hukum islam Landasan Hukum Wakaf Tunai
Merujuk kepada Alqur’an sebagai acuan utama dalam hierarki hukum Islam, terdapat beberapa dalil yang lazim digunakan oleh jumhur ulama untuk menetapkan wujudnya syari’at wakaf kendati tidak ada satu dalil yang qath’i memutuskan perihal wakaf tersebut secara langsung. Salah satu dalil antara lain firman Allah dalam Surat Ali Imran (3)ayat 92:
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Demikian pula firman Allah QS Al-Baqarah/2 ayat 261-262:
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui [261]. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati[262].”
Alqur’an dalam hal ini tidak menyebutkan secara khusus mengenai wakaf, Alqur’an hanya membicarakan soal umum yaitu soal menafkahkan harta pada jalan Allah di mana salah satunya jalan tersebut adalah melalui wakaf.
Merujuk kepada Sunah, terdapat beberapa hadis Rasulullah yang juga lazim digunakan para ulama dalam menyikapi perihal wakaf. Di antara hadis-hadis yang umum digunakan dalam perihal wakaf termasuk juga perihal wakaf tunai, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar, yaitu:
حدثنا يحيى بن يحيى التميمي أخبرنا سليم بن أخضر عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط هو أنفس عندي منه فما تأمرني به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع أصلها ولا يبتاع ولا يورث ولا يوهب قال فتصدق عمر في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف أو يطعم صديقا غير متمول فيه قال فحدثت بهذا الحديث محمدا فلما بلغت هذا المكان غير متمول فيه قال محمد غير متأثل مالا.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi, telah mengkhabarkan kepada kami Sulaim bin Akhdhar dari ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar, telah berkata para sahabat Umar bin Khattab bahwa Umar bin al-Khatthab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Rasulullah untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, "Wahai Rasulullah. Saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih haik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Rasulullah menjawab: ”Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya”. Ibnu Umar berkata, ”Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil) nya kepada orang fakir, kerabat, riqab (hamba sahaya/orang tertindas), fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma 'ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik” Rawi berkata, "Saya menceritakan hadis tersebut kepada Muhammad (Ibnu Sirin) ketika sampai ke tempa ini lalu ia (Muhammad bin Sirin), berkata (maksudnya adalah) ”ghaira muta'tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”.
Hadis tersebut memang tidak mengisyaratkan secara eksplisit megenai wakaf, namun para ulama salaf sepakat bahwa wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar itu adalah wakaf yang pertama terjadi di dalam sejarah Islam.
Demikian pula sebagaimana Hadis Rasulullah lainnya, yaitu:
حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة يعني ابن سعيد وابن حجر قالوا حدثنا إسمعيل هو ابن جعفر عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له .
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah (yaitu Ibnu Sa’id da Ibnu Hajar) mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Ismail (yaitu Ibnu Ja’far) dari ‘Alaa’ dari Bapaknya dari Abu Hurairah (ia berkata): “Bahwasannya Rasulullah bersabda: “Ketika manusia telah meninggal, terputuslah darinya segala (pahala) amalnya kecuali 3 (tiga) hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”.
Perihal wakaf hanya sedikit disinggung oleh Sunah, sebagian besar perihal wakaf ditetapkan hukum-hukumnya melalui ijtihad para fuqaha dengan menggunakan metode ijtihad seperti Istihsan, Istishab dan ‘urf atau kebiasaan.
Ijtihad merupakan alternatif lain ketika tidak ada naz yang qath’i. Hukum wakaf tunai dapat difahami sebagai pengembangan pemikiran dari adanya ketetapan, bahwa wakaf walaupun secara langsung tidak disebutkan dalam nas secara qath'i, namun tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama untuk mengamalkan wakaf kecuali hanya khilafiah pada pengertian Dzat atau nilai dari harta, manakah yang harus abadi sehingga harta tersebut boleh diwakafkan.
Dengan ketiadaan nas yang qath’i, maka dapat diberlakukan hukum asal di mana analogi terhadap hukum mubah menjadi tepat untuk cocokkan kedudukan hukum wakaf tunai berdasarkan kaidah yang menyebutkan bahwa segala persoalan itu pada dasarnya adalah “mubah” (boleh) selama tidak terdapat dalil yang melarangnya.
Kemudian akan lebih kuat lagi kedudukan wakaf tunai itu apabila dilihat dan dipertimbangkan dari aspek manfaat dan mudharat, karena mudharat yang ditimbulkan hampir tidak ada, sedangkan manfaatnya sangat banyak, terutama untuk diorientasikan kepada usaha-usaha produktif dan manfaat jangka panjang. maqasid syar’iyyah (tujuan-tujuan syari’ah) yang dalam bermuara kepada al-mashlahah al mursalah (kemaslahatan universal) karena berupaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
a. Landasan Hukum dari Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Di Indonesia, praktik wakaf telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yaitu sejak akhir abad ke-12 Masehi. Saat ini, salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di Indonesia adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangakat hukum positif sekaligus sebagai landasan hukum dalam pengelolaan wakaf.
Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang wakaf dapat kita lihat dari beberapa peraturan di bawah ini, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961tentang Pendaftaran Tanah.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. PP Nomor 28 Tahun 1977 ini hanya mengatur perwakafan tanah milik, yang meliputiinventarisasi tanah wakaf, proses terjadinya perwakafan tanah milik, dan proses pemberian hak atas tanah wakaf. Terbitnya PP ini menciptakan pembaharuan yang cukup penting dalam pengelolaan harta wakaf. Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf setelah mendapat izin dari Menteri Agama. Secara substansial peraturan ini tersebut membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan secara optimal. Aturan ini merupakan pembaharuan karena mayoritas umat menganut mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf sudah tidak layak lagi digunakan, seperti masjid yang hampir roboh.
3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah PP Nomor 28 Tahun 1977. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI antara lain berkaitan dengan objek wakaf, nazir, dan sebagainya. Terkait dengan objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah mencakup harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP Nomor 28 ketentuan seperti ini belum ada.
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang Wakaf ini merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan Perundangan wakaf yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru yang merupakan upaya memberdayakan wakaf secara produktif dan akuntabel. Dengan adanya Undang-Undang ini terdapat perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Dalam Undang-Undang ini, selain mengatur tentang wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur tentang wakaf benda bergerak, seperti uang, saham, atau surat-surat berharga lainnya.
5) Sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf ini, sudah keluar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI tersebut adalah:
a) Wakaf Uang (cash waqaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukumdalam bentuk uang tunai.
b) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c) Wakaf uang hukumnya jaiz (boleh).
d) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf yang meliputi: ketentuan umum, Nazhir, Jenis harta benda wakaf, akta ikrar wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan, bantuan pembiayaan Badan Wakaf Indonesia, peembinaan dan pengawasan.
Demikian banyaknya Peraturan Perundang-Undangan Negara Indonesia yang mengatur perihal wakaf, sejatinya menjadi landasan kuat bagi masyarakat muslim di Indonesia untuk dapat melakukan wakaf secara legal dan terakomodir.
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Demikian pula firman Allah QS Al-Baqarah/2 ayat 261-262:
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui [261]. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati[262].”
Alqur’an dalam hal ini tidak menyebutkan secara khusus mengenai wakaf, Alqur’an hanya membicarakan soal umum yaitu soal menafkahkan harta pada jalan Allah di mana salah satunya jalan tersebut adalah melalui wakaf.
Merujuk kepada Sunah, terdapat beberapa hadis Rasulullah yang juga lazim digunakan para ulama dalam menyikapi perihal wakaf. Di antara hadis-hadis yang umum digunakan dalam perihal wakaf termasuk juga perihal wakaf tunai, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar, yaitu:
حدثنا يحيى بن يحيى التميمي أخبرنا سليم بن أخضر عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط هو أنفس عندي منه فما تأمرني به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع أصلها ولا يبتاع ولا يورث ولا يوهب قال فتصدق عمر في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف أو يطعم صديقا غير متمول فيه قال فحدثت بهذا الحديث محمدا فلما بلغت هذا المكان غير متمول فيه قال محمد غير متأثل مالا.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi, telah mengkhabarkan kepada kami Sulaim bin Akhdhar dari ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar, telah berkata para sahabat Umar bin Khattab bahwa Umar bin al-Khatthab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Rasulullah untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, "Wahai Rasulullah. Saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih haik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Rasulullah menjawab: ”Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya”. Ibnu Umar berkata, ”Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil) nya kepada orang fakir, kerabat, riqab (hamba sahaya/orang tertindas), fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma 'ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik” Rawi berkata, "Saya menceritakan hadis tersebut kepada Muhammad (Ibnu Sirin) ketika sampai ke tempa ini lalu ia (Muhammad bin Sirin), berkata (maksudnya adalah) ”ghaira muta'tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”.
Hadis tersebut memang tidak mengisyaratkan secara eksplisit megenai wakaf, namun para ulama salaf sepakat bahwa wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar itu adalah wakaf yang pertama terjadi di dalam sejarah Islam.
Demikian pula sebagaimana Hadis Rasulullah lainnya, yaitu:
حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة يعني ابن سعيد وابن حجر قالوا حدثنا إسمعيل هو ابن جعفر عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له .
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah (yaitu Ibnu Sa’id da Ibnu Hajar) mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Ismail (yaitu Ibnu Ja’far) dari ‘Alaa’ dari Bapaknya dari Abu Hurairah (ia berkata): “Bahwasannya Rasulullah bersabda: “Ketika manusia telah meninggal, terputuslah darinya segala (pahala) amalnya kecuali 3 (tiga) hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”.
Perihal wakaf hanya sedikit disinggung oleh Sunah, sebagian besar perihal wakaf ditetapkan hukum-hukumnya melalui ijtihad para fuqaha dengan menggunakan metode ijtihad seperti Istihsan, Istishab dan ‘urf atau kebiasaan.
Ijtihad merupakan alternatif lain ketika tidak ada naz yang qath’i. Hukum wakaf tunai dapat difahami sebagai pengembangan pemikiran dari adanya ketetapan, bahwa wakaf walaupun secara langsung tidak disebutkan dalam nas secara qath'i, namun tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama untuk mengamalkan wakaf kecuali hanya khilafiah pada pengertian Dzat atau nilai dari harta, manakah yang harus abadi sehingga harta tersebut boleh diwakafkan.
Dengan ketiadaan nas yang qath’i, maka dapat diberlakukan hukum asal di mana analogi terhadap hukum mubah menjadi tepat untuk cocokkan kedudukan hukum wakaf tunai berdasarkan kaidah yang menyebutkan bahwa segala persoalan itu pada dasarnya adalah “mubah” (boleh) selama tidak terdapat dalil yang melarangnya.
Kemudian akan lebih kuat lagi kedudukan wakaf tunai itu apabila dilihat dan dipertimbangkan dari aspek manfaat dan mudharat, karena mudharat yang ditimbulkan hampir tidak ada, sedangkan manfaatnya sangat banyak, terutama untuk diorientasikan kepada usaha-usaha produktif dan manfaat jangka panjang. maqasid syar’iyyah (tujuan-tujuan syari’ah) yang dalam bermuara kepada al-mashlahah al mursalah (kemaslahatan universal) karena berupaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
a. Landasan Hukum dari Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Di Indonesia, praktik wakaf telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yaitu sejak akhir abad ke-12 Masehi. Saat ini, salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di Indonesia adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangakat hukum positif sekaligus sebagai landasan hukum dalam pengelolaan wakaf.
Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang wakaf dapat kita lihat dari beberapa peraturan di bawah ini, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961tentang Pendaftaran Tanah.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. PP Nomor 28 Tahun 1977 ini hanya mengatur perwakafan tanah milik, yang meliputiinventarisasi tanah wakaf, proses terjadinya perwakafan tanah milik, dan proses pemberian hak atas tanah wakaf. Terbitnya PP ini menciptakan pembaharuan yang cukup penting dalam pengelolaan harta wakaf. Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf setelah mendapat izin dari Menteri Agama. Secara substansial peraturan ini tersebut membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan secara optimal. Aturan ini merupakan pembaharuan karena mayoritas umat menganut mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf sudah tidak layak lagi digunakan, seperti masjid yang hampir roboh.
3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah PP Nomor 28 Tahun 1977. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI antara lain berkaitan dengan objek wakaf, nazir, dan sebagainya. Terkait dengan objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah mencakup harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP Nomor 28 ketentuan seperti ini belum ada.
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang Wakaf ini merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan Perundangan wakaf yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru yang merupakan upaya memberdayakan wakaf secara produktif dan akuntabel. Dengan adanya Undang-Undang ini terdapat perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Dalam Undang-Undang ini, selain mengatur tentang wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur tentang wakaf benda bergerak, seperti uang, saham, atau surat-surat berharga lainnya.
5) Sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf ini, sudah keluar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI tersebut adalah:
a) Wakaf Uang (cash waqaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukumdalam bentuk uang tunai.
b) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c) Wakaf uang hukumnya jaiz (boleh).
d) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf yang meliputi: ketentuan umum, Nazhir, Jenis harta benda wakaf, akta ikrar wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan, bantuan pembiayaan Badan Wakaf Indonesia, peembinaan dan pengawasan.
Demikian banyaknya Peraturan Perundang-Undangan Negara Indonesia yang mengatur perihal wakaf, sejatinya menjadi landasan kuat bagi masyarakat muslim di Indonesia untuk dapat melakukan wakaf secara legal dan terakomodir.
Komentar
Posting Komentar