Munawir Syazali dan Reaktualisasi Hukum Islam
1. Biografi Munawir Sadzali
Munawir Sadzali lahir di desa KarangAnom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November1925. Ia merupakan anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sadzali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi, keluarga Munawir termasuk keluarga kurang mampu,tetapi dari segi agama keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang taat beragama.
Ayahnyaseorang kiai sekaligus pemimpin Ranting Muhammadiyah di desanya yang juga aktif dalam kegiatan tarekat Sadzaliyyah. Dalam diri ayah Munawir tergabung pemikiran modern dan jiwayang tenang (sufisme), hal ini pula yang mengalir pada diri Munawir. Sebagai orang yangdibesarkan dalam pemikiran tradisional, dia selalu menjaga etika ketimuran (jawa), dan sebagaiorang modern dia merespon setiap perubahan yang positif termasuk pembaharuan pemikiranhukum Islam.
Dua fenomena yang ada pada keluarga Munawir Sadzali yaitu kondisi ekonomi yangserba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkanMunawir pada satu pilihan pendidikan yaitu Madrasah. Selain karena biaya pendidikan dilembaga pendidikan Islam ini relatif murah, lembaga pendidikan ini juga mengutamakan ilmu-ilmutradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah dikampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mambaul Ulum tahun 1943, Munawir menjadiguru di sekolah Muhammadiyah Salatiga dan kemudian pindah menjadi guru di GunungPati,Semarang. Dari GunungPati inilah keterlibatan Munawir dalam kegiatan-kegiatan Islam berskalanasional dimulai. Dia tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah dalam beberapa organisasi, diantaranya sebagai Ketua Angkatan Muda GunungPati, Ketua Markas Pimpinan PertempuranHizbullah-Sabilillah (MPHS) dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)Semarang. Di GunungPati ini juga untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karnoyang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang berkunjung ke Gunung Pati.
Munawir menulis buku yang berjudul “Mungkinkah Negara Indonesia BersendikanIslam”. Bung Hatta, orang nomor dua di Indonesia saat itu sempat membaca tulisan Munawirhingga pada suatu saat Bung Hatta dipertemukan dengannya. Dari pertemuan inilah Munawirdipercaya untuk bekerja di Departemen Luar Negeri.
Selanjutnya kehidupan Munawir mulai berubah. Kesempatan untuk melanjutkan studikeluar negeri seperti yang dia impikan telah terbuka lebar. Munawir melanjutkan studi bidangpolitik di Exeter University, London (1953-1954). Kemudian dia ditugaskan sebagai diplomat diWashington (1953-1954). Sambil bekerja Munawir menggunakan kesempatan untuk mendalamiilmu politik di George Town University, yang kemudian akhirnya dia menulis sebuah tesis yangberjudul “Indonesian Moslem Political Parties and Their Political Concepts”. Selama lebih kurang 32 tahun Munawir Sadzali mengabdi di Departemen Luar Negeri dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Jenderal Politik.
Pada tanggal 19 Maret 1983 Munawir Sadzali dipercaya oleh Soehartosebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan periode KabinetPembangunan V (1988-1993). Setelah tidak menjabat menjadi Menteri, beliau tetap aktif sebagaianggota DPA, Ketua KOMNAS HAM, staf pengajar di Pasca Sarjana UIN Jakarta serta dosenterbang di beberapa perguruan tinggi yang lain. Munawir meninggal dunia tanggal 23 Juli 2004, di Jakarta dalam usia 79 tahun.
2. Karya Munawir Sadzali
Di antara Tulisan-tulisan Munawir Sadzali adalah:
a. Mungkinkah Negara IndonesiaBersendikan Islam (1950),
b. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (1988), Islam dan Tata Negara (1990),
c. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini (1994),
d. Kontekstualisasi Ajaran Islam (1995) dan IjtihadKemanusiaan (1997).
3. Orisinalitas dan Landasan Pemikiran Munawir Sadzali
Pemahaman terhadap ajaran Alquran, akan bisa merespon perkembangan zaman bilakajian- kajian yang dilakukan tidak hanya terhenti pada dataran normative, tapi juga meliputi aspek historis.
Alquran merupakan kitab suci yang tidak seperti kitab suci lain menggunakanbahasa Arab sebagai bahasa tetap dan tidak berubah. Pertanyaannya, bagaimana umat Islammenghadapai persoalan yang selalu berubah dengan berlandaskan kepada Alquran yang tidak akan berubah?
Fazlur Rahman mengatakan bahwa problem krusial yang dihadapi umat Islamsaat ini adalah problem modernitas. Untuk mengatasi hal itu, maka bermunculan para pemikirMuslim modern maupun kontemporer yang menawarkan sejumlah teori dan metodologi dalamupaya mengkontekstualkan ajaran al-Quran, terutama teori-teori yang terkait dengan ijtihadsekaligus implikasinya terhadap perkembangan hukum Islam.
Pembahasan tentang ijtihad tidak bisa lepas dari kajian ushul fikh secara mendalam.Melalui ushul fikh ini para pemikir Muslim akan mengetahui:
a. Sumber ajaran Islam yang disepakati,
b. Sumber Ajaran Islam yang masih diperselisihkan.
c. Bagaimana memahamisumber-sumber tersebut, terutama bila ada pertentangan antara teks satu dengan teks lain, antara teks dengan kemaslahatan, dan bagaimana memposisikan nash dalam persoalan kontemporeryang terkait masalah sosial, budaya, politik ekonomi dan sebagainya.
Kajian tentang hukum Islam di atas akan melibatkan unsur hermeneutik sebagai pendekatan yang dianggap baru. Meski sebenarnya, menurut Norman Calder berdasarkan penelitiannya, bahwa sejumlah elemen-elemen dalam prinsiphermeneutika yang berkembang saat ini, sudah diterapkan pada kitab- kitab ushul fikh masa klasik.
Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer saat ini, mulai berkembang suatupemikiran sumber hukum yang dianggap mandiri yakni maslahah atau maqashid asy-syariyyah.Belakangan konsep tersebut makin berkembang bahkan menjadi disiplin ilmu yang seolahterlepas dari ilmu ushul fikh. Konsep pemikiran tersebut meski mulai berkembang belakangan, namun secara implisitsudah dijadikan sebagai landasan berpikir oleh para intelektual Muslim tak terkecuali di Indonesia.
Pemikir modern Indonesia masa kemerdekaan, Hazairin, memperkenalkan konsep “kewarisan bilateral”.
Dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak menjelaskan tentangstruktur kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian dalam realitasnya umatIslam dihadapkan dengan berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal,matrilineal, dan bilateral.
Patrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab hanya melalui jalur bapak atau laki-laki, dan matrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ibu atau perempuan semata, sementara bilateral merupakan bentuk kekerabatan yang menentukan garis nasab melalui jalur bapak dan ibu, yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.
Menurut Hazairin, al-Qur’an hanya menghendaki sistem sosial yang bilateral. Dengandemikian hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya juga bercorak bilateral, bukanpatrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Pembagian waris dengan sistem patrilinearsebenarnya merupakan produk hukum adat, yang oleh sebagian besar kaum muslimin dianggapsebagai model kewarisan menurut al-Quran. Hazairin telah memberikan penafsiran yang baruterhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar
sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur‟an. Teori ini lebih dapat memberikan unsur maslahahdan rasa keadilan dalam masyarakat, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorakpatrilineal yang selama ini dikenal.
Begitu juga konsep “fikh sosial” K. H Sahal Mahfudz, sangat kental dengan pengutamaanunsur maslahah dan maqashid al-syariah dalam penerapan ijtihad barunya. Menurut beliau, kitabfiqih harus disikapi secara metodologis dan proposional, sehingga tidak kehilangan elan vitalnya.Selain itu penyikapan fiqih yang terlalu tekstual, justru paradoks dengan historisitas fiqih itusendiri dari pergulatan antara “teks” dan “konteks”.
Metode kontekstual ini adalah metodeyang harus dikembangkan, karena fiqih mengandung makna penalaran (reasoning)atas persoalan-persoalan hukum. Terma yang dijadikan acuan adalah ungkapan Imam Ghazaliyaitu seorang ulama harus menangkap “pesan zaman” demi kemaslahatan umat. Fiqh sosialmemiliki lima ciri pokok yang menonjol:
a. Interpretasi teks-teks Fiqh secara kontekstual.
b. Perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual (mazhab qauli) ke bermazhab secarametodologis (mazhab manhaji).
c. Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan manayang cabang (furu‟).
d. Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif Negara.
e. Pengenalan metodologi pemikiran filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial.
Fiqhsosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandangsebagai perhatian utama syari‟at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upayauntuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkankesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-maslahah al-„ammah). Kemaslahatan umum secarasederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasantertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Kebutuhan itu bisa berdimensi dlaruriyahatau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatanagama, akal pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajjiyah(sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi tahsiniyyah atau pelengkap (suplementer).
Mencermati pemikiran Hazairin dan Sahal Mahfudz terkait dengan konsep ijtihad,keduanya tidak lepas dari unsur maslahah maupun maqashid asy-syariah. Bahwa dalam memahamiajaran Alquran, juga dalam mengkaji kembali konsep fikh yang berkembang, hendaknyamengutamakan kepentingan umat dan tujuan dibuatnya suatu hukum tertentu. Dalam hal iniMunawir lebih mengkonkritkan lagi pada tiga kerangka metodologi yakni adat, nasakh danmaslahah. Lebih lanjut tulisan ini akan membahas tentang konsep pemikirannya, terutama tentangaplikasi kerangka metodologi yang ditawarkan beserta contoh permasalahan.
4. Latar Belakang Pemikiran Munawir Sadzali
Sebagai seorang Menteri Agama, Munawir banyak mendapat laporan dari para HakimAgama di berbagai wilayah Indonesia, tentang banyaknya penyimpangan-penyimpangan yangterjadi di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagai contoh dalam masalah warisan, bilaada keluarga Muslim yang meninggal, pembagian waris yang seharusnya diselesaikan diPengadilan Agama dengan ketentuan faraidh, yang terjadi justru mereka pergi ke PengadilanNegeri agar penyelesaian bisa diselesaikan dengan ketentuan di luar ilmu faraidl. Hal tersebutbukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama.
Sementara itu banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup,mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masingmendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah. Dengandemikian jika orang tua meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan hampirhabis sama sekali. Dalam hal ini, secara formal tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan al-Quran. Tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul?.
Sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam juga terlihatdalam penerapan bunga bank. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bungaatau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka hukumnya haram sebagaimana riba.Sementara dalam realitasnya, mereka justru banyak yang menggunakan jasa bank, hidup daribunga deposito, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dlarurat.Padahal seperti yang dapat dibaca dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Kelonggaran yangdiberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidaklebih dari pemenuhan kebutuhan esensial. Yang menjadi pertanyaan Munawir adalah apakahtindakan demikian bukan termasuk kategori mempermainkan agama ? Itulah realitas yangterjadi di tengah-tengah masyarakat.Menurut Munawir, kenyataan sosial demikian memang banyak terjadi di kalangan umatIslam bahkan di kalangan agamawan. Sementara di sisi lain, mereka para “pelakupenyimpangan” tidak bisa dikatakan tidak mempunyai komitmen utuh kepada ajaran Islamtanpa mempelajari factor apa saja yang melatarbelakangi mereka melakukan hal itu. Dalamkasus hukum waris misalnya, Munawir mengatakan bahwa pembagian waris Islam seperti yangditentukan oleh al-Quran bukan berarti tidak adil, tetapi justru sikap masyarakat yang tidakpercaya lagi kepada keadilan hukum faraidh. Inilah yang melatarbelakangi pemikirannya untukmemunculkan ide “Reaktualisasi Hukum Islam”.
Ijtihad yag dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab sangat mempengaruhipemikirannya, terutama dikaitkan dengan posisinya sebagai Menteri Agama. Munawirmengemukakan fakta bahwa Umar bin Khattab pernah melakukan ijtihad yang didasarkankepada aspek maslahah dalam beberapa kasus yang dihadapinya. Beberapa pertimbanganterhadap situasi konkrit dan realitas umat sangat mempengaruhi Umar dalam mengurusmasyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya.
Pertimbangan sosial ekonomi serta keadilan untuk senantiasa mewujudkan kemaslahatan ummattelah mempertegas sikap beliau dalam menjalankan ajaran Islam. Sebagaimana Khalifah Umardahulu, banyak membuat kebijakan dan keputusan yang tidak sesuai dengan Alquran atas dasarkemaslahatan umat.
Menurut Ibrahim Husen dalam catatannya, langkah ijtihad penerapan konsep maslahahyang dilakukan oleh Munawir juga tidak lepas dari tokoh Najmuddin Ath-Thufi dan Abu Yusufdengan teori adatnya. Hal ini sangat mungkin dipahami mengingat Munawir berasal darikeluarga agamis yang kental dengan nuansa tradisional, sehingga pemahamannya terhadap kitabkuning juga tidak diragukan. Sementara perjumpaannya dengan metodologi baru yangdidapatkan dari Barat juga sangat mempengaruhi konsep pemahamannya terhadap nash.
Beberapa kalangan ahli fikh ushul fikh tidak sepakat dengan pemikiran Ath-Thufi, termasukIbrahim Husen, namun dalam hal ini Munawir justru menggunakannya dalam penerapankonsep ijtihadnya.
B. Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.
1. Kasus Pembagian Harta Waris
Berangkat dari pemahaman surat an-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;”
Ayat di atas yang menyatakan bahwa bagianwarisan harta untuk anak laki-laki adalah dua kali yang diberikan kepada anak perempuan.Munawir berusaha mengkontekstualisasikan ajaran Islam dengan mendekonstruksi masalahpembagian warisan tersebut. Dekonstruksi yang dilakukannya bukan merupakan hal baru, sebabmasalah interpretasi yang menyimpang terhadap ajaran agama juga pernah dilakukan Umar binKhattab.
Dalam masalah warisan, Munawir menjelaskan bahwa bagian warisan antara laki-lakiyang dua kali lipat dari bagian wanita, pertama, tidak mencerminkan semangat keadilan bagimasyarakat Indonesia sekarang ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan dariketentuan waris tersebut baik dilakukan oleh orang awam maupun ulama, dengan caramelakukan hailah, yakni dengan cara menghibahkan harta bendanya kepada putera-puterinyaketika orang tua tersebut hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidakpercayaan masyarakatmuslim terhadap hukum waris dalam al-Quran.
Alasan keduaadalah faktor gradualitas. MenurutMunawir, wanita pada masa jahiliyah tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam datang,wanita diangkat derajatnya dan diberi warisan walaupun hanya separo dari bagian laki laki.Pengangkatan derajat wanita dengan diberinya warisan ini tidak secara langsung disamakandengan laki-laki, tetapi dilakukan secara bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual ajaranIslam sebagaimana kasus pengharaman khamr. Kemudian oleh karena pada masa modern iniwanita memberikan peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, maka merupakan suatuyang logis bila warisannya ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.
Alasan ketiga, bahwa bagianlaki-laki dua kali lipat bagian perempuan dikaitkan dengan suatu persyaratan bahwa laki-lakimempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak isteri, bahkan orang tua maupun adikperempuan yang belum bersuami. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Suratan-Nisa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Sebenarnya dalam konteks zaman sekarang bukan hanya suami yang bisa mencarinafkah. Perkembangan zaman menuntut perempuan untuk bisa lebih maju dan mandiri.Sehingga wilayah mencari nafkah dilakukan oleh kaum perempuan merupakan hal yang biasa.Bila dalam kondisi demikian ketentuan hukum waris masih diterapkan 2 (dua) banding 1 (satu), itu dianggap sebagaibentuk ketidakadilan.
2. Kasus Bunga Bank
Bunga bank yang oleh umat islam biasa disebut riba, mempunyai arti tambahan, baikberupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam membayar selain jumlahuang yang dipinjam, pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman tersebut. Sepertidalam Surat al-Baqarah ayat 278 disebutkan:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
Sampai sekarang banyak para ulama yang mengharamkan pemungutan bunga bank tapitidak ada pencegahan terhadap penggunaan jasa bank. Termasuk umat Islam di Indonesia saatini, dari berbagai kalangan sudah terbiasa hidup dengan sistem bunga bank bahkanketergantungan terhadap jasa bank tidak ada bedanya dengan umat yang lain. Menurut SayyidSabiq, ada empat alasan mengapa riba diharamkan yakitu:
a. Riba merupakan penyebabtimbulnya permusuhan antar masyarakat.
b. Riba cenderung melahirkan perbedaan kelas dalammasyarakat
c. Riba merupakan penyebab terjadinya penjajahan, wewenang untuk lebih menguasai yang lain.
d. Islam menghimbau untuk memberikan pinjaman untuk menolong,bukan memberatkan dengan tambahan.
Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sayid Sabiq di atas, nampaknya sangat masuk akal kalau kemudian riba diharamkan oleh Islam.Namun berkaitan dengan sistem bunga bank yang ada di Indonesia saat ini apakah mempunyai kriteria demikian? Dalam Surat al-Baqarah ayat 279 disebutkan:
ۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ
Artinya: “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan)”
Lebih tegas lagi Munawir menjelaskan bahwa kata kuncinya adalah tidak merugikan orang lain atau tidak ada pihak yang dirugikan.Bank adalah suatu lembaga terhormat, dan sistem bungaadalah suatu mekanisme pengelolaan bank untuk peredaran modal masyarakat. Berdasarkanprinsip jangan ada pihak yang dirugikan, tidak adil kalau pemilik modal kehilangan daya belimodal yang dititipkan untuk jangka waktu tertentu, sementara peminjam dana yangmenggunakannya untuk modal usaha dan mendapatkan untung tidak harus membagikeuntungannya dengan pemilik asli modal. 22
Salah satu keberatan yang dikemukakan orang terhadap sistem bunga bank ialah karenajumlah prosentase bunga sudah ditetapkan lebih dahulu. Maka, sebagai alternatif ditawarkansistem bagi hasil yang berarti akan dihitung untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagiantara pemilik dan pengguna modal, baik keuntungan maupun kerugiannya. Tetapi menurutMunawir, dalam prakteknya sistem pengelolaan bagi hasil ternyata lebih kompleks dan tidakefisien.
Bisa dipahami, bahwa konsep reaktualisasi yang dilontarkan oleh Munawir sebenarnyatidak menghapus apa yang ada dalam Alquran, jadi pada dasarnya bukan sesuatu yang baru.Mengingat pada sekitar abad 12, Abu Yusuf, murid Imam Hanifah menyatakan bahwa kalau adanash yang didasarkan oleh adat, kemudian adat tersebut berubah, maka petunjuk yangterkandung dalam nash tersebut juga ikut berubah.
Pada sekitar abad ke-7, at-Thufy, seorangulama mazhab Hanbali, mengatakan bahwa kalau terjadi benturan antara kepentinganmasyarakat dengan nash, maka yang didahulukan adalah kepentingan masyarakat.
DuaMufassir besar abad 20, yaitu Mustofa Al-Maraghi dan Muhammad Rasyid Ridho menyatakanbahwa hukum itu semata-mata diundangkan untuk kepentingan manusia, sementarakepentingan manusia dapat berubah sesuai perkembangan zaman, maka sangat mungkin terjadimuncul hukum yang baru yang bisa disesuaikan dngan kondisi masyarakat setempat.
Demikian juga Muhammad Abduh mengawali sebuah makalahnya yang berjudul Al-Islah al-Diny(Reformasi Keagamaan) dengan kalimat sebagai berikut : “Kita harus berani membebaskanbelenggu pikiran kita dari belenggu taqlid dan berusaha memahami agama denganmempergunakan akal sebagai sesuatu yang paling utama..”.
Pada dasarnya disini Munawiringin menegaskan bahwa berijtihad menemukan sesuatu hukum baru dari al-Quran adalah bukanhal yang pertama dia lakukan. Para tokoh-tokoh dan ulama sebelumnya sudah menerapkan halitu, bahkan pada masa Umar bin Khattab sekalipun.
C. Metodologi Ijtihad Munawir Sadzali
Pada kondisi dan kasus tertentu, secara sosio kultural, sebenarnya Hukum Islam telahmenyatu dan menjadi hukum yang hidup. Namun secara teori, sebagaimana dikatakan olehSchacht, bahwa hukum Islam mengesampingkan adat sebagai suatu sumber yang resmi dalamIslam. Hal itu bisa dikatakan bahwa secara teoritis, adat tidak diakui sebagai salah satu sumberdalam jurisprudensi Islam.
Disini Munawir menawarkan tiga kerangka metodologi dalam berijtihad yakni: adat,nasakh dan maslahah.
1. Adat(Kebiasaan)
Munawir selalu mengutip pendapat Abu Yusuf yangmengatakan bahwa nash diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jika adat berubah, makagugur pula dalil hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Bagi Munawir nash hanyalahsebuah tawaran bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam kondisisosial masyarakat tertentu. Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat, dan ternyata adatlebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka adat dapat diterima.Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Hal inisesuai dengan hadis Nabi bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggapbaik di sisi Allah.“Penolakan” terhadap nash karena adanya adat baru yang dipandang sebagai illatpembatalan hukum yang terkandung dalam nash adalah sesuai dengan kaidah yang mengatakan:
“al-Hukmu yajri ma’al illati wujudan wa’adaman”
“Tagoyyurul ahkam bitagoyyuril amkinat wal ‘azminah”
Hal ini tidak otomatis bisa dipandang sebagai pengabaian nash, namun merupakan caralain untuk menafsir-ta‟wilkan kandungan maslahah yang terdapat dalam nash. Teori ini masihsangat layak digunakan dalam pengembangan hukum Islam.
Teori adat yang disiapkan dalamkerangka metodologi hukum Islam ini merupakan langkah untuk mengantisipasi perubahandalam masyarakat, karena kebutuhan hukum masyarakat tidak akan pernah mati dan akan terusberkembang. Untuk itu adat ini digunakan sebagai salah satu alat yang memberikan jaminanbahwa Islam shalih li kulli makan wa zaman,
2. Nasakh
Dalam pandangan Munawir, nasakh adalahpergeseran atau pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayatyang diterima oleh Rasul pada masa sebelumnya. Munawir sering mengutip pendapat Mufassirbesar seperti Ibn Katsir, al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut paramufassir tersebut, nasakh merupakan suatu perubahan hukum sangat erat kaitannya denganperubahan tempat dan waktu.
3. Maslahah
pengertian maslahah sendiri menurut Abdul WahabKhallaf adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak disebut ketentuannya dalamal-Quran dan Sunah. Penetapan semata-mata dimaksudkan dalam rangka mencari kemaslahatandan menolak kerusakan dalam kehidupan manusia.
Bila dilihat dari konsep maslahah at-Thufi,bahwa jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma‟, maka wajibmendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma‟. Pemikiran at-Thufi ini dibangun atasempat prinsip dasar yakni :
“istiqlalul uquli bi idraqil masholihi wal mafasid”
(Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu).Namun disini kebebasan akal hanya dalam hal muamalat dan adat istiadat, bukan dalam halibadah.
“Al-maslahatu dalilu syar’i mustaqilun anin nushush”
“Maslahah adalah dalil syara‟ yang tidak terikat dengan ketentuan nash.”Bagi ath-Thufy, untukmenyatakan sesuatu itu maslahah atau tidak didasarkan pada ada istiadat dan eksperimen,bukan pada nash.
“Majallul amal fil mashlahah huwa mu’amalat dunal ibadah”
“Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara‟ dalam bidang mu‟amalah, tidak dalam bidang ibadah.”
“Al-mashlahatu aqwa dalilu al-syar’i”
“Maslahah adalah dalil syara‟ yang terkuat.”Disini ath-Thufi berpendapat bahwa maslahahadalah dalil yang terkuat mengingat sabda nabi: “Tidak memadlaratkan dan tidakdimadlaratkan”.Adapun teori Abu Yusuf yang sering dijadikan rujukan oleh Munawir adalah kaidahushuliyah yang berbunyi : Al-Hukmu yadurru ma‟a illatihi wujudan wa adaman, yaitu bahwa hukumitu beredar menurut illat baik ada maupun tidak adanya. Begitu juga dengan kaidah :Taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinat wal azman
Kaidah ushuliyah ini masih bisadikembangkan dalam rangka reaktualisasi hukum Islam sekarang ini. Adat, nasakhh dan maslahahyang menjadi landasan metodologis Munawir dalam melakukan ijtihad, kadang diterapkansecara terpisah, namun juga tidak jarang digunakan secara bersamaan. Penangguhanpemberlakuan ayat waris dalam al-Qur‟an, atau mempertimbangkan kembali sistem bunga bankdalam kondisi Indonesia saat ini, akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebihmemperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
Munawir Sadzali lahir di desa KarangAnom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November1925. Ia merupakan anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sadzali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi, keluarga Munawir termasuk keluarga kurang mampu,tetapi dari segi agama keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang taat beragama.
Ayahnyaseorang kiai sekaligus pemimpin Ranting Muhammadiyah di desanya yang juga aktif dalam kegiatan tarekat Sadzaliyyah. Dalam diri ayah Munawir tergabung pemikiran modern dan jiwayang tenang (sufisme), hal ini pula yang mengalir pada diri Munawir. Sebagai orang yangdibesarkan dalam pemikiran tradisional, dia selalu menjaga etika ketimuran (jawa), dan sebagaiorang modern dia merespon setiap perubahan yang positif termasuk pembaharuan pemikiranhukum Islam.
Dua fenomena yang ada pada keluarga Munawir Sadzali yaitu kondisi ekonomi yangserba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkanMunawir pada satu pilihan pendidikan yaitu Madrasah. Selain karena biaya pendidikan dilembaga pendidikan Islam ini relatif murah, lembaga pendidikan ini juga mengutamakan ilmu-ilmutradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah dikampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mambaul Ulum tahun 1943, Munawir menjadiguru di sekolah Muhammadiyah Salatiga dan kemudian pindah menjadi guru di GunungPati,Semarang. Dari GunungPati inilah keterlibatan Munawir dalam kegiatan-kegiatan Islam berskalanasional dimulai. Dia tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah dalam beberapa organisasi, diantaranya sebagai Ketua Angkatan Muda GunungPati, Ketua Markas Pimpinan PertempuranHizbullah-Sabilillah (MPHS) dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)Semarang. Di GunungPati ini juga untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karnoyang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang berkunjung ke Gunung Pati.
Munawir menulis buku yang berjudul “Mungkinkah Negara Indonesia BersendikanIslam”. Bung Hatta, orang nomor dua di Indonesia saat itu sempat membaca tulisan Munawirhingga pada suatu saat Bung Hatta dipertemukan dengannya. Dari pertemuan inilah Munawirdipercaya untuk bekerja di Departemen Luar Negeri.
Selanjutnya kehidupan Munawir mulai berubah. Kesempatan untuk melanjutkan studikeluar negeri seperti yang dia impikan telah terbuka lebar. Munawir melanjutkan studi bidangpolitik di Exeter University, London (1953-1954). Kemudian dia ditugaskan sebagai diplomat diWashington (1953-1954). Sambil bekerja Munawir menggunakan kesempatan untuk mendalamiilmu politik di George Town University, yang kemudian akhirnya dia menulis sebuah tesis yangberjudul “Indonesian Moslem Political Parties and Their Political Concepts”. Selama lebih kurang 32 tahun Munawir Sadzali mengabdi di Departemen Luar Negeri dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Jenderal Politik.
Pada tanggal 19 Maret 1983 Munawir Sadzali dipercaya oleh Soehartosebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan periode KabinetPembangunan V (1988-1993). Setelah tidak menjabat menjadi Menteri, beliau tetap aktif sebagaianggota DPA, Ketua KOMNAS HAM, staf pengajar di Pasca Sarjana UIN Jakarta serta dosenterbang di beberapa perguruan tinggi yang lain. Munawir meninggal dunia tanggal 23 Juli 2004, di Jakarta dalam usia 79 tahun.
2. Karya Munawir Sadzali
Di antara Tulisan-tulisan Munawir Sadzali adalah:
a. Mungkinkah Negara IndonesiaBersendikan Islam (1950),
b. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (1988), Islam dan Tata Negara (1990),
c. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini (1994),
d. Kontekstualisasi Ajaran Islam (1995) dan IjtihadKemanusiaan (1997).
3. Orisinalitas dan Landasan Pemikiran Munawir Sadzali
Pemahaman terhadap ajaran Alquran, akan bisa merespon perkembangan zaman bilakajian- kajian yang dilakukan tidak hanya terhenti pada dataran normative, tapi juga meliputi aspek historis.
Alquran merupakan kitab suci yang tidak seperti kitab suci lain menggunakanbahasa Arab sebagai bahasa tetap dan tidak berubah. Pertanyaannya, bagaimana umat Islammenghadapai persoalan yang selalu berubah dengan berlandaskan kepada Alquran yang tidak akan berubah?
Fazlur Rahman mengatakan bahwa problem krusial yang dihadapi umat Islamsaat ini adalah problem modernitas. Untuk mengatasi hal itu, maka bermunculan para pemikirMuslim modern maupun kontemporer yang menawarkan sejumlah teori dan metodologi dalamupaya mengkontekstualkan ajaran al-Quran, terutama teori-teori yang terkait dengan ijtihadsekaligus implikasinya terhadap perkembangan hukum Islam.
Pembahasan tentang ijtihad tidak bisa lepas dari kajian ushul fikh secara mendalam.Melalui ushul fikh ini para pemikir Muslim akan mengetahui:
a. Sumber ajaran Islam yang disepakati,
b. Sumber Ajaran Islam yang masih diperselisihkan.
c. Bagaimana memahamisumber-sumber tersebut, terutama bila ada pertentangan antara teks satu dengan teks lain, antara teks dengan kemaslahatan, dan bagaimana memposisikan nash dalam persoalan kontemporeryang terkait masalah sosial, budaya, politik ekonomi dan sebagainya.
Kajian tentang hukum Islam di atas akan melibatkan unsur hermeneutik sebagai pendekatan yang dianggap baru. Meski sebenarnya, menurut Norman Calder berdasarkan penelitiannya, bahwa sejumlah elemen-elemen dalam prinsiphermeneutika yang berkembang saat ini, sudah diterapkan pada kitab- kitab ushul fikh masa klasik.
Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer saat ini, mulai berkembang suatupemikiran sumber hukum yang dianggap mandiri yakni maslahah atau maqashid asy-syariyyah.Belakangan konsep tersebut makin berkembang bahkan menjadi disiplin ilmu yang seolahterlepas dari ilmu ushul fikh. Konsep pemikiran tersebut meski mulai berkembang belakangan, namun secara implisitsudah dijadikan sebagai landasan berpikir oleh para intelektual Muslim tak terkecuali di Indonesia.
Pemikir modern Indonesia masa kemerdekaan, Hazairin, memperkenalkan konsep “kewarisan bilateral”.
Dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak menjelaskan tentangstruktur kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian dalam realitasnya umatIslam dihadapkan dengan berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal,matrilineal, dan bilateral.
Patrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab hanya melalui jalur bapak atau laki-laki, dan matrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ibu atau perempuan semata, sementara bilateral merupakan bentuk kekerabatan yang menentukan garis nasab melalui jalur bapak dan ibu, yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.
Menurut Hazairin, al-Qur’an hanya menghendaki sistem sosial yang bilateral. Dengandemikian hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya juga bercorak bilateral, bukanpatrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Pembagian waris dengan sistem patrilinearsebenarnya merupakan produk hukum adat, yang oleh sebagian besar kaum muslimin dianggapsebagai model kewarisan menurut al-Quran. Hazairin telah memberikan penafsiran yang baruterhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar
sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur‟an. Teori ini lebih dapat memberikan unsur maslahahdan rasa keadilan dalam masyarakat, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorakpatrilineal yang selama ini dikenal.
Begitu juga konsep “fikh sosial” K. H Sahal Mahfudz, sangat kental dengan pengutamaanunsur maslahah dan maqashid al-syariah dalam penerapan ijtihad barunya. Menurut beliau, kitabfiqih harus disikapi secara metodologis dan proposional, sehingga tidak kehilangan elan vitalnya.Selain itu penyikapan fiqih yang terlalu tekstual, justru paradoks dengan historisitas fiqih itusendiri dari pergulatan antara “teks” dan “konteks”.
Metode kontekstual ini adalah metodeyang harus dikembangkan, karena fiqih mengandung makna penalaran (reasoning)atas persoalan-persoalan hukum. Terma yang dijadikan acuan adalah ungkapan Imam Ghazaliyaitu seorang ulama harus menangkap “pesan zaman” demi kemaslahatan umat. Fiqh sosialmemiliki lima ciri pokok yang menonjol:
a. Interpretasi teks-teks Fiqh secara kontekstual.
b. Perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual (mazhab qauli) ke bermazhab secarametodologis (mazhab manhaji).
c. Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan manayang cabang (furu‟).
d. Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif Negara.
e. Pengenalan metodologi pemikiran filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial.
Fiqhsosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandangsebagai perhatian utama syari‟at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upayauntuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkankesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-maslahah al-„ammah). Kemaslahatan umum secarasederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasantertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Kebutuhan itu bisa berdimensi dlaruriyahatau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatanagama, akal pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajjiyah(sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi tahsiniyyah atau pelengkap (suplementer).
Mencermati pemikiran Hazairin dan Sahal Mahfudz terkait dengan konsep ijtihad,keduanya tidak lepas dari unsur maslahah maupun maqashid asy-syariah. Bahwa dalam memahamiajaran Alquran, juga dalam mengkaji kembali konsep fikh yang berkembang, hendaknyamengutamakan kepentingan umat dan tujuan dibuatnya suatu hukum tertentu. Dalam hal iniMunawir lebih mengkonkritkan lagi pada tiga kerangka metodologi yakni adat, nasakh danmaslahah. Lebih lanjut tulisan ini akan membahas tentang konsep pemikirannya, terutama tentangaplikasi kerangka metodologi yang ditawarkan beserta contoh permasalahan.
4. Latar Belakang Pemikiran Munawir Sadzali
Sebagai seorang Menteri Agama, Munawir banyak mendapat laporan dari para HakimAgama di berbagai wilayah Indonesia, tentang banyaknya penyimpangan-penyimpangan yangterjadi di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagai contoh dalam masalah warisan, bilaada keluarga Muslim yang meninggal, pembagian waris yang seharusnya diselesaikan diPengadilan Agama dengan ketentuan faraidh, yang terjadi justru mereka pergi ke PengadilanNegeri agar penyelesaian bisa diselesaikan dengan ketentuan di luar ilmu faraidl. Hal tersebutbukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama.
Sementara itu banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup,mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masingmendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah. Dengandemikian jika orang tua meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan hampirhabis sama sekali. Dalam hal ini, secara formal tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan al-Quran. Tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul?.
Sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam juga terlihatdalam penerapan bunga bank. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bungaatau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka hukumnya haram sebagaimana riba.Sementara dalam realitasnya, mereka justru banyak yang menggunakan jasa bank, hidup daribunga deposito, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dlarurat.Padahal seperti yang dapat dibaca dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Kelonggaran yangdiberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidaklebih dari pemenuhan kebutuhan esensial. Yang menjadi pertanyaan Munawir adalah apakahtindakan demikian bukan termasuk kategori mempermainkan agama ? Itulah realitas yangterjadi di tengah-tengah masyarakat.Menurut Munawir, kenyataan sosial demikian memang banyak terjadi di kalangan umatIslam bahkan di kalangan agamawan. Sementara di sisi lain, mereka para “pelakupenyimpangan” tidak bisa dikatakan tidak mempunyai komitmen utuh kepada ajaran Islamtanpa mempelajari factor apa saja yang melatarbelakangi mereka melakukan hal itu. Dalamkasus hukum waris misalnya, Munawir mengatakan bahwa pembagian waris Islam seperti yangditentukan oleh al-Quran bukan berarti tidak adil, tetapi justru sikap masyarakat yang tidakpercaya lagi kepada keadilan hukum faraidh. Inilah yang melatarbelakangi pemikirannya untukmemunculkan ide “Reaktualisasi Hukum Islam”.
Ijtihad yag dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab sangat mempengaruhipemikirannya, terutama dikaitkan dengan posisinya sebagai Menteri Agama. Munawirmengemukakan fakta bahwa Umar bin Khattab pernah melakukan ijtihad yang didasarkankepada aspek maslahah dalam beberapa kasus yang dihadapinya. Beberapa pertimbanganterhadap situasi konkrit dan realitas umat sangat mempengaruhi Umar dalam mengurusmasyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya.
Pertimbangan sosial ekonomi serta keadilan untuk senantiasa mewujudkan kemaslahatan ummattelah mempertegas sikap beliau dalam menjalankan ajaran Islam. Sebagaimana Khalifah Umardahulu, banyak membuat kebijakan dan keputusan yang tidak sesuai dengan Alquran atas dasarkemaslahatan umat.
Menurut Ibrahim Husen dalam catatannya, langkah ijtihad penerapan konsep maslahahyang dilakukan oleh Munawir juga tidak lepas dari tokoh Najmuddin Ath-Thufi dan Abu Yusufdengan teori adatnya. Hal ini sangat mungkin dipahami mengingat Munawir berasal darikeluarga agamis yang kental dengan nuansa tradisional, sehingga pemahamannya terhadap kitabkuning juga tidak diragukan. Sementara perjumpaannya dengan metodologi baru yangdidapatkan dari Barat juga sangat mempengaruhi konsep pemahamannya terhadap nash.
Beberapa kalangan ahli fikh ushul fikh tidak sepakat dengan pemikiran Ath-Thufi, termasukIbrahim Husen, namun dalam hal ini Munawir justru menggunakannya dalam penerapankonsep ijtihadnya.
B. Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.
1. Kasus Pembagian Harta Waris
Berangkat dari pemahaman surat an-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;”
Ayat di atas yang menyatakan bahwa bagianwarisan harta untuk anak laki-laki adalah dua kali yang diberikan kepada anak perempuan.Munawir berusaha mengkontekstualisasikan ajaran Islam dengan mendekonstruksi masalahpembagian warisan tersebut. Dekonstruksi yang dilakukannya bukan merupakan hal baru, sebabmasalah interpretasi yang menyimpang terhadap ajaran agama juga pernah dilakukan Umar binKhattab.
Dalam masalah warisan, Munawir menjelaskan bahwa bagian warisan antara laki-lakiyang dua kali lipat dari bagian wanita, pertama, tidak mencerminkan semangat keadilan bagimasyarakat Indonesia sekarang ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan dariketentuan waris tersebut baik dilakukan oleh orang awam maupun ulama, dengan caramelakukan hailah, yakni dengan cara menghibahkan harta bendanya kepada putera-puterinyaketika orang tua tersebut hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidakpercayaan masyarakatmuslim terhadap hukum waris dalam al-Quran.
Alasan keduaadalah faktor gradualitas. MenurutMunawir, wanita pada masa jahiliyah tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam datang,wanita diangkat derajatnya dan diberi warisan walaupun hanya separo dari bagian laki laki.Pengangkatan derajat wanita dengan diberinya warisan ini tidak secara langsung disamakandengan laki-laki, tetapi dilakukan secara bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual ajaranIslam sebagaimana kasus pengharaman khamr. Kemudian oleh karena pada masa modern iniwanita memberikan peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, maka merupakan suatuyang logis bila warisannya ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.
Alasan ketiga, bahwa bagianlaki-laki dua kali lipat bagian perempuan dikaitkan dengan suatu persyaratan bahwa laki-lakimempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak isteri, bahkan orang tua maupun adikperempuan yang belum bersuami. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Suratan-Nisa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Sebenarnya dalam konteks zaman sekarang bukan hanya suami yang bisa mencarinafkah. Perkembangan zaman menuntut perempuan untuk bisa lebih maju dan mandiri.Sehingga wilayah mencari nafkah dilakukan oleh kaum perempuan merupakan hal yang biasa.Bila dalam kondisi demikian ketentuan hukum waris masih diterapkan 2 (dua) banding 1 (satu), itu dianggap sebagaibentuk ketidakadilan.
2. Kasus Bunga Bank
Bunga bank yang oleh umat islam biasa disebut riba, mempunyai arti tambahan, baikberupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam membayar selain jumlahuang yang dipinjam, pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman tersebut. Sepertidalam Surat al-Baqarah ayat 278 disebutkan:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
Sampai sekarang banyak para ulama yang mengharamkan pemungutan bunga bank tapitidak ada pencegahan terhadap penggunaan jasa bank. Termasuk umat Islam di Indonesia saatini, dari berbagai kalangan sudah terbiasa hidup dengan sistem bunga bank bahkanketergantungan terhadap jasa bank tidak ada bedanya dengan umat yang lain. Menurut SayyidSabiq, ada empat alasan mengapa riba diharamkan yakitu:
a. Riba merupakan penyebabtimbulnya permusuhan antar masyarakat.
b. Riba cenderung melahirkan perbedaan kelas dalammasyarakat
c. Riba merupakan penyebab terjadinya penjajahan, wewenang untuk lebih menguasai yang lain.
d. Islam menghimbau untuk memberikan pinjaman untuk menolong,bukan memberatkan dengan tambahan.
Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sayid Sabiq di atas, nampaknya sangat masuk akal kalau kemudian riba diharamkan oleh Islam.Namun berkaitan dengan sistem bunga bank yang ada di Indonesia saat ini apakah mempunyai kriteria demikian? Dalam Surat al-Baqarah ayat 279 disebutkan:
ۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ
Artinya: “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan)”
Lebih tegas lagi Munawir menjelaskan bahwa kata kuncinya adalah tidak merugikan orang lain atau tidak ada pihak yang dirugikan.Bank adalah suatu lembaga terhormat, dan sistem bungaadalah suatu mekanisme pengelolaan bank untuk peredaran modal masyarakat. Berdasarkanprinsip jangan ada pihak yang dirugikan, tidak adil kalau pemilik modal kehilangan daya belimodal yang dititipkan untuk jangka waktu tertentu, sementara peminjam dana yangmenggunakannya untuk modal usaha dan mendapatkan untung tidak harus membagikeuntungannya dengan pemilik asli modal. 22
Salah satu keberatan yang dikemukakan orang terhadap sistem bunga bank ialah karenajumlah prosentase bunga sudah ditetapkan lebih dahulu. Maka, sebagai alternatif ditawarkansistem bagi hasil yang berarti akan dihitung untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagiantara pemilik dan pengguna modal, baik keuntungan maupun kerugiannya. Tetapi menurutMunawir, dalam prakteknya sistem pengelolaan bagi hasil ternyata lebih kompleks dan tidakefisien.
Bisa dipahami, bahwa konsep reaktualisasi yang dilontarkan oleh Munawir sebenarnyatidak menghapus apa yang ada dalam Alquran, jadi pada dasarnya bukan sesuatu yang baru.Mengingat pada sekitar abad 12, Abu Yusuf, murid Imam Hanifah menyatakan bahwa kalau adanash yang didasarkan oleh adat, kemudian adat tersebut berubah, maka petunjuk yangterkandung dalam nash tersebut juga ikut berubah.
Pada sekitar abad ke-7, at-Thufy, seorangulama mazhab Hanbali, mengatakan bahwa kalau terjadi benturan antara kepentinganmasyarakat dengan nash, maka yang didahulukan adalah kepentingan masyarakat.
DuaMufassir besar abad 20, yaitu Mustofa Al-Maraghi dan Muhammad Rasyid Ridho menyatakanbahwa hukum itu semata-mata diundangkan untuk kepentingan manusia, sementarakepentingan manusia dapat berubah sesuai perkembangan zaman, maka sangat mungkin terjadimuncul hukum yang baru yang bisa disesuaikan dngan kondisi masyarakat setempat.
Demikian juga Muhammad Abduh mengawali sebuah makalahnya yang berjudul Al-Islah al-Diny(Reformasi Keagamaan) dengan kalimat sebagai berikut : “Kita harus berani membebaskanbelenggu pikiran kita dari belenggu taqlid dan berusaha memahami agama denganmempergunakan akal sebagai sesuatu yang paling utama..”.
Pada dasarnya disini Munawiringin menegaskan bahwa berijtihad menemukan sesuatu hukum baru dari al-Quran adalah bukanhal yang pertama dia lakukan. Para tokoh-tokoh dan ulama sebelumnya sudah menerapkan halitu, bahkan pada masa Umar bin Khattab sekalipun.
C. Metodologi Ijtihad Munawir Sadzali
Pada kondisi dan kasus tertentu, secara sosio kultural, sebenarnya Hukum Islam telahmenyatu dan menjadi hukum yang hidup. Namun secara teori, sebagaimana dikatakan olehSchacht, bahwa hukum Islam mengesampingkan adat sebagai suatu sumber yang resmi dalamIslam. Hal itu bisa dikatakan bahwa secara teoritis, adat tidak diakui sebagai salah satu sumberdalam jurisprudensi Islam.
Disini Munawir menawarkan tiga kerangka metodologi dalam berijtihad yakni: adat,nasakh dan maslahah.
1. Adat(Kebiasaan)
Munawir selalu mengutip pendapat Abu Yusuf yangmengatakan bahwa nash diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jika adat berubah, makagugur pula dalil hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Bagi Munawir nash hanyalahsebuah tawaran bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam kondisisosial masyarakat tertentu. Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat, dan ternyata adatlebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka adat dapat diterima.Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Hal inisesuai dengan hadis Nabi bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggapbaik di sisi Allah.“Penolakan” terhadap nash karena adanya adat baru yang dipandang sebagai illatpembatalan hukum yang terkandung dalam nash adalah sesuai dengan kaidah yang mengatakan:
“al-Hukmu yajri ma’al illati wujudan wa’adaman”
“Tagoyyurul ahkam bitagoyyuril amkinat wal ‘azminah”
Hal ini tidak otomatis bisa dipandang sebagai pengabaian nash, namun merupakan caralain untuk menafsir-ta‟wilkan kandungan maslahah yang terdapat dalam nash. Teori ini masihsangat layak digunakan dalam pengembangan hukum Islam.
Teori adat yang disiapkan dalamkerangka metodologi hukum Islam ini merupakan langkah untuk mengantisipasi perubahandalam masyarakat, karena kebutuhan hukum masyarakat tidak akan pernah mati dan akan terusberkembang. Untuk itu adat ini digunakan sebagai salah satu alat yang memberikan jaminanbahwa Islam shalih li kulli makan wa zaman,
2. Nasakh
Dalam pandangan Munawir, nasakh adalahpergeseran atau pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayatyang diterima oleh Rasul pada masa sebelumnya. Munawir sering mengutip pendapat Mufassirbesar seperti Ibn Katsir, al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut paramufassir tersebut, nasakh merupakan suatu perubahan hukum sangat erat kaitannya denganperubahan tempat dan waktu.
3. Maslahah
pengertian maslahah sendiri menurut Abdul WahabKhallaf adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak disebut ketentuannya dalamal-Quran dan Sunah. Penetapan semata-mata dimaksudkan dalam rangka mencari kemaslahatandan menolak kerusakan dalam kehidupan manusia.
Bila dilihat dari konsep maslahah at-Thufi,bahwa jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma‟, maka wajibmendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma‟. Pemikiran at-Thufi ini dibangun atasempat prinsip dasar yakni :
“istiqlalul uquli bi idraqil masholihi wal mafasid”
(Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu).Namun disini kebebasan akal hanya dalam hal muamalat dan adat istiadat, bukan dalam halibadah.
“Al-maslahatu dalilu syar’i mustaqilun anin nushush”
“Maslahah adalah dalil syara‟ yang tidak terikat dengan ketentuan nash.”Bagi ath-Thufy, untukmenyatakan sesuatu itu maslahah atau tidak didasarkan pada ada istiadat dan eksperimen,bukan pada nash.
“Majallul amal fil mashlahah huwa mu’amalat dunal ibadah”
“Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara‟ dalam bidang mu‟amalah, tidak dalam bidang ibadah.”
“Al-mashlahatu aqwa dalilu al-syar’i”
“Maslahah adalah dalil syara‟ yang terkuat.”Disini ath-Thufi berpendapat bahwa maslahahadalah dalil yang terkuat mengingat sabda nabi: “Tidak memadlaratkan dan tidakdimadlaratkan”.Adapun teori Abu Yusuf yang sering dijadikan rujukan oleh Munawir adalah kaidahushuliyah yang berbunyi : Al-Hukmu yadurru ma‟a illatihi wujudan wa adaman, yaitu bahwa hukumitu beredar menurut illat baik ada maupun tidak adanya. Begitu juga dengan kaidah :Taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinat wal azman
Kaidah ushuliyah ini masih bisadikembangkan dalam rangka reaktualisasi hukum Islam sekarang ini. Adat, nasakhh dan maslahahyang menjadi landasan metodologis Munawir dalam melakukan ijtihad, kadang diterapkansecara terpisah, namun juga tidak jarang digunakan secara bersamaan. Penangguhanpemberlakuan ayat waris dalam al-Qur‟an, atau mempertimbangkan kembali sistem bunga bankdalam kondisi Indonesia saat ini, akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebihmemperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar