Hukum Nikah Beda Agama Menurut ulama Mazhab
Dalam persoalan halal dan haramnya kawin antar agama, para Ulama selalu berpegangan pada surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Mumtahanah ayat : 10 dan surat al-Maidah ayat 5.
Dengan mengacu pada pengertian literal surat al-Maidah ayat 5 itu, maka menikahi perempuan Ahli Kitab itu jelas boleh, kebolehan mana telah diujarkan al-Qur’an dengan sangat jelas dan tegas tanpa syarat apapun. Dari ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip di atas akan diuraikan hal-hal berikut ini; antara kaum musyrik dan Ahli Kitab dan dengan siapa al-Qur’an mengharamkan orang Islam melakukan perkawinan.
1. Antara Kaum Musyrik dan Ahli Kitab
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang berasal langsung dari Allah memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ketelitian pemilihan dan penempatan kosa kata dan redaksi kalimatnya. Pemilihan dan penempatan itu bukan suatu kebetulan, tapi mengandung makna filsafat bahasa tersendiri dan dalam. Satu kosa kata atau satu kalimat yang dipilih hanya menunjuk kepada makna atau hukum tertentu secara khusus dari kosa kata atau kalimat itu.
Al-Qur’an secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan ahli kitab. Dalam surat al-Baqarah, 2:105, Allah berfirman artinya : “Orang-orang kafir dari Ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu…” Dalam surat al-Bayyinah, 98:1, Allah juga menyebutkan “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Qur’an memakai kata penghubung “dan” (al-Qur’an: waw) antara kata kafir Ahli Kitab dan kafir Musyrik. Ini berarti bahwa kedua kata, Ahli Kitab dan Musyrik, itu mempunyai arti dan makna yang berbeda. Sebelum menjelaskan perbedaan antara kedua kata itu, perlu kiranya di sini diberikan terlebih dahulu beberapa catatan keterangan tentang makna kafir.
Kata kafir (kufr )dari segi bahasa berarti menutupi, istilah-istilah kafir (kufr ) yang terulang sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an, semuanya dirujukkan kepada arti “menutupi”, yaitu menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Ketuhanan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui rasul-rasul-Nya.
Di dalam Al-Qur’an, disebutkan beberapa jenis kekafiran yang antara satu dengan yang lain tingkatannya berbeda-beda.
1. Kafir (kufr ) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-rasulnya dan seluruh ajaran yang mereka bawa.
2. Kafir (kufr ) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Ia tidak jauh berbeda dengan kekafiran ingkar (no. 1).
3. Kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran.
4. Kafir (kufr ) syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dari-Nya, sebagai sembahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasaan Tuhan, juga mengingkari Nabi-nabi dan wahyu-Nya.
5. Kafir (kufr ) nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Orang-orang muslim pun dapat masuk dalam kategori ini (lihat:al-Naml, 27:40; Ibrahim, 14:7; al-Imran, 3:97)
6. Kafir murtad, yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari Islam.
7. Kafir Ahli Kitab, yakni non Muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui Nabi kepada mereka.
Ada beberapa jenis kekafiran lainnya lagi, tapi buat sementara dapat kita ambil kesimpulan, bahwa istilah kafir mencakup makna yang luas, yang dibawahnya terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang arti dan maknanya berbeda antara satu dan lainnya. Kalau Allah menyebutkan dalam al-Qur’an istilah kafir musyrik, maka itu maknanya mesti berbeda dengan makna istilah dari kata Ahli Kitab, dan jika hanya disebutkan kafir saja maka maknanya perlu dipahami bahwa kata itu mesti menunjuk kepada salah satu dari jenis-jenis kekafiran yang ada.
Allah, secara jelas dan eksplisit, menyatakan dalam kitab suci-Nya akan Ahli Kitab bahwa kepercayaan mereka didasarkan pada perbuatan syirik, sepertt kata mereka, dalam firman Allah: "…sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih putra Maryam ."(al-Ma’idah, 5;17), dan mereka juga berkata ,"…bahwa Allah yang ketiga dari trinitas …″ (al-Ma’idah,5: 73), dan mereka berkata lagi:"..al-Masih putra Allah…″(al-Taubah, 9:30). Begitu pula dengan orang –orang Yahudi berkata, disebutkan dalam firman Allah:"….Uzair putra Allah…″(al-Maidah,9:30). Apa yang telah mereka lakukan itu adalah perbuatan syirik, namun al-Qur’an sebagi wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata dari istilah yang sangat tepat sekali, maka al-Qur’an tidak pernah menyebutkan mereka semuanya itu dengan kata "musyrik" sebagai panggilan dan istilah bagi mereka. Mereka tetap dipanggil Allah dengan sebutan Ahli Kitab. Karena kemusyrikan tidak secara otomatis melekat pada institusi suatu agama.
Hal yang dapat dipahami dengan baik dari ayat- ayat al-Qur’an di atas ialah bahwa setiap perbuatan syirik tidak menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannnya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik , namun Allah tidak memanggil dan menyebut mereka sebagai musyrik, tapi dipanggil dengan Ahli Kitab. Sebuah analogi logis dapat pula kita kembangkan adalah bahwa orang-orang Islampun bisa melakukan perbuatan syirik, dan memang kenyataannya ada, namun mereka tidak dapat disebut sebagai kaum musyrik. Sebab sebagai konsekuensi logisnya, kalau salah seorang suami-istri dari keluarga muslim sudah disebut musyrik, perkawinan mereka batal dengan sendirinya dan wajib cerai, tapi kenyataan ini tidak pernah diterima. Betapa banyak terdapat dalam kenyataan hidup ini pada orang-orang beragama, termasuk orang-orang muslim, melakukan perbuatan syirik dalm kehidupan sehari-harinya Kemusyrikan itu terlihat dari firman Allah, artinya, “Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun…” (QS.4:36). Menyembah dan menjadikan Tuhan-tuhan lain selain Allah adalah perbuatan syirik, bahkan ada orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan :"Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya"(QS.45:23). Artinya, orang yang mempertuhankan hawa nafsu, harta, kedudukan, dan lain sebagainya, telah melakukan perbuatan syirik.
Dapatkah pelaku-pelaku syirik ini dikategorikan sebagai kaum musyrik, dan diharamkan mengawininya oleh orang-orang Islam? Kami berpendapat tidak! Surat al-Baqarah, 2:221 tidak berbicara dengan kemusyrikan seperti itu. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap perbuatan syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, tapi sebaliknya setiap orang musyrik sudah jelas pelaku syirik.
Karena itu perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenarnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab Samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli; disamping tidak seorang Nabipun mereka percayai.
Adapun Ahli Kitab adalah orang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab Samawi, baik yang sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah dan amalan. Sedangkan yang disebut dengan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari Ahli Kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.
Begitu jelasnya perbedaan antara kaum musyrik dengan Ahli Kitab, sehingga kita tidak boleh mencampuradukkan makna dan arti antara keduanya; dimana musyrik diartikan Ahli Kitab dan Ahli Kitab diartikan musyrik. Bila Allah mengharamkan mengawini perempuan musyrik, seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah: 221, “janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman….” Maka tidak tepat bila ayat al-Qur’an itu dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan perempuan Musyrik itu adalah perempuan Ahli Kitab. Bahkan Imam Muhammad Abduh lebih spesifik dan terang berpendapat, sebagaimana dinukilkan oleh sang murid, Rasyid Ridha, bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki muslim, dalam al-Baqarah 221, itu adalah perempuan-perempuan Musyrik Arab. Apakah masih ada sampai sekarang orang-orang seperti Musyrik Arab itu? kalau ada, hukum dapat berlaku, tapi kalau tidak maka dengan sendirinya tidak ada satu kepercayaan dan agamapun yang menjadi kendala dalam melakukan perkawinan.
Karena itu, pandangan yang memasukkan non-Muslim sebagai musyrik ditolak dengan beberapa alasan berikut: pertama, dalam sejumlah ayat lainnya al-Qur’an membedakan antara orang-orang musyrik dan ahli kitab (Kristen dan Yahudi). Dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an menggunakan huruf “waw” yang dalam kaidah bahasa Arab disebut “athfun”, yang berarti pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atas dasar ini, terdapat perbedaan antara kata musyrik dengan ahli kitab. Abu Ja’far ibn jarir al-thabari dalam jami’ al-bayan al-ta’wil al-qur’an, termasuk salah seorang ulama terkemuka yang menafsirkan “musyrik” sebagai orang-orang yang bukan ahli kitab. Musyrik yang dimaksud dalam al-baqarah 221 sama sekali bukan Kristen dan yahudi. Yang dimaksud musyrik dalam ayat tersebut yaitu orang musyrik arab yang tidak mempunyai kitab suci.
Kedua, larangan menikahi “musyrik”, karena dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi orang-orang islam.
Ketiga, dalam masyarakat arab terdapat tiga kelompok masyarakat yang disebut kelompok lain, yaitu musyrik, Kristen, dan yahudi. romawi dan Persia. Yang membedakan kelompok Kristen, yahudi, musyrik yaitu ajaran monotheisme. Musyrik sepertinya murni sebagai kekuatan politik, sedangkan yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit banyak mempunyai persinggungan teologis dengan Islam.
2. Ahli Kitab
Ibn Umar salah seorang sahabat Nabi, mempunyai pendapat menyamakan antara kaum Musyrik dan Ahli Kitab dan mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan-permpuan mereka. Akan tetapi hampir seluruh sahabat Nabi, tabi’in , ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Ibnu Umar, bahkan bertentangan dengan praktek para sahabat dan tabi’in.
Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani, dan kebolehan menikah dengan perempuan-perempuan mereka hanyalah mereka yang berada dalam Darul Islam. Akan tetapi para sahabat dan tabi’in tidak sependapat dengan Abdullah bin Abbas. Sebab, sekalipun dalam situasi perang tidak ada diantara mereka yang berpendapat bahwa kawin dengan perempuan Ahli Kitab haram, sebab surat al-Maidah membolehkan perkawinan tersebut secara umum.
Imam syafi’i berpendapat, bahwa Ahli Kitab hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil saja, sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk Ahli Kitab. Karena Nabi Musa dan Nabi Isya diutus hanya pada Bani Israil saja, bukan kepada bangsa-bangsa lainnya.
Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan maka ia termasuk Ahli Kitab, dan tidak disyaratkan Yahudi dan Nasrani. Bila ada orang yang hanya percaya kepada Shuhuf Nabi Ibrahim atau Zabur saja, maka iapun termasuk Ahli Kitab. Bahkan diantara Ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab dapat diduga sebagai kitab Samawi, maka mereka juga adalah Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
Dalam kitab klasik pun disebutkan orang-orang Majusi mempercayai kenabian Zoroaster dan Allah , menurunkan wahyu kepadanya sebagai kitab suci yang bernama Zend Avesta. Orang-orang beragama Sabian, yaitu agama dari golongan ginostik, atau yang mengenal kehidupan Agung, kitab suci mereka bernama Ginza mereka mempercayai bahwa Hernes, Plato dan beberapa filosuf dan semua pembawa syariat telah mendapatkan wahyu Samawi dari Allah yang ajarannya mengandung perintah larangan, surga, neraka. Karena tingginya ajaran mereka, terutama ajaran moral dan bersesuaian dengan ajaran agama, maka pemikir Islam, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles seorang filosuf Yunani adalah seorang manusia yang bersifat Ilahi (seorang Nabi).
Dalam pandangan ulama zaman modern, seorang pakar seperti Rasyid Ridha, menegaskan bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Rasyid Ridha memfatwakan bahwa laki-laki muslim diharamkan menikah dengan perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan musyrik Arab masa lalu. Itulah pendapat mufassir Ibn Jazir Al-Thabari. Sedangkan orang-orang Majusi, Sabian, penyembah berhala di India, China dan semacam mereka, seperti orang-orang Jepang adalah Ahli Kitab, yang kitab mereka mengandung paham monotheisme (tauhid) sampai sekarang. Karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Jadi dapat ditegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan lainnya, selain musyrik Arab harus diperlakukan sebagai Ahli Kitab, dengan halal menikahi perempuan-perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka.
bacaan lainnya
Komentar
Posting Komentar