defenisi Wakaf Menurut Para Ulama mazhab
Menurut bahasa wakaf berasal dari waaf yang berarti Radiah (terkembalikan) ,al tabbies (tertahan),al-tasbil (tertawan) dan al-man’u(mencegah) Sedangkan menurut istilah (syara’) yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana Yang didefinisikan oleh parah ulamah adalah sebagai berikut:1. Muhammad al-al-syrbini al-khtib berpendapat bahwah yang dimaksud dengan wakaf adalah
:”Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan di Sertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif (pengelolah). Yang dibolehkan adanya
2. Imam Takiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Huseini dalam kitakifayat al-Akbyar berpendapat bahwah yang dimaksud dengan wakaf adalah: ”Penahanan harta yang memungknkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya),dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelolah manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan dri pada allah SWT’’.
3. Menurut Ahmad AzharBasyir berpendapat bahwah yang dimaksud dengan wakaf Ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tampa musnah seketika dan untuk penggunaan yang dibolehkan,serta dimaksudkan untuk mendapat Ridah Allah
Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah; Menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya ,kekal zat (‘ain )-nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentutukan syara ‘serta dilarang Leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu
Dalam buku wahbah az-zuhaili Lafal waqf (pencegahan) tahbis (penahanan), tasbil (pendermaan untuk fisabilillah) mempunyai pengertian yang sama. Wakaf menurut bahasa adalah menahan untuk berbuat, membelanjakan. Dalam bahasa arab dikatakan waqaftu kadza, dan artinya adalah aku menahannya. Wakaf menurut syara ada tiga pengertian sebagaimana tersebut dalam mazhab-mazhab fikih.
1. Pengertian pertama : Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan harta dari otooritas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menyedekahkan kemanfaatan barang wakaf tersebut untuk tujuan kebaikan. Berdasarkan pengertian tersebut, wakaf tidak memberikan konsekuensi hilangnya barang yang diwakafkan dari kepemilikan orang yang mewakafkan. Dia (orang) yang mewakafkan boleh saja mencabut wakaf tersebut, boleh jua menjualnya. Sebab pendapat yang paling sahih menurut Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz (boleh), bukan lazim (wajib, mengandung hukum yang mengikat). Wakaf hanya mempunyai hukum lazim karena salah satu dari tiga perkara :
1. Apabila yang memutuskan adalah hakim muwalla ( hakim yang diberi wewenang untuk menangani urusan umat). Ilustrasinya orang yang mewakafkan ingin mencabut harta wakafnya dengan alasan wakaf tidak bersifat lazim. Kemudian hakim almuwalla memutuskan kelaziman wakaf tersebut, maka hukum wakaf tersebut menjadi lazim.
2. Orang yang berwasiat “apabila saya mati, saya wakafkan rumah saya misalnya untuk ini, wakaf dalam kasus ini seperti wasiat sepertiga harta yang harus dilaksanakan setelah mati, bukan sebelumnya.
3. Jika orang yang mewakafkan menjadikan barang tersebut wakaf untuk masjid, jika ada orang yang salat didalamnya maka kepemilikan orang yang mewakafkan menjadi hilan demikian menurut Abu Hanifah.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).
3. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial). Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami oleh masyarakat cenederung terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, padahal tidak demikian, wakaf dapat pula berbentuk benda bergerak misalnya kendaraan, maupun benda tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, bahkan dapat pula wakaf berupa hak, misalnya hak kekayaan intelektual. Sebagaimana menurut undang- undang No. 41 tahun 2004 wakaf adalah Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Pengertian wakaf sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, diperluas lagi berkaitan dengan Harta Benda Wakaf (obyek wakaf) yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan Harta Benda Wakaf meliputi :Benda tidak bergerak; dan Benda bergerak.
C. Pengertian Wakaf Tunai
a. Dasar Pemikiran Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan banyak kalangan, khususnya para ahli dan praktisi ekonomi Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya, bahwa wakaf itu berbentuk benda-benda tak bergerak. Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf. Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya teori-teori ekonomi.
Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai. Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Iman Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf[. Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah banyak dilakukan masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, r.a:
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh adalah mazhab Syafi’i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca: uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya. Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntunganya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama.
Dr Mundzir Qohf mendefinisikan dengan bahasa kontemporer, wakaf adalah penahan harta, baik muabbad (untuk selamanya) atau muaqqat (sementara), untuk dimanfaatkan, baik harta tersebut maupun hasilnya, secara berulang-ulang untuk suatu tujuan kemaslahatan umum atau khusus. Dalam bagian lain beliau mengistiahkan, wakaf dalam artian umum dan menurut pengertian realitasnya adalah menempatkan harta dan aset produktif terpisah dari tasharruf (pengelolaan) pemiliknya secara langsung terhadap harta tersebut serta mengkhususkan hasil atau manfaatnya untuk tujuan kebajikan tertentu, baik yang bersifat perorangan, sosial, keagamaan maupun kepentingan umum.
Menurut Prof. DR. M.A. Mannan, wakaf ialah suatu yang subtansi (wujudnya aktiva)-nya dipertahankan, sementara hasil/ manfaatnya digunakan sesuai dengan keinginan dari orang yang menyerahkan (pewakaf/ waqif), dengan demikian wakaf berarti proses legal oleh seseorang yang melakukan amal nyata yang besar.
Imam Az Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham, untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Ulama mahzab Hanafiyah membolehkan wakaf uang, dan sebagian ulama syafi'iyah membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham). Kemudian, istilah wakaf tunai tersebut kembali dipopulerkan oleh Prof. DR. M.A Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf. Di Indonesia, wakaf tunai bukan merupakan masalah lagi. Pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa MUI telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya ialah sebagai berikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk kedalam pengertian uang ialah surat-suarat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Komentar
Posting Komentar