali tetap berjuang untuk merebut kekhalifahan,terlebih pada saat Husein putera Ali yang lahir dari puteri Nabi Muhammad Fatimah hendak mencoba menuntut kekhalifahan atas kematian ayahnya dan bahkan mengadakan perlawanan terhadap Yazid anak Muawiyyah, orang yang menjadi lawan Ali dan mendirikan kekhalifahan umayyah yang ber ibukota di Damaskus. Suatu hari, Husein diundang untuk datang ke Irak oleh warga kota Kuffah ( 680 M ) yang berjanji untuk mendukungnya, tapi dalam perjalanan dari Madainah menuju Irak sebelum sampai ke kuffah, Husein dan keluarganya dihadang oleh tentara Yazid di Karbala dan mengakibatkan pembunuhan besar-besaran terhadap Husein dan keluarga kecuali Zain al Abidin yang sedang sakit.Tubuh Husein kemudian dikuburkan di Karbaladan kepalanya di bawa ke Damaskus ke tempat Yazid. Dibalik tragedi tersebut justru menjadi cambuk bagi pertumbuhan kaum Syiah.


Propaganda dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan kaum Syiah dipacu oleh kepercayaan mereka terhadap wasiat Nabi yang menunjuk Ali sebagai Imam pertama di sebuah tempat yang terdapat genangan air yang dinamakan Ghadir Khumm, yaitu ketika Nabi kembali ke Madinah pulang dari perjalanan haji.


Wasiat tersebut dapt dipandang penting, karena dapat memunculkan dan bahkan menjadi pangkal utama perselisihan antara kaum Syiah dan Sunni.Bagi kaum Syiah,wasiat tersebut adalah absah, sehingga menolak kekhalifahan Ustman, Umar dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum Rafidlah (mereka yang menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al Jamaah, wasiat ghadir Khum adalah palsu yang dibuat-buat oleh kaum Rafidlah.

Kekhalifahan yang sah bagi kaum syiah adalah Ali, kaum Khawarij hanya Abu Bakar dan Umar sedangkan kaum umayyah adalah Abu Bakar, Umar dan Ustman. Penetrasi atas pengakuan yang demikian itu adalah tampilnya khalifah umar bin Abdul Aziz dari kalangan Umayyah yang diketahui sebagai penguasa pertama yang memerintahkan pembukuan Hadist dan cukup bijaksana mengurangi sumber-sumber fitnah di kalangan ummat. Umar bin Abdul Aziz melakukan gerakan untuk merehabilitasi nama Ali dan mengakuinya sebagai khalifah yang sah serta mendudukkan Ali sederetan dengan pendahulunya, sehingga khalifah klasik yang berpetunjuk dan bijaksana ( al Khulafa al rasyidun ) itu adalah Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali.


Terlepas dari otentik atau tidaknya wasiat Ghadir Khum itu, secara empiris golongan Syiah saat ini menduduki golongan terbesar kedua dalam dunia Islam yang menyebar di Negara Lebanon, Iran, Irak, Azerbaijan sebagai penduduk mayoritas dan sementara di India, Pakistan, Afganistan, Suriah, Arab Saudi, Negara-negara teluk Persia dan Afrika Timur menjadi minoritas. Revolusi Abbasyiah yang menghabisi kaum Umayyah berhasil gemilang karena dukungan kaum syiah, meski akhirnya kaum Abbasyiah lebih memperhatikan kepada kaum Sunni, namun kehadiran kaum Syiah sangat terasa dan berperan dalam dinasti Abbasyiah, begitun juga kemenangan revolusi mereka di Iran yang merupakan titik balik perkembangan Islam di dunia dan menghapus keseluruhan sejarah mereka tentang kegagalan demi kegagalan.


Dalam wawasan Teologi / Kalam, karena kedekatannya dengan kaum Khawarij yang menjelma dalam system Kalam kaum Mu’tazilah, kaum Syiah adalah lebih dibanding dengan kaum Sunni dalam hal mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual, bahkan pada abad ke tujuh belas masih mampu melahirkan seorang pemikir besar, Mulia Sadra, yang bisa dibandingkan dengan para pemikir sezamannya di Barat.Selain dari pada itu kaum Syiah pernah berkuasa secara gemilang pada dua Dinasti yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo, Masjid dan Universitas Al Azhar. Kedua pada saat Dinasti Shafawiyah di Iran yang merubah masyarakat dari pengikut Sunni menjadi Syi’i.


Lebih penting dari semua yang tersebut diatas, mendiskusikan Syiah akan lebih menukik manakala dijelaskan aliran-aliran dan pemikiran dalam Syiah.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?