Sejarah dan Perkembangan Taqnin

Adapun ide a-taqnin terhadap hukum Islam (fiqh) pertama kali dicanangkan oleh Abu Muhammad “Ibnu al-Muqaffa”, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur (memerintah tahun 137 – 159 H) dari Bani Abbasyiah. Ide ini diajukan oleh Ibnu al-Muqaffa kepada khalifah karena menurut pengamatannya terdapat kekacauan hukum dan peradilan ketika itu. Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam at-taqnin tersebut, antara lain untuk memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di masyaraka; dan untuk membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya ar-risalah as-Sahabah.
Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim di lembaga peradiln dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fikqh, melainkan diplih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya menghilangkan sekap ta’asub (fanatik) mazhab yang merajalela ketika itu.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan hukum Islam adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para Ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Akan tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka keterpakuan pada hukum yang teelah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan pemilihan hukut yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Selanjutnya, Abu Ja’far al-Mansur ketika bertemu dengan Imam Malik, meminta kepadanya untuk menuliskan sebuah buku yang mencakup semua persoalan fiqh. Semula Imam Malik secara diplomatis menolak permintaan khalifah tersebut dengan mengatakan : “Penduduk Irak tidak mungkin menerapkan pendapat saya tersebut”. Teapi, khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitb yang akan disusun itu akan diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyahdan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.
Sesuai dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad bin al-Mahdi, utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’ ini merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban Imam Malik diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang terkandung dalam kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasud diberbagai tempat dan budaya, tidak berjalan mulus.
Kodifikasi hukum Islam (fiqh) baru terealisasi pada tahun 1293 H/1876 M oleh kerajaan Turki Usmani (kerajaan Ottoman) dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama dalam mazhab hanafi, yang disebut Majallah al-Ahkam al-adliyyah (Hukum perdata kerajaan Turki Usmani), yang diberlakuakn disegenap wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu sampai dasawarsa abad ke-20. majallah al-ahkam al-adliyah memuat 1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Akan tetapi, kodifikasi hukum yang dihimpun oleh ulama fiqh di zaman turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah dan berasal dari satu mazhab saja, yaitu mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua daerah itu bermazhab Syafi’i.
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab. Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.
Sekalipun yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara tersebut, khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah negara-negara Islam dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum Eropa, ulama dan pakar hukum Islam di berbagao negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam, walaupun tidak meliputi seluruh aspek.
Komentar
Posting Komentar