Lafal-lafal yang Dipergunakan dalam al-Jarh dan al-Ta’dil

    Lafal-lafal yang Dipergunakan dalam al-Jarh dan al-Ta’dil
Ada beberapa lafaz yang digunakan untuk menta’dil dan menjarh periwayat dan derajatnya berbeda-beda.[1]Menurut Ibn Hajar al-Asqalany, ada enam tingkatan lafaz-lafaz al-jarh wa at-ta’dil.[2]
Adapun lafaz-lafaz at-ta’dil dan tingkatan penggunaannya masing-masing adalah sebagai berikut:
1.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan kepercayaan kepada periwayat secara berlebihan (mubalaghah) atau dengan af’al tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis, seperti:
اوثق النا س اثبت النا س حفظا وعدالة.[3]
2.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan kuatnya kepercayaan kepada periwayat dengan pengulangan lafaz tsiqahdua kali, baik pengulangan itu dengan lafaz yang sama maupun dengan lafaz yang berbeda, seperti:
ثبت ثبت ثقة ثقة.[4]
3.      Lafaz yang menunjukkan kepercayaan dan mengandung arti kuatnya ingatan periwayat, seperti:
حا فظ ضا بط.[5]
4.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan keadilan dan hafalan serta kecermatan periwayat tetapi tidak dalam arti keadilan atau ingatan yang kuat, seperti:
صد و ق محله الصد ق.[6]
5.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan kejujuran periwayat, tapi tidak menggambarkan hafalan atau kecermatan, seperti:
جيد الحد يث حسن الحد يث.[7]
6.      Lafaz at-ta’dil yang menunjukkan ketidakyakinan penilaian akan keadilan dan dhabit periwayat sehingga ia tidak menggunakan lafaz at-ta’dil secara mutlak melainkan dengan mengaitkannya dengan pengharapan. Tingkatan ini sudah mendekati tingkatan al-jarh, seperti:
صا لح الحد يث صد و ق ان شا ء الله.[8]
Para Ulama menerima hadits yang diriwayatkan dengan lafaz-lafaz pada tingkat pertama sampai tingkat keempat sebagai hujjah. Sementara hadis yang dita’dil pada tingkat kelima dan keenam hanya ditulis dan dapat digunakan apabila mendapat dukungan yang kuat dari periwayat lain.
Adapun mengenai lafaz al-jarh dan pembagian tingkatannya,[9]sebagai berikut:
1.      Memberi sifat kepada periwayat dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi mendekati sifat adil, seperti: ضعيف حد يثه فلا ن فيه خلا ف
2.      Lafaz yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan hafalan periwayat, seperti:
فلا ن مجهول فلا ن منكرالحد يث.
3.      Lafaz yang menunjukkan sangat lemahnya riwayat yang disampaikan oleh si periwayat, seperti:   فلا ن مرد ود الحد يث
4.      Lafaz yang mengandung tuduhan dusta, seperti: فلا ن متهم بالكذ ب
5.      Lafaz yang menunjukkan cacat periwayat dalam bentuk mubalaghah, seperti:
كذ ا ب وضاع.
6.      Lafaz yang menunjukkan cacat yang keterlaluan pada periwayat dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af’al at-tafdhil, seperti: ا كذ ب النا س



[1] Menurut Ibn Abi Hatim, Ibn as-Salah dan Imam an-Nawawi, lafaz-lafaz tersebut disusun menjadi empat tingkatan. Sementara menurut al-Hafiz az-Zahani dan al-Iraqy, lafaz-lafaz tersebut ada limatingkatan. Namun pendapat Ulama kontemporer, seperti Mahmud ath-Thahab, Abu Luanah Husain dan Abd Maujud Muhammad And al-Latif, mereka cenderung menyusun dalam enam tingkatan seperti yang dipaparkan oleh Ibn Hajar di atas.
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Masthalah Hadis (Bandung: al-Ma’arif 1991), h. 273.
[3] Zafar Ahmad al-‘Ustmani ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis(Halan: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah 1404 H/1984 M), h. 242.
[4] Ibid., h. 242.
[5] Ibid., h. 242.
[6] Ibid., h. 242.
[7] Zafar Ahmad al-‘Ustmani ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis …., h. 242.
[8] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis …., h. 277.
[9] Zafar Ahmad Ustman ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis …., h. 251-253.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil

mimpi Habib Umar bin hafidz, pertanda apa?