zaman dah modern! apakah manusia harus belajar agama?
Pengetahuan manusia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan sejumlah kajian, penelitian dan penemua. Dengan penemuan baru itu manusia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu dan mengembangkannya kearah yang lebih baik. Pemahaman seseorang terhadap agama adalah sangat menentukan kualitas seseorang akan agamanya. Agama tidak cukup difahami sebagai formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai, tetapi ia menyatu dalam hidup nyata para pemeluknya, dan ajaran agama dapat hidup hanya sebanding dengan kematangan jiwa pemeluknya (Arkoen, 1997 : 33)
Dalam setiap agama, terutama Islam, terdapat prinsip taghyir, yakni kewajiban mencari dan mencari, menguji dan terus menguji keyakinan dan kebenaran secara tiada berkeputusan dalam etos mujahadah yang tak kenal henti. Garis mujahadah ini, merupakan rentetan atau kontinom “penemuan demi penemuan” yang terus bertambah dan menumpuk dalam dimensi dinamis yang semakin baik. Sekalipun yang terjadi adalah rentetan pengalaman akan kebenaran relatif, namun karena ia bergerak dinamik akseleratif tiada henti menuju kebenaran mutlak, maka ia tetap punya suplementasi dan komplementasi yang tidak sedikit bagi khazanah keilmuan manusia. Karena itu dalam agama islam, misalnya, umatnya didorong untuk mencari kebenaran, bersikap kritis dan menanyakan kebenaran yang sudah diterima dari nenek moyangnya (Qs . 2 : 170), selalu terbuka untuk dikoreksi atas keyakinan yang keliru (Qs. 43 : 22 – 24) , Dan senantiasa menguji apa yang sudah dianggapnya sebagai suatu kebenaran (Qs. 7 : 28 – 29 ).
Di era technoscience seperti saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama, dari yang dahulu terbatas pada “identitas” kearah “historitas”. Dari yang hanya berputar-putar pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus “essensi” kearah “eksistensi”. Dalam pergaulan dunia yang makin transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk melihat fenomena agama secara aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis normatif, dan memang disitulah letak “hard core” Dari pada keberagamaan manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”. Sedang tradisi, sebagaimana maklum adalah sulit dipisahkan dari faktor “human construction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih aspek teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong maraknya studi agama adalah terjadinya kesenjangan yang cukup parah antara konsep ajaran agama dengan realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya ketika secara konseptual ajaran agama diyakini dapat membawa manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas objektif umat beragama tidak demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya, maka berarti telah ada sesuatu yang salah, faktor inilah yang memicu keinginan manusia untuk semakin intensif mengkaji dan meneliti agama, baik sebagai doktrin maupun sebagai produk sejarah. Sebab kalau hanya ajaran agama yang sempurna, tetapi realitas masyarakat beragama masih tertinggal di banyak bidang, maka keberagamaan itu sesungguhnya mirip tripping yang melayang-layang di alam otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama pada aras konsepsional tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi yang riil, hanya akan berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Ajaran yang terbaik harusnya melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga mendorong maraknya studi agama adalah tatkala sains dan teknologi mengalami kegagalan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi tertentu sains dan teknologi justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru. Sungguh sangat disayangkan, dibalik keberhasilan manusia modern -dengan IPTEK- menembus tata surya, membuat pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik, dll, ternyata disisi lain juga memunculkan nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi, kehilangan pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis. Dari sini lalu muncul kerinduan yang mendalam akan nilai-nilai spiritual dan agama yang diharapkan dapat menyirami kegersangan psikologi mereka dan mengobati penyakit sindrom alienasi yang dideritanya. (Jones, 1997 : 182)
Pada titik inilah dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif justru labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat yang dulunya menganggap agama hanyalah hayalan manusia terasing atau sublimasi dari keinginan manusia yang tak sampai. Apalagi di era technoscience seperti sekarang ini yang menurut Jones (1997:187) ditandai dengan fundamentalisme, revitalisme dan dekonstruksiisme ternyata kajian agama secara akademik semakin dibutuhkan manusia. Meski cepat cepat harus dikatakan bahwa kajian agama secara akademik bukan dimaksudkan untuk membedah hal-hal yang berada diluar jangkauan kapasitas nalar, tetapi lebih dimaksudkan agar agama tidak saja relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan, way of life, weltanschauung, dan falsafah al hayah.
Komentar
Posting Komentar