LANDASAN HUKUM/OPERASIONAL, PERAN DEWAN SYARIAH DAN UNSUR-UNSUR SYARIAH DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN
LANDASAN HUKUM/OPERASIONAL, PERAN DEWAN SYARIAH DAN UNSUR-UNSUR SYARIAH DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN
A. Landasan Hukum / Operasional Bank Syariah
Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya UU. No. 10 tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai respon atas kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank Syariah yang pertama berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia sejak tanggal 1 Mei 1992.
Ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan, landasan hukum bagi berdirinya Bank Syariah adalah UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 1992. [1] Celah landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang menyinggung bahwa Bank dapat memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi hasil. Selengkapnya UU. No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:
Kredit adalah penyediaan Uang atau Tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Friedman, membedakan antara hukum Inggris (Anglo-American Law / Common Law) dengan Roman Law. Bagi negara Indonesia yang menganut Sistem Roman Law, maka kodifikasi hukum secara formal (positive) yang menegaskan kedudukan Bank Syariah didalam tata hukum nasional adalah suatu keniscayaan.[2] Sangat disyukuri bahwa ternyata tujuh bulan setelah diundangkannya UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah beroperasinya BMI, landasan operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP No. 72 tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil (pada makalah ini selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat (1) PP ini menyebutkan bahwa:
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan usaka semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Lebih rinci lagi pada pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 72 sbb :
(1) Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam :
a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
Kedudukan Bank Syariah semakin mendapat tempat dengan diundangkannya UU. No. 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Kehadiran Undang-undang ini adalah lompatan yang sangat strategis dari sisi politik hukum, karena tidak hanya lebih mempertegas kedudukan Perbankan Syariah, tetapi telah memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan jaringan Perbankan Syariah. Peluang ini terbuka lebar dengan mulai diperkenankannnya Bank Umum untuk beroperasi secara dual system, yakni dapat beroperasi secara konvensional sekaligus beroperasi sesuai prinsip syariah. Kebolehan ini secara tegas didapati pada pada Pasal 1 ayat (3) yang mendefinisikan Bank Umum sebagai berikut:
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atauberdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Berbeda dengan ketentuan pada Bank Umum, terrhadap Bank Perkreditan Rakyat tidak dibenarkan beroperasi secara dual system. Pada pasal 1 ayat (4) diatur sebagai berikut:
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini, khususnya untuk kepentingan Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini kemudian dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan pelaksanaan ini memuat antara lain ketentuan tentang Pendirian Bank, Perizinan, Kepemilikan, Kedudukan Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, Direksi dan Peminpin Kantor Cabang dan Kegiatan Usaha.
Sejalan dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UU No. 10 tahun 1998 yang memberi peluang kepada Bank Umum untuk melaksanakan kegiatan Konvensional sekaligus juga melaksanakan kegiatan operasional secara syariah, Bank Indonesia menerbitkan pula Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.
Pembenaran terhadap Bank Umum untuk beroperasi secara dual system ini telah disambut baik disamping juga disambut dengan dengan kritik dari sebahagian cendekiawan muslim. Kritikan yang disampaikan adalah terjadinya percampuran antara yang halal dengan yang haram didalam satu institusi Bank. Sebagaimana kaedah Fiqh yang meneyebutkan apabila bercampur yang halal dengan yang haram, maka akan menjadi haram.
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
Namun demikian dari sisi politk hukum, terutama untuk mendorong percepatan pertambahan jaringan kantor bank syariah, maka ketentuan ini sangat strategis, mengingat untuk mendirikan bank baru disyaratkan adanya modal sebesar Rp 3 Triliyun.
Untuk beroperasi secara dual system ini Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 memberikan batasan-batasan sbb:
Pasal 11
(1) Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank.
(2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas:
a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;
b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;
c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; dan
d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
Dari beberapa ketentuan diatas dapat dipahami bahwa Bank yang menerapkan dual system berkewajiban mengelola dan menatausahakan serta mengawasi unit syariahnya dengan sebaik-baiknya sehingga meskipun dalam instansi bank yang sama, pengelolaan dan administrasinya terpisah dengan semestinya, antara yang konvensional dengan yang syariah.
B. Unsur-Unsur Syariah Pada UU No. 10 tahun 1998
Unsur-Unsur Syariah pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, adalah yang bersumber dari Fiqh Muamalat, seperti; Bay’ al-Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Ijarah dan Ijarah wa Iqtina’. Dengan demikian hukum Islam telah dipergunakan sebagai bahan dalam pembentukan hukum nasional. Sejalan dengan Teori Eksistensi yang dikemukan oleh Ichtijanto bahwa hukum Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Hukum Islam merupakan bahan utama unsur utama hukum Nasional.[3]
Unsur-unsur syariah didalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini penulis kelompokkan sebagai pengakuan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Penegasan Prinsip Syariah sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam, dengan beberap bentuknya.
[1] Apabila di-urut ke periode terdahulu, Undang-undang Perbankan, pertama sekali di undangkan di Indonesia adalah Undang-undang nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok perbankan. Selanjutnya untuk mengikuti perkembangan perbankan nasional dan internasional, maka tanggal 25 Maret 1992 diberlakukan Undang-Undang baru dibidang Perbankan, yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Seiring memasuki era globalisasi dan dengan diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, maka pemerintah memandang perlu menyesuaikan kembali undang-undang dibidang perbankan. Maka pada tanggal 10 November 1998 diundangkanlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian sampai saat ini telah terjadi 3 kali perubahan Perundang-undangan dibidang Perbankan.
[2] Berbeda dengan Roman Law yang menghendaki Positivisasi hukum, maka Common Lawdidasarkan atas hukum yang berlaku di masyarakat, dalam hal ini Courtyang mengambil peran sentral dalam penetapan hukum. Lihat W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, terj. Muhammad Arifin, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h 162-165
[3] Teori Eksistensi dari Ichtijanto menerangkan bahwa: Hukum Islam ada didalam hukum nasional Indonesia. Bentuk Eksistensiitu ada 4, yaitu; 1) Ada, dalam arti sebagai bagian Integrral dari hukum nasional Indonesia, 2) Ada, dalam arti kemandiriannya dan diakui wibawanya, 3) Ada, dalam Hukum Nasional dalam sebagai norma hukum, berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional, 4) Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Lihat: Ichtijanto, SA, Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Ind- Hill Co, 1990), h 86-87
Komentar
Posting Komentar