hukum Islam cinta beda agama Menurut Mazhab Klasik
Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan. Alasannya karena ahli kitab adalah orang orang yang percaya kepada kitabullah. Mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa A.S dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa A.S. Dalam Islam, menikah dengan perempuan ahli kitab memang diperbolehkan, berdasarkan petunjuk al-Qur’an berikut ini :
االيوم احل لكم الطيبات و طعام الدين اوتوا الكتاب حل لكم و طعامكم حل لهم و المحصنات من المؤمنات والحصنات من الدين اوتوا الكتاب من قبلكم ادا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مساقحين ولا متخدي اخدان ومن يكفر بالايمان فقد حبط عمله وهو في الاخراة من الخاسرين
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan orang-orang ahli kitab itu halal bagimu, sedang makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan juga bagimu mengawini perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan yang beriman dan perempuan ahli kitab sebelummu jika kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya bukan untuk berzina dan juga bukan untuk menjadikannya sebagai gundik…..(Q.S. al-Maidah : 5)
Dalam ayat ini Allah membolehkan mengawini orang-orang ahli kitab (kebanyakan ulama menafsirkan Ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani). Di samping itu, pernikahan yang dilakukan dengan perbedaan agama secara historis pernah dilakukan oleh orang-orang Islam terdahulu di masa Nabi. Nabi menikahi wanita keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur Romawi Mesir bernama Maria al-Qibtiyah, (mengenai wanita-wanita ini ada pendapat yang mengatakan mereka tidak masuk Islam ketika dinikahi dan sudah masuk Islam terlebih dahulu). Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqash Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, Hudzaifah adalah para sahabat yang menikah dengan wanita di luar Islam. Pernikahan seperti ini juga pernah dilakukan oleh para tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyab, Said bin Zubair, al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah.
Berdasarkan hal di atas maka Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membolehkan menikah dengan ahli kitab. Walaupun pernikahan beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para sahabat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani itu tidak diperbolehkan. Abdullah bin Umar pernah berucap: Allah telah melarang orang muslim menikahi orang musyrik. Maka aku tidak tahu mana syirik yang lebih besar ketimbang seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal sebenarnya Isa itu hanyalah hamba Allah dan Rasulullah di antara rasul-rasulnya yang lain.
Sungguhpun banyak contoh dari para sahabat yang saleh dan para tabi’in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya berhati-hati sebelum melaksanakan perkawinan yang beda agama dan kepercayaan itu. Memang para sahabat mempunyai sifat yang patut diteladani dan mereka hidup dengan penuh takwa dan kesederhanaan. Setelah mereka menikahi perempuan ahli kitab yang berbeda agama dan peribadatannya itu, para sahabat mengetahui bagaimana cara mengendalikan istri sehingga anak-anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh karena itu, menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya diperkenankan namun dianggap makruh hukumnya.
Para ulama empat mazhab telah membahas dan memberikan pandangan tentang hukum masalah perkawinan dengan perempuan ahli kitab, yaitu:
1. Menurut Mazhab Hanafi, menikahi perempuan ahli kitab itu haram hukumnya bilamana perempuan ahli kitab itu berada di suatu negeri yang sedang berperang dengan kaum muslimin (dar al-harb), karena mengawini perempuan ahli kitab ini akan dapat menimbulkan kerugian dan berbahaya. Dalam keadaan perang itu, anak-anak hasil perkawinan itu akan lebih cenderung kepada agama ibunya.
2. Mazhab Maliki sebaliknya, mengajukan dua alternatif pandangan, pertama menikah dengan perempuan ahli kitab itu hukumnya makruh sama sekali, baik perempuan itu seorang kafir zimmi maupun penduduk dar al-harb. Pendapat kedua , menikahi perempuan ahli kitab itu bukan makruh karena al-qur’an mendiamkannya. Sifat mendiamkan dianggap sebagai persetujuan, jadi kawin dengan perempuan ahli kitab boleh-boleh saja. Sebaliknya bagi ahli kitab tidak ada keharusan kalau kedua orangtuanya harus dari golongan ahli kitab. Perkawinan itu akan tetap sah sekalipun ayahnya seorang ahli kitab dan ibunya adalah seorang penyembah berhala.
3. Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali meyakini bahwa kedua orang tua perempuan itu haruslah ahli kitab, jika ibunya seorang penyembah berhala,maka perkawinan dengan ahli kitab itu tidak diperkenankan, sekalipun perempuan itu telah dewasa dan menerima agama ayahnya.
Selain itu, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang dimaksud ahli kitab oleh para ulama, maka di bawah ini penulis menjelaskan beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut :
1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dalam kitab al-Ummnya mengatakan :
(قال الشافعي) رحمة الله تعالى : ويحل نكاح حرائر اهل الكتاب لكم مسلم لان الله تعالى احلهن بغير استسناء واجب الى لو لم ينكحهن مسلم
Dihalalkan menikahi perempuan merdeka dari ahli kitab bagi setiap laki-laki muslim tanpa kecuali karena Allah Ta’ala telah menghalalkannya dan saya lebih menyukai kalau laki-laki muslim tidak menikahinya.
Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa ahli-kitab yang dihalalkan adalah ahli kitab Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga tidak termasuk ahli kitab, orang-orang Arab yang masuk ke dalam Yahudi dan Nasrani karena asal agama mereka sesat dengan menyembah berhala kemudian mereka pindah kepada agama ahli kitab bukan karena mereka beriman dengan Taurat dan Injil dan sembelihan mereka juga tidak halal. Demikian juga tidak termasuk ahli kitab orang-orang ‘azam yaitu yang bukan orang-orang Arab yang masuk ke dalam agama ahli kitab karena asal agama nenek moyangnya adalah penyembah berhala.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm di dalam al-Mahalla mengatakan bahwa yang termasuk ahli kitab yang boleh dinikahi adalah Yahudi, Nasrani, dan Majusi.. Ibnu Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim jil. II, h. 27, menginformasikan bahwa Abu Sur Ibrahim Ibn Khalid al-Kalbi (w. 860) yang merupakan seorang pengikut Imam Syafi’i demikian juga Ahmad ibn Hanbal, membolehkan menikmati makanan dan sembelihan orang Majusi dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.
c. Muhammad Abd al-Karim Syahristani (w. 548 H/1153 M, ahli ilmu kalam)
Berpendapat bahwa ahli Kitab terdiri dari Yahudi dan Nasrani, namun tidak terbatas pada keturunan Bani Israil. Adapun pengikut agama lain yang mempunyai kitab-kitab suci seperti Majusi disebut oleh Syahristani sebagai syibh Ahli kitab (mirip dengan ahli kitab). Syibh ahl-kitab diperlakukan sebagaimana kaum Zimmi lainnya, tetapi kaum wanita tidak boleh dikawini dan sembelihannya tidak boleh dimakan.
d. Pendapat yang lebih longgar dikemukakan oleh Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan beberapa ahli fikih lainnya, seperti Abu Sur. Kelompok ulama ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah seluruh komunitas yang mempercayai nabi atau kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Ahli kitab menurut pemahaman mereka tidak hanya terbatas pada keturunan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, seandainya ada komunitas yang mempercayai suhuf nabi Ibrahim atau Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud maka mereka adalah ahli kitab.
Islam membolehkan menikah dengan ahli kitab dengan berbagai macam pendapat ulama di atas, namun menikah dengan orang musyrik dalam bentuk apapun sama sekali dilarang, baik orang yang menyembah berhala, orang yang keluar dari Islam (murtad), penyembah sapi atau binatang yang lain, menyembah pepohonan ataupun menyembah batu. Larangan Islam ini berdasarkan pernyataan dari al-qur’an surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:
ولا تنكحواالمشركات حتى يؤمن ولامة مؤمنة خير من مشركة ولو اعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة والمغفرة بادنه ويبين اياته للناس لعلهم يتدكرون
- Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya kamu mengambil pelajaran”. ( al-Baqarah : 221)
Diriwayatkan dalam Asbabun Nuzul, larangan menikah dengan orang di luar Islam, rupanya dinukilkan pada masa Rasulullah saw. Yaitu suatu peristiwa yang dianggap sebagai penyebab turunnya surat al-Baqarah ayat 221.
Suatu ketika diutuslah seorang laki-laki tampan bernama Marsad, orang kaya dari Bani Hasyim ke Mekkah untuk membawa kaum muslimin yang ditawan. Sesampainya di Mekkah datang seorang wanita bernama Unaq, kekasih Marsad ketika dia masih musyrik.
Unaq adalah seorang wanita cantik dan belum memeluk Islam. Sebelumnya Marsad telah memutuskan hubungannya dengan Unaq. Waktu itu Unaq sengaja mendatangi Marsad, dan bertanya perihal hubungan mereka, “Hai Marsad, apakah engkau masih ingin denganku?” Marsad menjawab, “Islam telah menghalangi hubungan antara engkau dan aku, perbuatan itu haram bagi kami.” Jawaban Marsad ini tak menyurutkan niat Unaq untuk merayu dan mendapatkan kembali Marsad. “Tetapi bila engkau menghendaki aku akan kawin dengan engkau,” kata Unaq. “Baik, kata Marsad, aku akan meminta izin kepada Rsulullah. Sesampainya di Madinah Marsad menceritakan peristiwa itu dan bertanya kepada Rasulullah tentang Unaq, “apakah halal bagi saya untuk mengawininya”, untuk menjawab pertanyaan ini turunlah surat al-Baqarah ayat 221.
Abdullah bin Abbas menyebutkan sebab turunnya ayat di atas, berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah, sahabat nabi SAW, yang memiliki budak perempuan. Pada suatu ketika Abdullah bin Rawahah marah kepada budak perempuan ini.Ketika nabi SAW mengetahuinya, lantas beliau bertanya kepada Abdullah bin Rawahah sebagai berikut, Nabi bertanya: apa yang terjadi wahai Abdullah? Abdullah bin Rawahah menjawab: “Wahai Rasulullah SAW, budak perempuan itu berpuasa, berdoa dan menyucikan dirinya, serta beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah. Nabi Saw: “Kalau demikian, dia adalah seorang mukminah. Abdullah bin Rawahah: “Maka demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran, aku akan memerdekakannya dan menikahinya. Setelah Abdullah menikahi budak perempuan tadi, banyak orang muslim mencelanya dengan alasan Abdullah menikahi budak perempuannya. Celaan yang dilontarkan ini berdasarkan bahwa mereka yang mencela itu lebih suka mengawini perempuan musyrik hanya lantaran keunggulan keturunannya. Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Abdullah inilah ayat al-Qur’an di atas diturunkan.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikatakan perkawinan orang mukmin dengan orang musyrik itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa kepada jalan kemusyrikan. Ikatan suami istri itu bukan hanya hubungan seksual semata, melainkan hubungan batin dan budaya. Oleh karena itu, perkawinan tadi dilarang di dalam Islam. Memang benar, boleh jadi seorang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik, agar keluarga dan keturunan orang musyrik tersebut dapat berkenan memeluk Islam. Kemungkinan yang lain juga boleh jadi bahwa dapat menyeret pasangan yang muslim, bahkan keluarga dan keturunannya menuju jalan kemusyrikan. Yang paling mungkin diakibatkan dalam perkawinan mukimin musyrik itu adalah bercampurnya antara keturunan muslim dan non muslim. Orang non muslim mungkin saja menyetujui akibat semacam ini, tetapi seorang muslim tidak dapat melakukan perbuatan semacam ini. Orang yang benar-benar muslim, tidak akan pernah mengambil resiko hanya untuk memuaskan nafsu syahwatnya semata-mata. Orang muslim malah lebih suka mengendalikan hawa nafsunya ketimbang melakukan sesuatu yang akan menyesatkan keimanannya, menjadikannya musyrik ataau paling tidak bagi keturunannya.
Ibn Katsir juga menjelaskan, bahwa ayat 221 ini merupakan pengharaman dari Allah terhadap kaum muslimin supaya tidak menikah dengan wanita musyrik. Yaitu para penyembah berhala seraya menegaskan bahwa wanita musyrik tidak halal dinikahi. Ibnu Katsir juga mempertegas pendapatnya dengan menjelaskan surat al-Mumtahanah sebagai keterangan Allah selain surat al-Baqarah, yang melarang menikahi orang di luar Islam.
يايها الدين امنوا ادا جاءكم المؤ منات مهاجرات فامتحنوهن الله اعلم بايمانهن فان علمتمو هن مؤمنات فلا تر جعو هن الى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلوب لهن واتوهم ما انفقوا ولا جناح عليكم ان تنكحو هن ادا ما اتيتمو هن اجو رهن ولا تمسك بعصم الكوافر واسئلوا ما انفقتم وليسئلوا ما انفقوا دلكم حكم الله يحكم بينكم والله عليم حكيم (الممتحنه : )
Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana (al-mumtahanah : 10).
Pada masa Khulafaur Rasyidin, pernikahan dengan non muslim pernah dilarang keras oleh salah satu sahabat Nabi, Umar bin Khattab. Sayyidina Umar pernah memerintahkan kepada semua orang Islam untuk menceraikan wanita-wanita yang mereka nikahi yang berasal dari luar Islam. Sahabat nabi ini, menghawatirkan pernikahan beda agama terjadi hanyalah karena ketertarikan semata dan timbul dari semangat hawa nafsu.
Ulama lima Mazhab sepakat perempuan dan laki-laki muslim dilarang menikah dengan orang yang tidak mempunyai kitab. Orang yang tidak memiliki kitab adalah golongan yang tidak mendapatkan kitab yaitu Injil, Taurat, Zabur dan al-Qur’an. Para ulama lima mazhab menyepakati orang di luar ini merupakan golongan orang musyrik yaitu para penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, dan golongan orang zindiq, yaitu golongan orang yang tidak percaya pada adanya Tuhan.
Selain itu disepakati juga golongan orang Majusi terlarang menikahi dengan orang Islam. Hal ini disebabkan golongan Majusi telah mengubah kitab suci yang asli. Banyak pula disebutkan orang Majusi sebagai golongan orang yang menyembah api, suatu tindakan yang tidak bisa ditolerir sebab tindakan itu menyekutukan Allah.
Komentar
Posting Komentar