Waris Beda Agama menurut Jaringan Islam Liberal



Waris Beda Agama menurut Jaringan Islam Liberal

Sistem pemikiran fikih yang sejak awal tidak memberikan ventilasi pemikiran non-muslim sudah bisa dipastikan, bila berhubungan dengan agama lain maka kesimpulan hukum yang diambil cenderung kaku dan keras. Ini dikarenakan cara pandang fikih klasik terhadap non-muslim sebagai kafir. Dan kafir, menurut ulama fikih klasik, merupakan salah satu kelompok yang diharamkan untuk menerima dan memberi warisan (mawani’ al-irtsi). 

Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalah ayat yang berbunyi:

“Orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”(an-Nisa: 141).
Namun, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang muslim mewarisi non-muslim. Para ulama terbelah dalam dua pendapat. Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang Muslim mewarisi seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan kedua dalil di atas. Mazhab Syafi’i dan Mazhab termasuk kelompok ini. 
Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang muslim mewarisi seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang muslim dengan wanita non-muslim (ahli kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Maidah ayat 5.
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS al-Maidah: 5)
Yang termasuk dalam kelompok kedua ini yaitu Mu’adz ibn Jabal, Mu’awiyah, Sa’id ibn al-musayyab dan Masruq. Pemandangan ini menjelaskan, bahwa para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari jalan alternative dalam kaitannya dengan agama lain. Salah satu buktinya, dalam hukum yang berkaitan dengan agama lain, seperti waris beda agama, selalu ada pelbagai pandangan yang menegaskan adanya perbedaan cara pandang terhadap agama lain. Namun, yang tersosialisasi kadangkala hanya pandangan mayoritas, sedangkan pandangan ulama minoritas yang membela hak-hak non muslim cenderung dilupakan atau dihilangkan begitu saja. Pandangan kelompok kedua yang memberikan ruang waris beda agama merupakan upaya ijtihadi yang perlu diapresiasi, karena mereka mau mengakomodasi non muslim. Dan mereka mempunyai landasan normatif yang sangat kuat.
Dengan demikian, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga, keturunan dan menantu, apapun agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah memperat hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?