Mekanisme Perlindungan Nasabah Dalam Lembaga Perbankan

Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam jangka perlindungan nasabah bank adalah sebagai berikut:
1.   Pembuatan peraturan baru
      Melalui pembuatan di bidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan secara langsung maupun tidak langsung bertujuan melindungi nasabah. Akan tetapi lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.
2.  Melaksanakan peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan ini harus dilaksanakan secara objektif tanpa melihat siapakah pengurus bank tersebut maupun pemegang saham.
3.   Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito.
      Perlindungan nasabah khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata dapat membawa hasil yang positif.
4.   Memperketat perizinan bank
      Memperketat pemberian izin untuk pendirian suatu bank merupakan cara agar bank tersebut kuat dan berkualitas sehingga dapat memberikan keamanan bagi nasabahnya.
5.   Memperketat pengaturan di bidang kegiatan bank
      Ketentuan- ketentuan yang menyangkut dengan kegiatan bank banyak yang bertujuan untuk melindungi nasabah baik secara langsunmg maupun tidak langsung. Pengaturan tersebut antara lain mengatur hal- hal sebagai berikut:
  1. Ketentuan mengenai permodalan, seperti kecukupan modal (capital adequate ratio) yang diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
  2. Ketentuan mengenai manajemen, seperti terhadap manajemen permodalan, kualitas aktiva, manajemen umum dan manajemen likuiditas.
  3. Ketentuan mengenai likuiditas, yang dilakukan dengan pengukuran cash ratio.
  4. Ketentuan mengenai rentabilitas dengan penilaian kuantitatif melalui rasio perbandingan laba selama 12 (dua belas) bulan terakhir trhadap usaha dalam periode dan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun.
  5. Ketentuan mengenai kesehatan bank, yang sering dijadikan ukuran adalah capital, assets quality, management quality, earnings dan liquidity, posisi devisa netto, dan batas maksimum pemberian kredit.
  6. Memperketat pengawasan bank.
Untuk mengurangi resiko yang ada pihak otoritas atau Bank Indonesia melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank- bank yang ada baik bank pemerintah maupun swasta.

B.       Mekanisme Perlindungan Nasabah Melalui Asuransi Simpanan

            Secara umum asuransi simpanan bertujuan untuk 3 hal yang saling terkait, yakni:
  1. menjamin nasabah terutama nasabah kecil,
  2. untuk memelihara kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan khususnya perbankan, dan,
  3. untuk memelihara stabilitas sistem keuangan.
Pada intinya asuransi simpanan tersebut ditujukan untuk mencegah bank runs. Sesuai dengan model Diamond-Dybvig bank runs ditandai dengan “self-fulfiling prophecy”, dimana turunnya kepercayaan deposan dapat menimbulkan krisis perbankan. Permasalahan tersebut disebabkab oleh dua factor yakni:
  1. Terdapat informasi asimtrik antara deposan dan managemen bank, dan
  2. Umumnya nasabah kurang mampu menilai kesehatan bank.
Disamping itu, bank- bank juga rentan terhadap kejadian tersebut karena asset likuid bank biasanya lebih kecil dari kewajiban likuidnya.
            Secara lebih rinci, Thompson mengemukakan 5 argumen untuk menerapkan asuransi simpanan, yakni:
  1. untuk mendukung stabilitas system perbankan yang dapat terganggu ketika terjadi krisis keuangan jika kepanikan deposan mendorong bank runs yang merusak bank- bank yang sehat dan juga yang insolven.
  2. Simpanan yang dijamin dapat memberikan pilihan tabungan bagi nasabah kecil, sehingga membantu memobilisasi tabungan untuk kepentingan investasi.
  3. Jika otoritas pengawas berada dalam tekanan politis untuk membail-out (dimana berlaku bentuk asuransi implisit), asuransi simpanan eksplisit dapat membantu untuk kewajiban yang dijamin dengan menetapkan ex-ante apa yang akan dan atau yang tidak dijamin;
  4. Asuransi simpanan membuat bank-bank kecil lebih mampu untuk bersaing dengan bank-bank besar; dan
  5.  Asuransi eksplisit dapat memudahkan otoritas pengawas melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap bank. Sebelum krisis 1997, tidak terdapat (yang mengalami krisis) di Asia Timur yang memiliki skim asuransi simpanan (deposit insurance) yang eksplisit kecuali Filipina.
Di Indonesia, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas dan permodalan kepada bank-bank secara kasus per kasus ad-hoc) dan tidak transparan.Bantuan tersebut juga tidak didasarkan pada suatu mekanisme asuransi formal tetapi lebih pada keyakinan bahwa bank-bank yang dibantu tersebut merupakan sistemik (too big to fail) atau suatu bank dapat mewabah (contagion).
Asuransi simpanan terbatas (limited guarantee) di Indonesia pertama kali diterapkan ketika pemerintah menutup Bank Summa pada awal tahun 1992 yang dipandang gagal. Sejak itu, tidak terdapat penutupan bank hingga terjadinya krisis dimana pemerintah menutup 16 bank pada November 1997. Saat itu, diterapkan Asuransi Simpanan Terbatas (AST) sebagai bagian dari persetujuan pertama dengan IMF dengan batas Rp20 juta per rekening perbank.
Pengalaman krisis Indonesia tahun 1997 menunjukkan bahwa AST tidak efektif dalam mencegah bank runs. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor terkait:
  1. simpanan berjumlah lebih dari Rp20 juta – yang tidak dijamin – mencapai  sekitar 80% dari total simpanan;
  2. terdapat ketidakpastian yang tinggi dalam perekonomian dan politik; dan
  3. penabung dan investor khawatir bahwa akan terdapat penutupan bank lagi sehingga mereka menarik simpanannya dari perbankan.
Untuk memulihkan kepercayaan domestik dan internasional terhadap perekonomian dan sistem keuangan, pemerintah menandatangani persetujuan kedua dengan IMF pada 15 Januari 1998. Selanjutnya, untuk mencegah depresiasi rupiah lebih jauh dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan, pada 27 Januari 1998 pemerintah menetapkan program penjaminan pemerintah (blanket guarantee).
Asuransi Simpanan Penuh (ASP) tersebut mencakup seluruh kewajiban bank komersial baik rupiah maupun valuta asing, termasuk nasabah penyimpan dan kreditur. Kebijakan ASP tersebut bersifat temporer menunggu terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan.
Terdapat kontroversi mengenai penerapan ASP atau blanket guarantee. Beberapa pengamat seperti Furman dan Stiglitz, Stiglitz, Radelet dan  Sachs.berargumen bahwa jika ASP diterapkan lebih awal, kerusakan dan biaya krisis yang timbul mungkin lebih kecil.
Sebaliknya, komentator lain mengkritik ASP karena cakupannya terlalu luas. Goldstein berargumen bahwa jika semua bank bermasalah ditutup pada awal krisis, bahkan tanpa ASP pun tidak akan terjadi penarikan simpanan besar- besaran karena bank-bank yang tersisa adalah yang sehat. Dia meyakini bahwa dengan ASP, pemerintah akhirnya terpaksa memberikan asuransi simpanan dengan biaya fiskal yang lebih tinggi dan dengan dampak negatif moral hazard yang meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis di masa mendatang.
Karena itu, dia menyarankan agar Indonesia mengembangkan sistem asuransi simpanan yang mengandung insentif - seperti yang diterapkan oleh FDICIA di Amerika Serikat - sebagai bagian integral dari infrastruktur keuangan. Namun demikian, penarikan simpanan secara sistemik di Indonesia pada awal krisis tahun 1997 tidak hanya dapat ditimpakan akibat ketiadaan ASP. Kebijakan pemerintah dalam likuidasi bank yang tidak transparan dan inkonsisten serta adanya ketidakjelasan politik menjelang akhir rejim Suharto waktu itu juga berperan penting. Penerapan ASP pada awal krisis mungkin perlu untuk mencegah timbulnya biaya-biaya ekonomi dan sosial yang lebih besar akibat krisis sistemik Tetapi skim ASP harus diganti sesegera mungkin dengan skim yang lebih sesuai dengan kondisi normal yang tidak menimbulkan moral hazard.

  1. Praktik Terbaik Asuransi Simpanan
Garcia berdasarkan survei di 68 negara, mengidentifikasi praktik terbaik Asuransi Simpanan Terbatas dan Eksplisit (ASTE). Pada prinsipnya ASTE harus memiliki infrastruktur yang baik, menghilangkan moral hazard, menghindarkan adverse selection, mengurangi agency problems, dan meyakinkan kredibilitas serta integritas sistem keuangan. Berdasarkan telaahan system asuransi simpanan di Asia,
Choi mengemukakan pentingnya pembentukan ASTE di Asia untuk mencegah kemungkinan terjadinya krisis keuangan. Pengamat lain, Pangestu dan Habir menyarankan sistem asuransi simpanan Indonesia harus dirancang dengan memuat dua aspek. Pertama, skim tersebut harus memberikan insentif bagi bank-bank yang berkinerja lebih baik dengan menghubungkan pembayaran premi tahunan dengan profil risiko mereka. Kedua, skim itu harus didanai sendiri oleh industri perbankan untuk mendorong disiplin pasar dan mengurangi beban fiscal pemerintah. Untuk menghindarkan ancaman terhadap sistem perbankan,
Garcia menyarankan bahwa seharusnya ASTE diterapkan setelah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1) krisis domestik dan internasional telah berakhir;
(2) perekonomian telah mulai bangkit;
(3) lingkungan makro-ekonomi mendukung kesehatan bank;
(4) sistem perbankan telah berhasil;
(5) otoritas memiliki dan siap menerapkan kebijakan penyehatan dan exit policies yang kuat bagi bank-bank bermasalah;
(6) tersedianya sistem akuntansi, disclosure, dan kerangka hokum yang memadai;
(7) berfungsinya kerangka regulasi prudensial yang kuat; dan
(8) kepercayaan public telah pulih.
Tampaknya belum semua persyaratan tersebut dipenuhi di Indonesia. Demirguc-Kunt dan Kane juga menyarankan bahwa negaranegara terlebih dahulu harus menilai dan memperbaiki lingkungan internasional dan pengawasannya sebelum menerapkan JST yang eksplisit. Sejalan dengan ini, Wesaratchakit melaporkan bahwa Thailand mengadopsi perubahan bertahap dari skim ASP ke ASTE. Dipertimbangkan bahwa terdapat prasyarat yang harus dipenuhi – khususnya stabilitas sistem perbankan dan perekonomian secara keseluruhan, efektivitas regulasi dan pengawasan serta pemahaman publik – sebelum beralih ke ASTE. Terdapat masalah mengenai reaksi deposan terhadap penerapan skim ASTE. Pada Januari 2001,
Korea Selatan mengganti sistem ASP menjadi ASTE dengan batas asuransi 50 juta won per deposan per lembaga. Terdapat migrasi dana yang cukup besar dari bank-bank berperingkat lebih rendah ke yang lebih sehat. Yang lebih menarik, deposan besar secara aktif membagi deposito mereka ke dalam beberapa rekening baik di bank maupun lembaga keuangan non bank. Tetapi tidak terdapat bank run dalam sistem keuangan Korea secara menyeluruh.
Adalah penting untuk menyiapkan rencana kontijensi sebelum mengganti ASP untuk mengantisipasi kemunginan timbulnya kondisi terburuk seperti hilangnya kepercayaan publik. Jika hal itu terjadi, harus terdapat kerangka hukum yang jelas mengenai skim asuransi simpanan. Untuk mengurangi moral hazard dan mendorong disiplin pasar, otoritas terkait harus menetapkan sanksi yang tegas terhadap lembaga keuangan dan para pelaku yang melanggar peraturan dan menimbulkan masalah terhadap
bank-bank serta menerapkan penegakan hukum secara konsisten.


  1. Kritik Terhadap Asuransi Simpanan
Argumen untuk asuransi simpanan eksplisit baik untuk pengembangan sektor keuangan (financial deepening) dan stabilitas keuangan diterima secara luas oleh pembuat kebijakan dan juga dianjurkan untuk diterapkan oleh IMF di banyak negara .
Namun demikian, juga berkembang skeptisisme di antara para pengamat mengenai manfaat asuransi simpanan. Cul mengajukan keraguan atas pendapat bahwa asuransi simpanan mendorong financial deepening dengan memperluas basis simpanan dan bahwa asuransi simpanan menciptakan landasan bagi system perbankan yang lebih maju. Cull juga menemukan bahwa asuransi simpanan eksplisit tidak berdampak pada tingkat konsentrasi
sektoral – yang justru cenderung mendorong persaingan. Kane menyimpulkan bahwa berdasarkan studi dari pengalaman 40 negara dalam skim asuransi simpanan bahwa semakin lemah kondisi informasi, etika dan tata kelola suatu negara, maka asuransi simpanan eksplisit yang sepenuhnya didukung pemerintah akan semakin memperburuk stabilitas perbankan.
Sejalan dengan itu, dalam kajian komparatif yang lebih luas, Kane dan Demirguc-Kunt berkesimpulan bahwa dimana peraturan kerangka hukum lemah dan hak-hak kreditur belum terlindungi dengan baik, asuransi simpanan eksplisit cenderung menimbulkan instabilitas keuangan.
Honohan berdasarkan sampel 40 krisis di negara maju dan berkembang, menemukan bahwa ASP, bantuan likuiditas yang tak terbatas, rekapitalisasi berulang, penalangan (bail-out) kewajiban debitur, dan pelonggaran regulasi akan meningkatkan biaya penyelesaian krisis secara sangat signifikan. Lebih lanjut, berdasarkan bukti dari 61 negara dalam kurun 1980-1997,
Demirguc-Kunt dan Detragiache menemukan bahwa asuransi simpanan eksplisit cenderung melemahkan stabilitas bank. Terlebih lagi apabila penetapan suku bunga diregulasi (tidak berdasarkan mekanisme pasar) dan kondisi kelembagaan (termasuk pengawasan bank) lemah.
Serupa dengan itu, Cull berdasarkan sampel 58 negara juga menemukan bahwa asuransi simpanan yang tidak terbatas dan dalam lingkungan pengaturan yang lemah mendorong timbulnya instabilitas keuangan.
Greenspan mengemukakan bahwa terdapat dua implikasi yang saling bertentangan dari asuransi simpanan. Di satu sisi, asuransi simpanan bermanfaat untuk mencegah bank runs yang dapat mengganggu struktur keuangan dalam jangka pendek. Di sisi lain, asuransi simpanan dapat menciptakan permasalahan pada lembaga keuangan yang dijamin sehingga dapat menimbulkan risiko sistemik yang luas di masa depan. Masalah tersebut adalah berkurangnya disiplin pasar dan meningkatnya moral hazard.
Asuransi simpanan meningkatkan kemampuan bank untuk menarik dana dengan biaya lebih rendah dan mengambil risiko lebih besar tanpa khawatir kehilangan nasabahnya. Dengan kata lain, asuransi simpanan mendorong misalokasi sumberdaya dengan memutuskan hubungan antara risiko dan reward untuk pasar tertentu. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan pengawasan yang lebih baik agar mampu menjaga kepentingan pembayar pajak yang akan menanggung biaya resolusi krisis.

  1. Praktik Penjaminan Simpanan di Indonesia
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sempat terganggu akibat krisis keuangan tahun 1997, pemerintah terpaksa memberlakukan program blanketguarantee dengan menjamin seluruh simpanan nasabah di bank. Program tersebut telah berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Namun, penjaminan yang sangat luas tersebut juga membebani anggaran negara dan  dapat menimbulkan moral hazard oleh pihak pengelola bank dan nasabah bank. Pengelola bank kurang terdorong untuk melakukan usaha bank secara berhati-hati, sementara nasabah kurang memperhatikan kondisi keuangan bank dalam bertransaksi dengan bank. Disamping itu, umumnya blanket guarantee merupakan
kebijakan temporer untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pada masa krisis. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Undang- Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 22 September 2004. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, LPS memiliki dua fungsi yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank yang tidak berhasil disehatkan atau bank gagal.
Undang-Undang tersebut juga mengatur secara jelas mengenai status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan kewajiban, pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya dengan organisasi lain. Hal tersebut penting untuk meyakinkan agar LPS independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas. Kebijakan ini ditempuh untuk mengurangi beban anggaran Negara dan meminimalkan moral hazard. Namun demikian, kepentingan nasabah tetap dijaga secara optimal. Setiap bank yang beroperasi di Indonesia baik Bank Umum mapun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan. Jenis simpanan di bank yang dijamin meliputi tabungan, giro, sertifikat deposito dan deposito berjangka serta jenis simpanan lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Agar efektif dan tidak berdampak negatif, penjaminan simpanan oleh LPS tersebut diterapkan secara bertahap dengan cakupan penjaminan sebagai berikut:
· 22 September 2005 – 21 Maret 2006: seluruh simpanan
· 22 Maret 2006 – 21 September 2006: s.d. Rp 5 milyar
· 22 September 2006 – 21 Maret 2007: s.d. Rp 1 milyar
· 22 Maret 2007 – seterusnya: s.d. Rp 100 juta.dan pada tahun 2007 s/d sekarang 2 Miliyar.
Terdapat beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam penerapan skim penjaminan terbatas pasca LPS tersebut. Pertama, mekanisme koordinasi. Perlu diatur secara jelas mengenai mekanisme koordinasi antara LPS dengan lembaga terkait terutama antara Bank Indonesia dengan LPS dalam penanganan dan resolusi bank bermasalah. Mekanisme koordinasi tersebut dapat diatur mengacu pada praktik di negara lain, antara lain dalam bentuk Nota Kesepakatan. Namun dalam praktiknya sering timbul kendala yang memerlukan kesepakatan dari pimpinan kedua lembaga. Struktur Dewan Komisioner LPS yang melibatkan perwakilan dari lembaga terkait yakni Bank Indonesia dan Departemen Keuangan dapat membantu mengatasi masalah koordinasi tersebut. Namun demikian, untuk lebih meyakinkan berjalannya koordinasi pada level operasional, sebagian karyawan Deposit Insurance Company di beberapa negara berasal dari bank sentral. Tampaknya kebijakan ini juga ditempuh oleh LPS.
Kedua, kecukupan modal LPS perlu dipelihara dengan baik untuk meyakinkan kredibilitasnya di mata publik. Mengingat bahwa modal LPS relatif kecil, perlu antisipasi apakah dalam jangka pendek dan menengah terdapat potensi bank gagal yang memerlukan biaya resolusi yang cukup besar dan diluar kemampuan LPS untuk menanganinya.
Ketiga, perlu diantisipasi mengenai potensi migrasi simpanan (flight to quality) dari bank-bank yang dianggap “kurang sehat” ke bank-bank yang dianggap “lebih sehat”. Hal ini sangat penting untuk meyakinkan tidak terjadi gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan mengingat bahwa simpanan masyarakat di perbankan cukup terkonsentrasi pada nasabah penyimpan dengan jumlah diatas Rp100 juta yang mencapai sekitar 50% dari total dana pihak ketiga perbankan. Untuk itu, perlu dikaji secara lebih mendalam potensi migrasi simpanan tersebut, baik melalui kajian empiris maupun survey pasar, sehingga dapat diantisipasi dampaknya secara tepat. Disamping itu, LPS, Bank Indonesia dan perbankan perlu melakukan sosialisasi kepada publik secara terencana dan intensif.simpanan yang tidak terbatas,
Pencegahan moral hazard dalam industri perbankan dapat dilakukan melalui 3 upaya yang saling mendukung, yakni; manajemen risiko dan tata kelola yang baik(good corporate gonernance) ; disiplin pengaturan (regulatory discipline); dan disiplin pasar (market discipline). Adanya penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dapat membantu bank memastikan arah dan strateginya telah sesuai dan konsisten dengan yang direncanakan. Hal tersebut dapat mencegah pengelola bank melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko yang telah digariskan.
Dalam menghadapi persaingan atau mengejar laba, pengelola bank dapat tergoda untuk mengabaikan manajemen risiko dengan memangkas sumber daya pengawasan internal atau meniadakan prosedur tertentu dalam pengendalian risiko. Oleh sebab itu adanya disiplin pengaturan merupakan upaya untuk mengurangi insentif bank mengambil risiko yang lebih besar dengan menggunakan kewenangan publik.  Adapun pihak-pihak yang  yang dapat melakukan disiplin pengaturan antara lain pengawas bank, bank sentral, pengawas transaksi keuangan, pengawas pasar modal, dan penjamin simpanan.
Dalam perspektif penjaminan simpanan, terdapat beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan disiplin pasar, antara lain; pembatasan jumlah yang dijamin; pembatasan jenis yang dijamin; pembatasan pihak yang dijamin; dan pengaturan prioritas pembagian hasil likuidasi bank.
Adanya pembatasan simpanan yang dijamin menyebabkan nasabah yang simpanannya melebihi jumlah yang dijamin akan menghadapi risiko apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya ditutup. Oleh karena itu, nasabah tersebut akan terdorong untuk selalu memonitor kondisi dan kinerja bank.
Dilain pihak penjamin simpanan juga dapat mengecualikan penjaminan atas suatu jenis simpanan tertentu apabila simpanan tersebut dianggap lebih sebagai investment tool dan hanya dimiliki nasabah tertentu. Contoh jenis simpanan yang tidak dijamin antara lain; negotiable sertificate of deposit (Jepang, Malaysia), structured deposit(Singapura), simpanan dalam valuta asing (Jepang, Malaysia, Singapura, Canada).
Peningkatan disiplin pasar dapat pula dilakukan dengan mengecualikan penjaminan terhadap simpanan milik pihak yang mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis kondisi dan kinerja bank, seperti : bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, atau perusahaan sekuritas.
Dalam konteks pembagian hasil likuidasi bank, pihak yang diharapkan melakukan disiplin pasar ditempatkan pada urutan yang lebih belakang. Nasabah penyimpan pada umumnya mempunyai urutan sebelum kreditur lainnya. Sedangkan nasabah penyimpan yang dijamin dapat diberi urutan yang berbeda dengan nasabah yang tidak dijamin. Posisi nasabah penyimpan yang telah dibayar penjaminannya digantikan oleh penjamin simpanan (hak subrogasi).
Kebijakan seperti apa yang harus dilakukan pada umumnya dipengaruhi oleh sistem perbankan di setiap negara, serta tujuan kebijakan publik yang ingin dicapai. Dari beberapa pilihan tersebut, dalam UU LPS hanya diterapkan 2, yakni ; (1) pembatasan jumlah simpanan yang dijamin maksimal Rp 100 juta per nasabah per bank, dan (2) dalam pembagian hasil likuidasi bank, pembayaran kembali klaim penjaminan yang telah dibayar LPS mempunyai hak mendahului terhadap pembayaran simpanan yang tidak dijamin











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

Tafsir bi al-ra`yi al-madzmum,

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?