hukum islam "bunga bank dalam pandangan ulama Mazhab"

Please subscribe ya sobat youtube.com/bolonzzzduhasimbolon


A. Pengertian Bunga Bank

Ada dua istilah bunga di kalangan ekonom yaitu kata usury dan interest. Kedua-duanya bermakna tambahan, namun kata usury lebih luas lagi yaitu tambahan yang berlebihan. Secara istilah bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”( Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan). Pendapat lain menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu, yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal“ .
Boleh jadi, pengistilahan ini sama dengan antara riba dan rente. Namun ada yang membedakan antara riba dan rente (bunga) seperti Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI. Sebagaimana dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif. Demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi dalam realitas atau prakteknya, menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar untuk membedakan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua - duanya memberatkan bagi para peminjam. 
Bunga adalah tambahan pada pokok pinjaman sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan jumlah pinjamannya. Dan defenisi ini identik dengan riba. Meskipun sebelumnya terjadi perdebatan mengenai apakah riba ada kaitan atau kesamaannya dengan bunga (interest) atau tidak. Sekarang nampaknya ada konsensus di kalangan ulama bahwa istilah riba meliputi segala bentuk bunga . Apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian ini termasuk bunga, dan itu sangat dilarang dalam Islam . Antara bunga dan riba sering menjadi problem disaat orang ingin mencari pembenaran tentang apa yang dia jalankan yakni dengan mendepositokan sejumlah uangnya di bank. Dan di sisi lain tidak sedikit yang justru menjauhi perbankan karena kekhawatiran terjerumus dalam lingkaran riba. Oleh karenanya akan dipaparkan apakah permasalahan riba yang kita kenal selama ini  adalah sama dengan praktek bunga bank yang sekarang atau bukan sama sekali. 

B. Pengertian dan Jenis-jenis Riba

1. Pengertian Riba
Riba (الربا) secara bahasa bermakna الزيادة (tambahan). Dalam pengertian lain, secara lughawi bahwa riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil . Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah Swt mengingatkan dalam al-Quran, surah an-Nisa: 29 sebagai berikut:ياايهاالذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل                          
Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara/jalan yang bathil (an-Nisa:4)
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-‘Arabi al-Maliki menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Afzalur Rahman :
والربا في اللغة هو الزيادة والمراد به في الأية هو كل زيادة لم يقابلها عوض 
 “pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Alquran yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syariah. 
Transaksi pengganti atau penyeimbang yang dimaksud yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi terhadap penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai, nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana misalnya, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, muthlak, dan mesti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. padahal sesungguhnya dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata, tanpa adanya faktor orang yang menjalankannya dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakannya bisa saja untung bisa juga rugi. 
Secara istilah, para Ulama sangat bervariasi dalam mendefenisikan tentang riba, sebagaimana berikut ini:
a. Badruddin al-‘Ainy pengarang kitab Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari mengatakan:
الأصل فيه (الربا) الزيادة - وهو فى الشرعى الزيادة على اصل مال من غير عقد تبايع 
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil ”.
b. Imam as-Sarakhshi dari Mazhab Hanafi mengatakan:
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (ganti) atau pendanaan yang dibenarkan syariah atas pendanaan tersebut”.
c. Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba, beliau mengatakan: “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan”.
d. Sedangkan Imam An-Nawawi dari Mazhab Syafi’i juga mengatakan: 
قال النووى فى المجموع : قال الماوردي: إختلف أصحابنا فيما جاء به القران في تحريم الربا علي وجهين: أحدهما: أنه مجمل فسرته السنة وكل ما جاءت به السنة من أحكام فهو بيان لمجمل القرآن نقدا كان أو نسيئة  والثاني:أن التحريم الذي في القرآن أنه تناول ما كان معهودا للجاهلية من ربا النساء وطلب الزيادة في المال بزيادة الأجل ثم وردت السنة بزيادة الربا في النقد مضافا إلي ماجاء به القرآن 
Berdasarkan penjelasan di atas dapat difahami bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Alquran dan sunnah adalah:.  طلب الزيادة في المال بزيادة الأجل   penambahan atas harta pokok karena unsur waktu”. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
e. Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Mazhab Syi’ah juga berpendapat:
“Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah Swt mengharamkan riba: Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubung erat dan kebajikan antarmanusia” .
Dan secara umum pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan . Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
1. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qard dan riba Jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba Fadl dan riba nasi’ah. Adapun pengertian masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Riba al-Qard adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh)
2. Riba al-Jahiliyyah yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba al-Fadhl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi.
4. Riba an-Nasi’ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba jenis nasi’ah ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba ini, Ibnu hajar Al-Haitsami sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali menguraikan sebagai berikut: “bahwa riba itu terdiri atas tiga jenis, yaitu riba fadhl, riba al-yaad, dan riba nasi’ah. Al-Mutawally menambahkan jenis riba yang ke empat, yaitu riba al-qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis riba dimaksud mempunyai status hukum haram secara ijma’ ulama mengambil rujukan berdasarkan Al-quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.” 
C. Persamaan Bunga pada Bank Konvensional dengan Riba
Konvensional berasal dari bahasa Inggris yaitu convention, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan. Jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasionalnya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang diambil oleh bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan keuntungan, dan ini sama saja dengan mencuri . 
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1. Bunga sudah ditentukan besarannya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2. Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah
Dari ciri dan metode yang diterapkan oleh bank konvensional dalam pemberian ‘interest’ kepada nasabahnya, maka penulis melihat adanya kesamaan antara bunga bank dengan sistem riba dengan segala jenisnya.  

D. Konsep Riba dalam Pandangan Islam dan Non-Islam

Riba bukan hanya merupakan persoalan dalam masyarakat Islam, melainkan juga  menjadi persoalan berbagai kalangan di luar Islam. Oleh karena itu kajian terhadap masalah riba dapat di runut mundur hingga lebih dari 2000 tahun yang silam. Selain dalam agama Islam, masalah riba juga telah menjadi pembahasan di kalangan penganut agama Yahudi, bangsa Yunani, bangsa Romawi, dan penganut agama Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba . 
a. Konsep riba (bunga) bagi pemeluk agama Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan dimaksud banyak terdapat pada kitab suci mereka, baik dalam Perjanjian lama (Old Testament) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) misalnya pasal: Pasal 22 ayat 25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang msikin di antara kamu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Selain itu, kitab Deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 29 mengatakan: “janganlah engkau membungakan kepada saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan” Demikian juga Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: “janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akah Allahmu, supaya saudaramu  bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah engaku berikan dengan meminta riba . 
b. Konsep riba (bunga) di kalangan pemeluk agama Kristen
Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6: 34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat yang dimaksud menyatakan:”dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Akan tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuat baiklah kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Ketidak jelasan ayat di atas, sehingga memunculkan berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan dimaksud dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu: (i) pandangan para pendeta agama Kristen pada awal abad I-XII yang menharamkan bunga, (ii) Pandangan para sarjana pemeluk agama Kristen pada abad XII-XVI yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan (iii) pandangan para reformis pemeluk agama Kristen pada abad XVI-XIX yang menghalalkan bunga. 
c. Konsep Riba (bunga) dalam Agama Islam .
Konsep pelarangan riba dalam berbagai jenis di dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw terdapat di berbagai Surat dan hadis Rasulullah Saw  berikut ini:
- Larangan riba dalam Alquran:
Larangan riba dalam Alquran tidak diturunkan oleh Allah Swt sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap yaitu:
Tahap pertama: peringatan Allah Swt dalam Alquran mengenai riba adalah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai sesuatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah Swt sebagaimana yang dikisahkan dalam surah Ar-Rum: 19
Artinya: dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).
 Tahap kedua: peringatan Allah Swt dalam Alquran mengenai riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah Swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Ancaman Allah Swt yang dimaksud terdapat dalam surah An-Nisa’ayat 160-161:
Artinya: maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak yang menghalangi (manusia)dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga: Peringatan Allah Swt dalam Alquran mengenai riba yang berlipat ganda. Riba yang diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam surah Ali Imran 130 sebagai berikut:
Artinya: Hai orangorang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Tahap keempat: Peringatan Allah dalam Alquran sebagai peringatan terakhir mengenai riba secara jelas dan tegas mengharamkan ribadalam berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Larangan dimaksud terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 278-279:
Artinya: hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)maka ketahuilah bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. 
- Larangan riba dalam Hadis
Pelarangan riba dalam hukum Islam tidak hanya merujuk kepada Alquran melainkan juga ditemukan dasar hukumnya di dalam hadis. Posisi umum hadis terhadap Alquran adalah menjelaskan aturannya tentang pelarangan secara rinci. Hal dimaksud dapat dilihat dalam wasiat Nabi Muhammad Saw pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 H. Yang menekankan sikap ajaran agama Islam tentang pelarangan riba. Hadis dimaksud, adalah sebagai berikut yang artinya: “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (utang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan”
Selain itu dalam hadis lain juga Nabi Saw. menyatakan:
Artinya: “diriwayatkan oleh ‘Aun bin Abi Juhaifah, ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala) ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah Saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab bidak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan pentato, yang minta ditato, menerima dan memberi riba, serta Beliau melaknat para pembuat gambar”. (HR. Bukhari no. 2048, kitab al-buyu’).
Dan masih terdapat banyak hadis yang menyinggung tentang keharaman riba dalam segala bentuknya. Dan dengan tegas Nabi menyatakan dalam hadis yang lain: “Jabir berkata bahwa Rasulullah Saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, serta dua orang saksinya. Kemudian Beliau bersabda: mereka itu semuanya sama” (HR. Muslim, No. 2995, kitab al-Masaqqoh) 

E. Berbagai fatwa tentang Bunga Bank 


1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Setidaknya ada 2 keputusan yang pernah ada pada masalah bunga bank di kalangan Muhammadiyah yaitu pada tahun 1968 dan 1972. Pada tahun 1968 (majlis tarjih Sidoarjo) memutuskan: status hukum riba adalah haram berdasarkan nash sharih dari Alquran dan As-Sunnah. Oleh karena itu bank yang menggunakan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara yang syubhat. Muktamar ini menyarankan kepada pimpinan pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
 Pada 1972 (Majlis Tarjih Wiradesa), dalam sidangnya peserta tarjih mengamanatkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk kembali menegaskan tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. Hasilnya, pada tahun 1976 (Majlis Tarjih Garut) mengeluarkan keputusan menyangkut pengertian uang dan/ atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam muktamar Majlis Tarjih Muhammadiyah di Malang pada tahun 1989. Keputusannya: koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah di Malang sehingga Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan yaitu tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba. Namun, pelaksanaannya perlu mengingat beberapa hal, diantaranya hendaknya tambahan pembayarann (jasa) tidak melampaui laju inflasi. 
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (NU)
Lajnah Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama melalui beberapa kali sidang memutuskan mengenai bank dan pembungaan uang sama dengan status hukum gadai. Mengenai hal tersebut terdapat tiga pendapat ulama, yaitu (a) haram, sebab termasuk uang yang dipungut adalah rente, (b) halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sementara adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat, dan (c) syubhat (tidak tentu halal haramnya) sebab ahli hukum berbeda pendapat tentangnya.
Meski ada perbedaan pendapat di atas, Lajnah memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni yang menyebut bunga bank adalah haram. Keputusan Lajnah Bahtsul Masail yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung pada tahun 1982.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Ketika Organisasi Konferensi Islam (OKI) melakukan sidang untuk membicarakan masalah bunga bank, maka semua peserta sidang menyetujui keharamannya. Pelaksanaan sidang dimaksud berlangsung di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970. Hasil sidang dimaksud telah menyepakati dua hal utama, yaitu (a) praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam, dan (b) perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dan hasil kesepakatan dimaksud yang melatarbelakangi berdirinya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4. Mufti Mesir
Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang- kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989, mufti negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Fatwa MUI 
Ijtima’ ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia menetapkan fatwa bahwa bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun individu yang melakukan praktek pembungaan adalah haram. Namun fatwa larangan untuk bermuamalah dengan lembaga konvensional tidak berlaku mutlak untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah. Untuk di wilayah ini, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi konvensional berdasarkan prinsip darurat atau hajat (kebutuhan). 
Walau demikian, fatwa dimaksud tidak berarti seluruh transaksi dengan lembaga keuangan diharamkan. Sebagai contoh, transaksi bank konvensional seperti transfer uang tidaklah haram karena tidak berdasarkan perhitungan bunga, tetapi hanya sebatas uang jasa biasa. Lain halnya, aktivitas transaksi keuangan lain seperti tabungan, kredit, simpan pinjam, atau lainnya yang didasarkan kepada perhitungan bunga, adalah haram hukumnya.
Fatwa MUI yang disusun oleh banyak ulama, setelah melakukan pembahasan yang rumit dengan merujuk banyak kitab, menyatakan bahwa praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba nasi’ah, yakni tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Bahkan MUI menilai bahwa bunga uang dari simpan/pinjam yang berlaku saat ini lebih buruk dari riba yang diharamkan oleh Allah Swt dalam Alquran. Riba dalam Alquran yang dimaksud hanya dikenakan tambahan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sementara sekarang ini, model transaksinya bunga bank sudah langsung dikenakan tambahan sejak terjadinya transaksi.
Selain lembaga-lembaga di atas, ketetapan keharaman bunga bank juga telah dinyatakan oleh keputusan tiga forum ulama internasional, yaitu Majmaul Buhuts al-Islamiyyah di Mesir pada Mei 1965, Majma’ al-Fiqh al-Islami di Jeddah Arab Saudi pada Desember 1985, Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islami di Mekkah, Arab Saudi, pada bulan Rajab 1406 H.

Postingan populer dari blog ini

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?

Lafal-lafal yang Dipergunakan dalam al-Jarh dan al-Ta’dil

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil