IBNU ARABI DAN WAHDATUL WUJUD

IBNU ARABI DAN WAHDATUL WUJUD


A. Ibnu Arabi
Nama penuh Ibnu ‘Arabi adalah ialah Abu Bakr Muhy al-Din Muhammad ibn ‘ Aliy ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatimiy (daripada keturunan ‘Abd Allah ibn Hatim saudara ‘Adiy ibn Hatim al- Ta’iy. Beliau dikenali dengan gelaran Ibn al-’ Arabiy (dengan awalan al-) di negeri-negeri sebelah al- Maghrib (Barat), dan dengan gelaran Ibn ‘Arabiy (tanpa awalan al) di negeri-negeri sebelah al-Masyriq (Timur) untuk membezakan antara beliau dengan al-Qadi Abu Bakr ibn al-’ Arabiy.
Ibnu ‘Arabi ( 637 H – 1240 ) adalah pimpinan dan pendiri aliran kusus. Secara tidak dipertentangkan lagi Ibnu ‘Arabi adalah sufi filosof Islam terbesar. Aliranya berdiri berdiri pada pertama abad ke 7 H yang berumur lebih kurang sampai dua abad. Ibnu ‘Arabi memaparkan pandangan dibanyak bukunya yang besar: al-Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hakim. Ibnu ‘Arabi mengalami nasip yang juga menimpa orang – orang yang sejalan dengannya, tertimpa tekanan dan siksaan.[1]


B. Konsep Pemikiran Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud Wahdat al-Wujud (وحدة الوجود) berarti : kesatuan wujud. Faham ini adalah lanjutan dari faham hulul. Dan faham wahdat al-wujud, nasuf yang ada dalam hulul tersebut, dirubah oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut menjadi haq ­–Tuhan–. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq. Kepercayaan Tuhan menjelma di mana-mana atau ‘manunggaling kawula lan gusti’ tak pernah surut. Nabi sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari ‘hamba Tuhan’.[2]


Suatu hari, seorang pengembara mengetuk pintu rumah Junayd, tokoh sufi terkemuka pada zamannya. “Siapa di situ?” tanyanya. Si tamu menjawab: “Aku Sang Kebenaran (ana l-haqq)!” Mendengar itu Junayd berkata: “Anta bi l-Haqq. Engkau bakal membinasakan kayu bakar”. Ramalan Junayd terbukti. Pada hari Selasa 24 Dzulqa’dah 309 Hijriah bertepatan dengan 26 Maret 922 Masehi, sang pengembara yang tidak lain adalah Abu l-Mughits al-Husayn ibn Manshur al-Hallaj dihukum mati di alun-alun kota Baghdad. Ucapan-ucapannya –yang tertuang dalam bentuk prosa maupun puisi- dinilai menyimpang dan mengelirukan karena mengajarkan pantheisme dan manunggaling kawula lan gusti. 
Pantheisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma di mana-mana, bahwa segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya. Sedangkan ‘manunggaling kawula lan gusti’ secara literal berarti menyatu hamba dan Tuhan. Ajaran mistis ini pernah menggegerkan Kerajaan Islam Demak sehingga Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dieksekusi oleh para Wali Sanga. Sesudahnya pernah juga heboh kasus Haji Mutamakkin yang menganggap ibadah-ibadah zahir tidak perlu bagi orang yang sudah menyatu dengan Tuhan[3] 
Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah -untuk tidak mengatakan mustahil- terjadi ketika Nabi SAW masih hidup. Di zaman Rasulullah, kenyelenehan paling jauh yang kita ketahui ialah dakwaan Musailamah si pendusta. Penguasa Yamamah (Najd) dan kepala suku Bani Hanifah ini memang memproklamirkan diri sebagai nabi, namun ia tidak pernah mengaku bersatu (ittihad) dengan Tuhan dan tidak pula mendaku Tuhan masuk, berada atau bersemayam (hulul) dalam dirinya. 
Mustahil, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari sekadar ‘hamba Tuhan’ (‘abdullah) dan utusanNya (rasuluhu). Tidak terdapat satu hadis pun yang mengabarkan pada kita tentang ucapan-ucapan mengarut (syathahat) semisal “Maha suci aku”, “Tuhan ada dalam jubahku” dan sebagainya keluar dari mulut beliau. Rasulullah SAW selalu menggunakan kata ganti orang kedua tunggal (dhamir al-mukhathab al-mufrad) dan kata ganti orang ketiga tunggal (dhamir al-gha’ib al-mufrad) apabila beliau berkata tentang dan kepada Tuhan. Misalnya: “Maha suci Engkau. Tak terhitung pujian bagiMu. Engkau sebagaimana Kau puji diriMu” (subhanak allahumma la nuhshi tsana’an ‘alayka anta kama atsnayta ‘ala nafsika), atau “Maha suci Tuhanku yang maha tinggi” (subhana rabbiya l-a‘la). Semua ini tentu saja sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam firman-Nya (e.g. QS 2:32, 17:1, 21:87, 36:83, 37:180).
Selain al-Hallaj, tokoh sufi favorit yang kerap dikaitkan dengan pantheisme ialah Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya jua dinisbatkan doktrin wahdatu l-wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. Sebagaimana Abd Ar Rahman yang dikutip oleh syamsudin arif.[4]
Peliknya, istilah ‘wahdatu l-wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya semisal Ibn Sab‘in (w. 646 H/1248 M) dan Afifuddin at-Tilimsani (w. 690 H/1291). 
Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tawhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: “ma tsamma mawjud illa hadza l-‘alam al-masyhud”. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: “anna wujuda l-ka’inat huwa ‘aynu wujudillah”). 
Dikenal pemberani, jujur dan bernalar tajam, Ibnu Taimiyah tidak asal tuduh. Sebagai bukti ditunjuknya dua bait puisi Ibn Arabi dalam pembukaan kitab al-Futuhat al-Makkiyah (paragraf 6) yang berbunyi: “Tuhan adalah benar-nyata, tetapi hamba juga benar-nyata. Aduhai lantas siapa yang dibebani kewajiban? Jika engkau katakan ‘hamba’, dialah ‘Tuhan’. Tapi jika engkau katakan ‘Tuhan’, mengapa pula dibebani kewajiban?” Itu baru satu bukti, belum lagi ungkapan-ungkapan senada yang bertaburan dalam kitab Fushus al-Hikam. Contohnya: “Maha suci Tuhan yang mewujudkan segala sesuatu dan menjadi esensinya (Subhâna man azh-hara al-asy-yâ’a wa huwa ‘aynuhâ)” dan “Sang Kebenaran adalah ciptaan dari perspektif ini maka pahamilah, akan tetapi juga bukan ciptaan dari perspektif itu maka ingatlah!” 
Golongan yang mengatakan Tuhan ada dimana-mana kerap berdalih dengan dua ayat al-Qur’an. Pertama, dengan Al- Quran surah Qaf ayat 16: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Banyak ulama tafsir memahami frasa “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” sebagai pernyataan figuratif metaforis. “Ini merupakan perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth al-qurb),” tegas Imam al-Biqa‘i (w. 885 H/1480 M) dalam tafsirnya, Nazhmu d-Durar fi Tanasub al-Ayat wa s-Surar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam al-Jami‘ li-Ahkami l-Qur’an. 
Sebagian mufassir seperti Imam Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kedekatan para malaikat Allah, sesuai dengan konteks ayat sesudahnya yang menyebut malaikat pengawas-pencatat Raqib dan ‘Atid. Walhasil, kedekatan tersebut bukan kedekatan jarak fisikal sebagaimana dikhayalkan oleh penganut manunggaling kawula gusti. 
Golongan yang Kedua, dengan ayat 4 surah Al-Hadid: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana, dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Huwa al-ladzi khalaqa as-samawati wa al-ardha fi sittati ayyamin tsumma istawa ‘ala al-‘arsy, ya‘lamu ma yaliju fi al-ardhi wama yakhruju minha wama yanzilu min as-sama’i wama ya‘ruju fiha wa Huwa ma‘akum aynama kuntum wa Allahu bima ta‘maluna bashir). Tidak sedikit orang yang tergelincir ketika menafsirkan ayat ambigu ini.
Penafsiran Ibnu Arabi sendiri terhadap ungkapan yang digarisbawahi di atas dapat kita ikuti dalam kitab al-Futuhat Makkiyyah (bab 272) ketika ia menguraikan isi kandungan ayat 7 surat 58 (al-Mujadalah): “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta mereka di manapun mereka berada (ma yakunu min najwa tsalatsatin illa Huwa rabi‘uhum, wa la khamsatin illa Huwa sadisuhum, wa la adna min dzalika wa la aktsara illa Huwa ma‘ahum aynama kanu).” 
Seorang pembaca yang cermat, kata Ibnu Arabi, dapat dengan mudah menangkap bahwa maksud ungkapan “wa la adna min dzalika ” adalah dua orang, sedangkan “wa la aktsara” berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan: Kenapa dalam ayat tersebut dikatakan “jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam”? Kenapa bukan “jika ada empat maka Dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya”? 
Jawabannya, imbuh Ibnu Arabi, adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad), bahwa hanya Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudNya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut, Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk di dalamnya (yasyfa‘uha [ya‘ni an-najwa] bima laysa minha). Dengan begitu, tambahnya, Allah juga menunjukkan status keberbedaanNya. Artinya, tak seorangpun dapat independen sendiri melainkan wujudnya digenapkan oleh al-Haqq, karena ketunggalan dan keesaan hanya milikNya semata (hatta la takuna al-ahadiyyatu illa lahu). Oleh karena makhluk mustahil dapat menggenapkanNya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan makhluk.
Pada dasarnya Konsep pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu : a. Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal, b. Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya, c. Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan / terbagikan (indivisible) dan seragam (homogen).
Zat, oleh sebab itu, menentukan diri sendiri, dan dari hasil dari penentuan diri (ta’ayun) maka pembedaan dan perbedaan akan muncul dalam zat, dan penggandaan akan berkembang dari kesatuan. Tetapi dalam proses ini, zat tidaklah membagi atau juga tidak menjarangkan diri sendiri. Samalah juga dengan zat tunggal yang mengada dalam keseluruhannya, di sini dengan satu bentuk dan di lain tempat dengan bentuk yang lain, tanpa membagi atau menjarangkan diri secara memadai. Sebagai seorang aktor, ia tampak dalam berbagai karakter, dengan nama-nama yang berbeda karakter dengan nama-nama yang berbeda, dan melakukan berbagai fungsi. Ibnu al-Arabi menyamakan penampakan dari sesuatu berbagai air, yang kini berwujud air, atau sebagai es, atau pula sebagai uap. Dan zat juga yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah zat Tuhan. Dan tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan; baginya tidak akan ada dua zat yang mengada bersama-Nya. Kemudian juga, bahwa zat Tuhan adalah zat dunia; perbedaan di antara keduanya adalah di atur dengan nalar yang sama. Karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam, atau hubungan antara yang tunggal dengan yang emanasi (pancaran-Nya).
Dan juga falsafat ini timbul dari faham bahwa Allah sebagai diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat dirinya di luar dirinya dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, ia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Yang ada dalam alam itu kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagai orang yang melihat dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya : dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu, sebagai dijelaskan oleh al-Qashani dalam fushush.
(فصوص الحكم) وماالوجه الا واحد غير افه اذا أنت أعددت المراياتعددا
“Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”.
Sebagai kata Parmenides :
“Yang ada itu satu, yang banyak itu tak ada
Yang kelihatan banyak dengan panca indera adalah ilusi”.
Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.[5]
Aku adalah Dia yang kucintai Dan Dia yang kucintai adalah aku, Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh, Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia, Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami. Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan, "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, Yang Maha Benar bukanlahku, Aku hanya satu dari yang benar, Maka bedakanlah antara kami." Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islaman menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidakmenangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dantujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. 
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina. 
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud. 
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq. Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya akhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Didalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. 
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.[6]
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya,tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil. Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. 


C. Analisa

Pemikiran Ibn al-Arabi, yang bergelar al-kabri al-ahmar ini sangat mendengar tentang kesatuan wujud al-Haq, berawal dari hasil renungannya yang mendasar yaitu jika wujud adalah maka dimanakah posisinya seperti dalam dialektikanya yang dari konteksnya dijelaskan dan muncul pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan mencintai Tuhan? Dan bagaimana kita mencintai Tuhan? Biasanya bahasa religius menggunakan berbagai rumusan tertentu. Bahwa Ibn al-Arabi membawa kita maju ke depan dengan sarana dua observasi yang disebut “cinta Ilahi”. Yang mempunyai dua aspek salah satunya hasrat akan Tuhan kepada makhluknya, dan bahwa alam merupakan cermin bagi Tuhan dan benda-benda yang ada dalam alam karena esensinya ialah sifat ketuhanannya Tuhan melihat diri-Nya. Dari sinilah timbul faham kesatuan wujud, dan pada hakikatnya yaitu satu.


KESIMPULAN

Kesimpulan, Sebagai penutup, perlu dipahami bahwa wahdatul wujud, dalam konteks Islam, tidak boleh ditafsirkan secara panteistik (bahwa tuhan dalam segala sesuatu) atau panenteistik (bahwa tuhan bertempat dalam dalam segala sesuatu), atau menganggapnya sebagai mistisisme naturalis, apalagi dijelaskan secara ateistik. Jauh dari itu semua yang menafikan transendensi Tuhan, Ibn Arabi— untuk menyebut salah satu ulama yang sering disalahpahami—selalu menekankan transendensi Tuhan diatas semua kategori.xxviii Penjelasan yang mengesankan hal demikian mestilah dipahami dalam konteks sufistik dan ditafsirkan secara tepat dengan mengkomparasikan satu keterangan dengan lainnya. Lebih jauh lagi, dalam konteks kesamaan (nama) konsep dalam berbagai tradisi tidak mesti ditafsiri dalam konteks keterpengaruhan. Untuk menyebut kasus, formulasi metafisik dalam tradisi agama semitik dan Hindu, misalnya, dalam batas tertentu memiliki kemiripan. Namun hal ini kemudian dipahami secara berbeda oleh masing-masing penganut tradisi.xxix Dalam konteks yang lebih luas, kemiripan-kemiripan yang ada antara tasawuf, secara umum, dan konsep wahdatul wujud, khususnya, tidaklah mesti dipahami sebagai keterpengaruhan. Karena, kesamaan—atau lebih tepatnya, apa yang dianggap sebagai kesamaan—antara konsep para Sufi dan konsep yang dikenal dalam tradisi lain tidaklah meniscayakan bahwa kaum Sufi telah mengadopsi konsep tradisi lain secara apa adanya. Dan jika dianggap bahwa peminjaman istilah dan konsep dari tradisi lain benar-benar terjadi, maka hal itu tidak menafikan proses Islamisasi konsep itu. WaLlahu a’lam bi haqiqah al-hal wa Huwa al-Ghafur al-Rahim.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?