IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ (studi kritis dan historis)
A. Kajian Historis
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (an-Najm: 3-4)
Firman Allah SWT di atas oleh sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi SAW tidak pernah menetapkan hukum dengan berdasarkan ijtihadnya sendiri. Karena semua yang diucapkan oleh Nabi ini selalu berdasarkan kepada wahyu, yang beliau terima. Maka mengikuti ucapannya Nabi bukanlah taqlid.
Namun menurut qaul shahih, megikuti ucapan Nabi adalah taqlid karena Nabi Saw diperkenankan menetapkan hukum berdasarkan ijtihad beliau sendiri tanpa adanya kekeliruan.
Sabda Nabi yang dirawayatkan oleh Bukhari Muslim pada awal pertumbuhan dan perkembangan Islam:
“Barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia memperoleh dua pahala dan barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala”
menunjukkan bahwa pada saat itu nabi membenarkan sahabat untuk melakukan ijtihad namun nilai ijtihad mereka bisa benar juga bisa salah.
Contoh: pada peristiwa Perang Badar Rasulullah menerima pendapat Abu Bakar al-shiddiq tentang tawanan perang ditetapkan berdasarkan tebusan, ternyata mendapat koreksi dari Allah SWT. yang seharusnya tawanan itu dibunuh sesuai dengan pendapat Umar bin Khattab, dengan menurunkan wahyu surah al- Anfal ayat 67. Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab r.a mengadu suatu perbuatannya kepada Nabi Muhammad Saw ia berkata: aku telah memeluk istriku kemudia aku menciumnya, padahal aku sedang berpuasa, maka Nabi Saw bertanya kepada Umar, bagaimana pendapatmu kalau engkau berkumur dengan air sedangkan engkau dalam keadaan berpuasa? Umar menjawab, menurut pendapatku, ia tidak mengapa (tidak membatalkan puasa. Kalau begitu, kata Nabi, teruslah puasamu.
Demikian pula ketika Nabi hendak mengutus Muadz bin Jabal sebagai hakim di Yaman, beliau bertanya kepadanya:
“bagaimana cara kamu memutuskan jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab aku putuskan dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Nabi bertanya: jika tidak kamu dapatkan (hukum itu) dalam kitab Allah? Ia menjawab: maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah Saw. Nabi bertanya: jika tidak kamu dapatkan (hukum itu) dalam sunnah Rasulullah Saw. Juga dalam kitab Allah? Ia menjawab aku akan berijtihad dengan pikiranku dan aku tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah Saw menepuk dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah Saw yang diridhai oleh Rasulullah.”
Sepeninggal Rasulullah, ijtihad dirasakan benar-benar berfungsi bagi sahabat guna memecahkan persoalan masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang. Abu Bakar, Usman dan Ali adalah pelopor dalam melakukan ijtihad, selanjutnya disusul oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud mereka melakukan ijtihad dan mempergunakan qiyas, dengan membanding-bandingkan ilat hukum dengan illat yang lain. Contoh: pada masa Nabi saw, pemungutan harta zakat dengan kesadaran umat Islam, tetapi di masa khalifah Abu Bakar pemungutan harta zakat dengan diambil secara paksa dan orang yang tidak mau membayar zakat akan diperangi. Abu Bakar bersikap demikian karena menurutnya, jika tidak demikian, maka kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
Pada masa Umar bin Khattab jadi khalifah, misalnya tentang penetapan hukum had bagi peminum khamr. Dalam hal ini Umar bin Khattab mengundang para sahabat untuk bermusyawarah mengenai masalah tersebut. Ketika itu Ali bin Abi Thalb mengemukakan pendapatnya bahwa had peminum khamr adalah 80 kali pukul. Dia mengqiyaskan hal itu dengan had penuduh zina. Menurutnya, orang yang mabuk akan berkata tanpa kontrol yang akkhirnya berkata dusta. Jadi peminum khamr akhirnya berdusta sama dengan penuduh zina. Pendapat Ali bin Abi Thalib ini disepakati oleh para sahabat (ijma’ sahabat).
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat menimbulkan dua golongan pada masa berikutnya: ahlu hadits yang berkembang di Hijaz, yaitu said ibn al-Musayyab (w. 94 H), Syuraih bin Harits bin Qais (w. 78H), Abu Ja’far bin Muhammad bn Ali bin al-Husain (w. 114H) dan ahlu ra`yi di Irak, yaitu ‘alqamah bin Qais al-Nakha’i (w. 62 H), Huzail (w. 113 H), dll.
Setelah periode di atas perkembangan ijtihad dan fikih mengalami kemajuan yang amat pesat dari waktu ke waktu. Pada periode ke- 4 inilah yang disebut dengan periode ijtihad dan keemasan fikih Islam. Abu Hanifah an-Nu’man (699-772 M), Malik bin Anas (712-798 M), Muhammad Bin Idris al-Syafi’i (766-820 M), dan Ahmad bin Hambal (780-855 M). Dll. Fase ini bertahan selama kurang lebih dua setengah abad.
Segera setelah periode ini, peranan ijtihad mmengalami kemunduran. Dalam memecahkan kasus-kasus hukum, umumnya mujtahid enggan mmengistinbathkan hukumnya langsung merujuk keppada al-Quran dan Hadis, mereka lebih condong untuk mencari dan menetapkan produk-produ ijtihadiyah para mujtahid sebelumnya.bahkan kerap timbul perselisihan dan persaingan yang kurang sehat dari fanatisme mazhab. Para ulam fase ini menganggap tidak ada ulama yang mmemiliki kemampuan seperti ulama terdahulu dalam mengistinbathkan hukum. Fase kelesuan berijtihad dan kemunduran fikih berlangsung kurang lebih sembilan abad lamnya sejak pertengahan abad ke empat hingga abad ke 13 H. periode ini diakhiri dengan para muqallid, yaitu ulama-ulama yang memutuskan hukum dengan mencukupkan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama sebelumnya.
Fenomena yang muncul pada akhir abad 13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari bangkitnya kajian hukum Islam yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pembaru (mujtahid) dalam rangka mengahadapi kebekuan berpikir dan meluasnya taqlid dalam kalangan Islam, serta perlunya kesadaran bersama yang konstruktif memikirkan kembali warisan Islam untuk menjawab tantangan intelektual dari pemikiran modern melalui asimilasi kreatif. Munculnya tokoh-tokoh pembaru seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afghani dan beberapa tokoh lainnya memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembaharuan hukum Islam yang berkembang saat ini. Langkah awal yang mereka lakukan adalah menentang sikap taklid. Mereka menekankan perlunya pemahaman tentang argumentasi yang terlibat dalam suatu sikap keagamaan. Dan terus-menerus melakukan ijtihad untuk menghasilkan pemahaman keagamaan yang segar dan kontekstual. Dalam argumentasi pentingnya ijtihad ini ia menekankan posisi sentral Alquran dan as-Sunnah dan mencela penghargaan yang berlebihan kepada karya-karya ulama terdahulu tetapi harus ditempatkan pada suatu hal yang wajar dan proporsional sebagai khazanah yang memang perlu dihargai.
Abad kebangkitan kembali jiwa ijtihad dilihat dari sejarah usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai kalangan di bidang hukum Islam. Sebagai berikut:
1. Penyusunan ensiklopedi fiqih;
a. Ibnu Hazm, ahli fiqih Mmazhab az-Zahiri, menyusun ensiklopedi fiqh dengan judul al-Ismal. Sayangnya, buku ini tidak diketahui lagi keberadaannya.
b. Imam an-Nawawi, ahli fiqih mazhab Syafi’i, pernah berupaya menyusun ensiklopedi fiqiih saat ia menyusun bukunya al-majmu. Namun, usahanya tidak berhasil dilakukan karena beliau bberhenti menulis kketika buku ensiklopedi fiqh itu selesai tiga jilid.
c. Fakultas syari’ah, universitas Damaskus, membuat inisiatif menerbitkan buku-buku ensdiklopedi fiqih dengan sistem modern, seperti kamus fiqh Ibn Hazm, dan petunjuk istilah-istilah fiqih..
d. Kementrian wakaf Mesir, pada tahun 1961 M, menyusun ensiklopedi fiqh sampai sekarang diterbitkan sebanyak 15 jilid.
e. Kementrian wakaf Kuwait, pada tahun 1961 M, berusaha menyusun ensiklopedi fikih dengan target 50 judul dalam berbagai ragam masalah hukum, namun belum selesai semua sampai sekarang.
2. Pembaharuan dalam pembentukan undang-undang
a. Sultan Salim I khalifah Utsmaniyah abad ke-16 M, mengeluarkan faaramana (titah sultan) tentang keharusan mufti dan hakim dalam memutuskan perkara wajib berpegang pada mazhab Hanafi. Awal mula proyeksi konstitusi modern (pembentukan undang-undang negara yang bersumber dari fiqih). Ketentuan ini berlaku di Mesir dan daerah lain yang tunduk di bawah khilafah Ustmaniyah.
b. Sultan Sulaiman I, pertengahan abad ke-16 M, menyusun kodifikasi hukum Islam Qanun Namah Sultan Sulaiman. Sultan juga saat itu memerintah Syeikh Ahmad al—Jallabi, khatib mesjid sultan untuk menngumpulkan hukum-hukum fiqih dalam bentuk kodifikasi yang ringkas, sehingga tersusunlah Multaqa al-Abhar. Dan kodifikasi tersebut masih tetap digunakan sebagai rujukan dalam mempelajari hukum Islam dalam mazhab Hanafi mmeskipun tidak memiliki penerapan yang resmi dari negara.
c. Sultan Muhammad Aurang Zeb (1038-1118 H) abad ke-17 M, memerintahkan sejumlah ulama besar mazhab Hanafi untuk menyusun kodifikasi dzahir riwayat-riwayat yang disepakati. Dan pendapat-pendapat yang belum disepakati (llangka). Kodifikasi inii terdiri dari enam jilid dan merupakan rujukan yang masyhur tentang fiqih Hanafi, yaitu al-Fatwa al-Alamkiriyah/al-fatwa al-Hidayah.
d. Pemerintah Turki Utsmani abad ke-13H/19 M, membentuk pengadilan umum dan undang-undang agar mudah menjadi rujukan bagi para hakim yang menjabat. Panitia kodifikasi undang –undang yang terdiri dari 1851 pasal ini oleh menteri kehakiman mulai bekerja tahun 1869 M s.d 1876 M. Undang-undang pertama tentang hukum keluarga yaitu tentang haka berlaku tahun 1336 H. Di tahun 1910 M disusun sebuah undang-undang hukum keluarga berorientasi mazhab Abu Hanifah, namun tidak diberlakukan karen tuntutan masyarakat agar hukum tidak berdasrkan satu mmazhab saja tetapi juga mazhab lainnya. Untuk itu pada tahun 1923 M disusunlah undang-undang ppermintaan mmasyarakat dan diberlakukan tahun 1930 M.
3. Tajdid melalui proyeksi fatwa
a. Fatwa oleh lembaga resmi internasional seperti Dar al-Ifta’ (Kairo, Mesir), Lajnah al-Fatwa (Arab Saudi), dll.
b. Fatwa oleh universitas seperti Universitas Zaytunah Tunisia, Universitas Muhammad din Su’ud Riyadh Arab Saudi, Universitas Umm al-Durman al-Islamiyah Sudan, Universitas Islam Madinah al-Munawwarah Arab SAUDI.
c. Fatwa oleh majalah seperti al-Manar al-Azhar, Nur Islam dan Mimbar Islam keduanya di Kairo, al-Wa’yu al-Islam Kuwait, Manar al-Islam terbitan Abu Dhabi, dan As-Syihab terbitan Beirut.
d. Fatwa perorangan seperti Imam Mahmud Syaltout, Syeikh Hasanuddin Makhluf, serta fatwa dari stasiun televisi Qatar, dan Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fatawa Mu’ashirah.
e. Fatwa lembaga, organisasi, dan badan kajian Islam, baik nasional mmaupun internasional. Yang internasional seperti lembaga riset Islam al-Azhar di Kairo Mesir, Majellis Majma’ al- Fiqhi di bawah wewenang rabithah al-alam al-Islami di Arab Saudi. Yang nasional seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Indonesia, organisasi Muhammadiyah pada majelis tarjih dan pengembangan pemikiran Islam (MT-PPI), organisasi Nahdatul Ulama pada Bahsul Masa`il NU, kesemuanya di Indonesia.
4. Tajdid melalui kajian ilmiah dan penelitian
a. Kajian Islam (majma’ al-buhuts al-islamiyah) univ. Al-Azhar Kairo yang didirikan tahun 1961 pada abad ke 20, para anggotanya yang terdiri dari ulama besar dengan wawasann keilmuwan yang luas bidang hukum dan perundang-undangan Islam dengan giat melakukan sidang setahun sekali dan mewajibkan pengajuan kajian bertemma hukum Islam kontemporer, terutama dalam bidang mu’amalah dan hukum-hukum keluuarga untuk disebarkan ke negara Islam seluruh dunia.
b. Univ. King Abdul Aziz Jeddah, pertama kali diadakan kajian ekonomi Islam tanggal 20-26 Febbruari 1976 yang dihadiri oleh dellegasi ahli ekonomi Islam dunia. Setahun setelahnya tahun 1977 mendirikan pusat penelitiann ekonomi Islam untuk menindaklanjuti hasil-hasil konferensi ekonomi Islam aga mudah dalam pelaksaannya.
5. Tajdid melalui proyeksi putusan pengadilan agama
a. Pembaharuan hukum Islam melalui Putusan pengadilan di Indonesia yang dilaksanakan sejak tahun 1974, ketika undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan diberlakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemberlakuan peraturan pemerintah no 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan kompilasi hukum Islam impres no 1 tahun 1991 tentang penyebarluasannnya ke seluruh masyarakat. Pembaharuan hukum putusan tentang wasiat wajibah, ahli waris pengganti, ahli waris beda agama dan beberapa hal baru dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia.
B. Kajian Kritis
Menolak pandangan modernis tentang ijtihad vis a vis taqlid, Kiai Muchith menyampaikan argumennya dalam makalah yang berjudul sistem bermazhab paling proporsional realistik bahwa cara beragama yang terbaik adalah dengan menjadi muqallid yang terus menerus belajar meningkatkan pola keberagaman umat atau bermazhab manhaji, yaitu mengikuti qauli ulama juga metodenya. Sebenarnya yang dijadikan sasaran ijtihad adalah hal-hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak ada keterangan atau penjelasan dalam al-Quran dan hadis, seperti bayi tabung, clloning, cangkok ginjal, dll. Semuanya memerlukan ijtihad mustaqil. Pintu ijtihad tidak dikunci, kendati pintu ijtihad mutlak mustaqil tidak ada lagi yang mampu memasukinya. Kiai menawarkan ijtihad yang standar, tegak lurus dan terpelihara kemurniannya serta dapat dipertanggungjawabkkan sesuai prosedur , pola dan metodenya. Yang tidak termasuk dalam kategori ijtihad adalah 1) mengerahkan daya pikir untuk mendapatkan kkesimpulan apakah sebidang tanah tertentu sebaiknya ditanami padi atau mangga karena bukan pendapat keagamaan, 2 berpikir menyimpulkan bahwa shalat lima waktu itu wajib karena sudah demikian sharih dalilnya dalam alQuran, 3) berpikir dan menyimpulkan bahwa mendirikan ppabrik di tengah-tengah pemukiman dilarang dengan dasar undang-undang karena dalil yang digunakan bukan al-quran dan hadis. Muqallid, menurutnya ada 4 yaitu:
a. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengerti dalil-dalil, argumentasi (hujjah) dan mmetode yang dipergunakan oleh tokoh yang diikuti
b. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengetahui dalil yang dipergunakan secara fragmmentaris dan sporadis (sepotong-potong) saja
c. Mmengikuti pendapat tokoh tertentu, hanya dengan kepercayaann bahwa pendapat yang diikuti itu adalah benar, sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW tanpa mengetahui dalil-dalil, argumentasi, mmetode dan lainnya.
d. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dengan mmengikuti pelajaran atau pengajuan yang diterimmanya dari kiai, ulama, ustadz atau gurunya di pesantrenm madrasah, sekolah, kursus atau ceramah atau majalah, dll. Mereka yakin atau kemampuan dan kejujuran para pengajar itu.
Sedangkan Yusuf Qardhawi dengan ijtihad kontemporernya menganjurkan ummat Islam agar memanfaatkan akal, merenung, dan membuat pertimbangan-pertimbangan. Berjayanya ilmu pengetahuan dan peradaaban pada masa awal Islam merupakan hasil dari adanya perhatian yanng sungguh-sungguh dari umat Islam ketika itu, menempatkan akal pada porsi yang strategis, sehingga dalam waktu yang relatif singkat peradaban menjadi prestasi yang tak tertandingi. Dan menawarkan tiga model ijtihad kontemporer yang dinilai representatif dalam mengatasi krisis hukum dan pembaharuan hukum Islam. Ketiga mode ijtihad yang dimaksdu oleh Yusuf al- Quradawi adalah; Pertama, Ijtihad intiqa’i (selektif) ialah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqh Islam yang dipandang lebih sesuai dengan kehendak syari, kepentingan masyarakat dan kondisi zaman. Kaidah tarjih itu ialah, Pertama, hendaknya pendapat itu mempunyai relevansi dengan kondisi kehidupan kekiniaan; kedua, hendaknya pendapat itu mencerminkan kelemah lembutan dan kasih sayang antara sesamanya; ketiga, hendaknya pendapt itu lebih mendekati kemudahan dan ditetapkan oleh hukum Islam; keempat, hendaknya pendapat itu lebih memprioritaskan untuk merealiasasikan maksud-masud syara, kemaslahatan manusia dan menolak masfadat. Kedua, Ijtihad Insya’i (kreatif) adalah pengambilan konklusi hukum baru atas persoalan-persoalan yang belum ditegaskan sama sekali dasar huumnya oleh ulama terdahulu. Upaya melahirkan hukum yang masih sangat orisinil. Sasaran ijtihad insya’i ini adalah persoalan-persoalan lama yang memang tidak ditegaskan dasar hukumnya oleh ulama terdahulu dan juga tidak ditunjuk oleh nash, walaupun persoalan baru yang muncul kemudian. Dan yang ketiga adalah ijtihad integratifadalah ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya`i. Yaitu memilih berbagai pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru.
Dasar Hukum Ijtihad
1. Wajib ‘Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian juga wajib ‘ain, apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ingin mengetahui hukumnya
2. Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada Mujtahid lain. Apabila semuanya meninggalkan Ijtihad, maka mereka berdosa.
3. Sunnat, yaitu Ijtihad suatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak. Adanya keterangan sunnah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله أجر
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.
Ulama Ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat Ijtihad yang harus dimiliki oleh seorang Mujtahid. Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang Mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Menguasai dan mengetahui ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
2. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
3. Mengetahui nasikh dan mansukh dari Al-Qur’an dan Hadits.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui Ijma’ ulama, sehingga Ijtihadnya tidak bertentangan dengan Ijma’.
5. Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratannya serta mengistinbathkannya, karena Qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai macam problematikanya.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, karena ilmu tersebut merupakan fondasi dari Ijtihad.
C. TAQLID
1. Hukum Taqlid
Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad wajib mengikut pendapat imam mujtahid. Sedangkan yang memenuhi syarat berijtihad haram bertaqlid. Dengan demikian tidak benar jika ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlak/tanpa ada batasan, sebab realitanya mayoritas umat Islam dari kalangan awam.
2. Tingkatan Taqlid
a. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid.
b. Taqlid dalam bidang hukum tertentu saja, seperti yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa.
c. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh mujtahid muntasib.
D. TALFIQ
Terdapat tiga perbedaan pendapat ulama tentang Talfiq, sebagai berikut:
a. Tidak boleh pindah mazhab secara keseluruhan maupun sebagian
Ketika seorang mujtahid memilih salah satu dalil maka ia harus tetap berpegang pada dalil itu, karena dalil yang telah dipilih dipandang kuat dan yang tidak dipilihnya dianggap lemah. Golongan ini menganggap talfiq adalah haram, dipelopori oleh sebagian besar ulam Syafi’iyyah terutama imam al-Qaffal Syafi’i (291-365 H), Ibn Hajar al-‘Asqalani dan sebagian ulama mazhab Hanafi.
b. Boleh pindah mazhab
Menurut pendapat ini, seseorang boleh-boleh saja pindah mazhab meskipun dengan alasan mencari keringanan, asalkan tidak terjadi dalam satu kasus yang menurut masing-masing mazhab saling membatalkan.
Pendapat ini didasarkan pada perkataan imam yang 4 bahwa tidak pernah mengharuskan untuk memilih mazhabnya sendiri, yaitu:
Imam Abu Hanifah menyatakan, “seseorang tidak boleh mengambil pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Imam Malik menambahkan, “saya hanyalah seorang manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Karenanya, perhatikan pendapatku jika sesuai dengan al-Qur`an dan al-Sunnah, ambillah. Jika tidak sesuai, tinggalkan saja pendapatku itu!”. Imam Syafi’i mengamini, “setiap masalah yang nyata-nyata benar dalam pandangan khabar dan berbeda dengan pendapatku, maka aku pasti kembali kepada kebenaran khabar tersebut di saat hidup dan setelah matiku.” Imam Ahmad ibn Hambal mempertegas,”jangan bertaqlid padaku, jangan pula pada Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam al-Awza’i, dan tidak juga al-Thauri. Tetapi, ambillah dari mana mereka mengambilnya.”
c. Boleh secara mutlak
Mayoritas ulama mengambil pendapat tentang bolehnya talfiq. Pendapat ini dipelopori oleh imam Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) bermazhab Hanafi. Imam Qurafi (w. 684H/1285 M) bermazhab Malik. Dan sebagian besar mazhab Syafi’i mengatakan bahwa tidak ada satu nash (al-Qur`an dan Hadis) pun yang menyatakan bahwa talfiq dilarang. Pendapat ini banyak dianut oleh ulama-ulama modern dari ahli-ahli hukum seperti hasanen Makhluf (mantan mufti Mesir) mengatakan bahwa: sesungguhnya talfiq merupakan pengamalan sesuatu perbuatan menurut pendapat satu mazhab dan mengikuti pendpat mazhab lain dalam satu hal lain karena darurat atau tanpa darurat baik dalam urusan ibadah maupun mu’amalah adalah boleh sebab hal itu merupakan satu keringanan dan rahmat bagi umat. Hanya saja mayoritas umat Islam Indonesia selalu terjebak pada persoalan fanatisme terhadp satu mazhab saja.
Contoh talfiq:
1. Seseorang berwudhu menurut mazhab Syafi’i yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan ajnabiyah, ia terus bershalat dengan mengikuti mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu.
2. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena mengikuti mazhab Syafi’i, mengenai sah jatuhnya thalaq raj’i mengikuti mazhab Hanafi yang memandang sah ruju’ bi al-fi’il (langsung bersetubuh).
1. Kesimpulan
a. Dari paparan di atas, tampak bahwa pola keberagaman umat Islam tidak bisa dianggap tunggal sehingga kemudian disimpulkan bahwa semua orang harus melakukan ijtihad. Justru, dengan demikian, Islam benar-benar menjadi agama semua kalangan: orang pintar dan orang bodoh, seorang guru besar dan pedagang di pasar, dan sebagainya.
b. Sejarah perkembangan hukum Islam dipengaruhi oleh kegiatan ijtihad ahli fikih. Ijtihad merupakan cara merespon perubahan sosial masyarakat dalam bidang fikih berlandaskan Alquran dan Hadis dengan prosedur yang benar.
c. Pada akhir abad ke 13 s.d sekarang, kembali dibangkitkan kegiatan ijtihad dengan melakukan usaha-usaha tajdid atau pembaharuan hukum Islam. Diantaranya: melalui proyeksi penyusunan ensiklopedi fiqh, melalui proyeksi pembentukan undang-undang, pembaharuan melalui proyeksi fatwa, melalui kajian ilmiah dan penelitian, melalui proyeksi putusan pengadilan.
Komentar
Posting Komentar