Pandangan Agama terhadap Sekularisasi

Para sejarahwan mendefinisikan sifat atau batasan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan “penempatan” agama dalam masyarakat atau budaya tersebut: apakah otoritas yang berkuasa bersikap religius, apakah monarki-ketuhanan atau pejabat keagamaan mengatur hukum-hukum yang dianggap bersumber dari wahyu?; apakah negara berpenampakan sekular, diperintah oleh orang-orang di luar hierarki agama,tetapi masyarakat dan budayanya bersifat agamis, dengan otoritas negara yang diperkuat oleh hierarki tersebut (sebagaimana yang terjadi dalam Kristen  pada abad pertengahan dan di Spanyol sampai abad ke-20)?’ atau apakah sanksi untuk pemerintah dan hukum-hukumnya yang di ambil dari legitimasi non-agama, dengan agama hanya sebagai persoalan keimanan pribadi?.

Di sisi lain Pergolakan antara agama dan sekuler tanpaknya tak akan pernah putus-putusnya, meskipun secara jelas tidak terlihat pertentangan tersebut.
Dalam agama Kristen misalnya, masyarakat sekuler tidak mengenal adanya gereja.    
Upaya-upaya  intelektual teolog-teolog Kristen untuk menguia sifat Tuhan (sebagai cinta) dan misteri-misteri Trinitas  hanya formalisme kosong bila dibandingkan pengalaman  Sufi tentang Tuhan (karena pengalaman ini paling tidak punya pengaruh yang positif dan memperkaya pembinaan kepribadian, walaupun pada umumnya bersifat individual dan asosial). Tetapi sumber keruntuhan modernitas  dalam bentuk sekularisme, adalah jauh lebih buruk dari pada sumber keruntuhan Sufisme Islam atau pun teologi Kristen zaman pertengahan, Karena sekularisme menghancurkan kesucian dan universalitas (transendensi) semua nilai-nilai moral -suatu fenomena yang efek-efeknya baru saja mulai terasakan, terutama paling jelas di masyarakat Barat. Sekularisme dengan sendirinya adalah ateistis. Sepanjang menyangkut  penegakan suatu tata social yang didasarkan pada etika.  Sekularisme muncul di dunia Islam di masa-masa pramodernis karena macetnya pemikiran Islam pada umumnya, dan lebih khusus lagi, karena kegagalah hukum dan lembaga-lembaga syari’ah untuk mengembangkan diri guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah.   
Menurut seorang penulis Rekonstruksi yang paling Produktif, Gary North,” merupakan kewajiban moral umat Kristen untuk menguasai kembali setiap intitusi demi Yesus Kristus”, dia merasakan hal ini khususnya di Amerika Serikat, di mana hukum Sekular di pandang sebagai Supreme Court (hukum tertinggi dan dipertahankan oleh para politisi liberal yang sedang bergerak ke arah apa, yang oleh Rushdoony dan yang lainnya, disebut sebagai sebuah kibijakan yang menyimpang dari ajaran Kristen.utamanya yang menyangkut persoalan aborsi dan homoseksualitas.namun, bagaimanapun juga, apa yang paling diinginkan oleh kalangan Rekonstruksionis  lebih sekedar penolakan terhadap sekularisme. Sebagaimana halnya dengan para teolog  lainnya.
Sekali lagi, sekularisme  adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya agama-agama menamakan hari kemudian, hari kebangkitan, dan lain-lain. Kita semua yang hidup ini, adalah makhluk Sekular, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam Sekular, duniawi, karena belum pindah ke alam akhirat, alam baka yaitu mati. Tetapi bagi penganut sekularisme, mereka adalah orang-orang sekularis, artinya orang-orang yang menjadikan sekularisme sebagai sentral keyakinannya. Dalam perspektif Islam, sekularisme adalah perwujudan modern dari paham dahriyah, seperti di isyaratkan dalam Alquran, surat Jatsiah ayat 24

وقالوا ما هى الأ حياتنا الدنيا نموتُ ونحيا وما يهلكنا الأ الدهر وما لهم بذلك من علم ان هم الأ يظنون

Dan mereka berkata: "Tiada sesuatu kecuali kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal  itu, mereka  hanyalah menduga-duga saja.
Jadi jelas, sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.
        Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses peduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkun, bahkan telah jadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanan.
Sekularisasi, dalam bentuk demikian, selalu menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam, jika pada suatu saat mereka kurang memberikan pyang wajar kepada aspek duniawi kehidupan  ini.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?