Sketsa Biografi Singkat dan Karya At‑Tufi

Sketsa Biografi Singkat dan Karya At‑Tufi
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar‑Rabi' Sulai­man bin Abd al‑Qawi bin Abd al‑Karim bin Sa'id at‑Tufi as‑Sarsari al‑Bagdadi al‑Hanbali, yang terkenal dengan nama at‑Tufi. Sebenarnya Tufi adalah nama sebuah desa di daerah  sarsar Irak,[1] dan di desa itulah tokoh ini  dilahirkan. Di samping tokoh tersebut terkenal dengan nama at‑Tufi, juga populer dengan nama Ibn Abu 'Abbas.[2]
At‑Tufi lahir diperkirakan pada tahun 657 H (1259 M)[3]  dan meninggal pada tahun 716 H (1318 M).[4] Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Bagdad yang dipimpin  oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.[5] Jatuhnya kota Bagdad oleh serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah kaum muslimin,sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin. Jatuhnya Bagdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam  gelap tak berdaya. Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada malapetaka ini. Akibatnya adalah  integritas politik dunia Islam betul‑betul berantakan.[6]
Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan tulisan ini hidup dalam situasi integritas poli­tik dunia Islam yang tercabik‑cabik, juga at‑Tufi hidup dalam masa  kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam. Fase kemunduran hukum Islam  berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum‑hukum Islam langsung dari sumber‑sumbern­ya yang pokok, yaitu Qur'an dan Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan   melalui salah satu dalil syara'. Mereka merasa cukup mengikuti pendapat‑pendapat yang ditinggalkan oleh imam‑imam mujtahid sebelumnya, seperti  Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya  telah mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak  mempunyai fikiran independen, melainkan harus bertaklid.[7]
Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika  itu menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri‑negeri tersebut selalu sibuk   perang, fitnah‑memfit­nah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu implikasinya ialah  kurangnya perhatian terhadap kamajuan ilmu.
Pada fase sebelumnya  telah timbul mazhab‑mazhab hukum Islam yang mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya  ialah bahwa pengikut‑pengikut mazhab‑mazhab tersebut berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar‑dasar mazhab maupun pendapat‑pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran  pendirian mazhabnya dan, menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji‑muji imam pendiri mazhab yang dianutnya. Dengan usaha‑usaha tersebut, seseorang tidak lagi mengarahkan  perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan Hadis, dan baru memakai nas‑nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat imamnya, meskipun kadang‑kadang harus melalui pemahaman yang tidak semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang‑orang berilmu akhirnya menjadi orang‑orang awam  yang mencu­kupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku.
Pembukuan pendapat‑pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk mencarinya. Pada fase‑fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena  dihadapkan kepada hal‑hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad‑ijtihad mereka dibukukan, bagi orang‑orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan pendapat yang telah ada .
Pada masa‑masa sebelumnya, hakim‑hakim terdiri dari orang‑orang yang bisa melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim‑hakim diangkat dari orang‑orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim‑hakim yang bisa berijtihad seringkali keputu­sannya menjadi sasaran  kritik  penganut‑penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas terhadap mazhab tersebut.[8]
Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan sampai digunakan oleh orang‑orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang‑orang yang tidak berhak berij­tihad ikut melakukan ijtihad, dan orang‑orang awam ikut‑ikut memberikan fatwa, dan dengan demikian mereka telah memper­mainkan nas‑nas Syari'at dan kepentingan  orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda‑beda dan bersim­pang ‑siurnya keputusan‑keputusan hakim, meskipun kadang‑kadang masih di negeri yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai hukum‑hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut, para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutu­pan pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat‑pendapat yang ditinggal­kan oleh ulama‑ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi ditutup.[9]
Tanda‑tanda kebekuan dan kemunduran  yang panjang terse­but terlihat pada kenyataan‑kenyataan berikut : Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan ijtihad, baik karena malas dan tidak adanya  daya‑kreasi baru, atau karena menerima tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya berkisar membahas pendapat‑pendapat imam‑imam mujtahid yang lalu, seperti penyusunan masalah‑masalah yang sudah ada, memi­lah‑milah antara pendapat‑pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun ikhtisar‑ikhtisar kitab fiqh atau "matan‑matan" yang kadang‑kadang merupakan rumus‑rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal dengan nama "syarah", dan penje­lasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi catatan‑catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'li­qat". Corak lain dari cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah penghimpunan fatwa‑fatwa dalam satu mazhab. Akan tetapi kitab‑kitab fatwa ini merupakan suatu perbendaharaan yang sukar  dinilai dalam hukum Islam.
Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan, karena  persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum‑hukum Islam harus dicukupkan pada ijtihad‑ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah‑masalah baru dalam kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu‑ilmu pada waktu itu terutama hukum Islam berpindah‑pindah, dari kota‑kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota‑kota Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika.
Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini masih terdapat fuqaha‑fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali kepada Qur'an dan Hadis.  Usaha‑usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya terha­dap masa‑masa berikutnya. Di antara fuqaha‑fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) yang mempunyai karya‑karya baru. Di antaranya ialah "fatwa‑fatwanya" yang merupa­kan segi penerapan praktis hukum‑hukum Islam, karena fatwa‑fatwanya tersebut merupakan jawaban‑jawaban terhadap peris­tiwa yang terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751) yang menulis buku‑buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti A'lam al‑Muwaqi'in.[10] Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga  bahwa at‑Tufi hidup  segenerasi dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al‑Qayyim al‑Jauziyah. Menurut suatu keterangan memang bahwa at‑Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.[11]
Karya‑karya tulis at‑Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima bidang,yaitu kelompok ilmu Alquran dan Hadis, Kelompok ilmu usulud­din (teologi), kelompok fiqh, kelompok usul al‑fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan lain‑lain.



[1]Ibnu al‑Imad, Syazarat az‑Zahab fi Akhbari Man Zahab, (Beirut : al‑Maktab at‑Tijari,t.t.), V: 39.
[2]Ibn Hajar, Ad‑Durar al‑Kaminah, (India : Dar al‑Ma'arif, 1314 H),II:154.
[3]Mustafa Zaid,Al‑Maslahah fi at‑Tasyri' al‑Islami wa Najmuddin at‑Tufi, (Mesir: Dar al‑Fikr al‑Arabi, 1959), hlm.68.
[4]Abd. al‑Wahhab Khallaf, Masadir at‑Tasyri' fima la Nassa fih, (Kuwait:Dar al‑Qalam, 1972), hlm. 105.
[5]Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk. (Jakarta: Panitia Penerbit,1966),hlm.29.
[6]Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah,terjemahan Anas Mahyuddin,(Bandung : Pustaka,1983), hlm.37‑38.
[7]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984), hlm.206.
[8]Ibid. hlm.207.
[9]Ibid. hlm.208.
[10]Ibid. hlm.209 dan Anwar Ahmad Qadri, Islamic Juris­prudence in The Modern World, (Pakistan: SH. Muhammad Ashraf Kashmir Bazar Lahore, t.t.), hlm.67‑77.
[11]Mustafa Zaid, Al‑Maslahah, hlm.72‑74.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?