Kehujjahan Hadits Ahad
Kehujjahan Hadits Ahad
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan Hadits Ahadyang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad memakai Hadits Ahad, bila syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi.[1]Namun Para Ulama dan Fuqaha berbeda pendapat, bagaimana persyaratan untuk menerima Hadits Ahad ini, yaitu:
Ø Imam Malik menyatakan dengan tegas bahwa Hadits Ahad tidak boleh bertentangan/menyalahi praktek yang dilakukan oleh penduduk Madinah.
Ø Imam Syafi’i lebih menuntut pada keahlian sumber, rangkaian isnadnya harus bersambung dan penyampai terkenak kejujuran dan kemampuannya untuk memahami dan menyatakannya kembali dengan tepat.
Ø Imam Hambali sependapat dengan Imam Syafi’i dalam hal harus bersambungnya rangkaian isnad.
Ø Imam Hanafi menerima Hadits Ahad, bila isnadnya terbukti kejujuran dan kebenarannya dan isinya pun baik (tidak cacat).[2]Oleh sebab itu, Abu Hanifah menetapkan syarat siqah dan adil bagi perawinya serta amaliyahnya tidak menyalahi Hadits yang diriwayatkan. Oleh karena itu, Hadits yang menerangkan tentang proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya Abu Hurairah, tidak mengamalkannya.
Ø Sedangkan golongan Qadariyah. Rafidah dan sebagian ahlu Zahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar Hadits Ahad hukumnya tidak wajib. Al-Jubbai dari golongan Mu’tazilah menetapkan “tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang”. Sementara yang lain mengatakan “tidak wajib beramal kecuali hadits yang diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula.[3]
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai Hadits Ahadsebagai dasar beramal, Ibnu al-Qayyim mengatakan “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan al-Quran. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Kedua, menjelaskan maksud al-Quran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan Hadits Ahad adalah al Quran, al Sunnah dan Ijma’.
Beramal Dengan Khabar Wahid Jika Bertentangan Dengan Qiyas
Apabila khabar wahid bertentangan dengan qiyas dari berbagai sisi, apakah khabar wahid lebih dikedepankan atas qiyas atau sebaliknya?
Abu Husain al Bashry di dalam kitab al-Mu’tamad mengungkapkan: apabila qiyas bertentangan dengan khabar wahid, ternyata illat qiyas sesuai dengan nash qath’i, maka khabar wahid dinafikan keberadaannya, wajib hukumnya beramal dengan qiyas, karena nash atas illat sama dengan nash atas hukumnya, maka tidak layak untuk dipertentangkan dengan khabar wahid, apabila illat nash bersifat dzanni dan pertentangannya jelas, maka beramal dengan khabar wahid lebih diutamakan dari pada qiyas secara ittifaq, disebabkan penunjukkan atas hukum tersebut jelas dan khabar wahid itu menunjukkan hukum atas illatnya yang secara langsung menunjukkan atas hukumnya. Apabila pengambilan hukum tersebut berasal dari dzanni, maka mengambil khabar wahid lebih baik tanpa adanya perbedaan pendapat.[4]
Perbedaan Pendapat
1. Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal serta mayoritas imam hadits menguatkan khabar wahid atas qiyas, apakah perawinya alim dan faqih atau tidak.
Mereka berhujjah bahwasanya Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, maka Mu’adz mengakhirkan amal dengan qiyas dari pada sunnah tanpa menjelaskan kedudukan sunnah antara mutawatir dan ahad, Rasulullah pun menyetujui hal tersebut.
Ijma’ sahabat, bahwasanya para sahabat meninggalkan hukum dengan qiyas bila mereka mendengar hadits wahid.
2. Isa’ ibn Abban menilai apabila perawinya dhabit serta alim dan tidak memudah-mudahkan, maka wajib mengedepankan khabar wahid dari pada qiyas apabila tidak, maka terdapat tempat untuk berijtihad
Imam Abu Hanifah menilai tidak wajib beramal dengan khabar wahid apabila bertentangan dengan qiyas sementara perawinya tidak faqih.
Mereka berpendapat bahwasanya Rasulullah itu diberi kemampuan jawami’ul kalam dan beliau menyimpulkan perkataanya secara umum.
Mereka juga berpendapat bahwa para sahabat lebih mengedepankan qiyas dari pada khabar wahid.
Mereka juga berhujjah bahwa qiyas merupakan hujjah dengan ijma’ orang terdahulu dari para sahabat , sementara dalam rangkaian khabar wahid terdapat syubhat, yang tetap didahulukan, maka beramal dengannya lebih baik.
3. Para sahabat Malik mengedepankan qiyas atas khabar wahid secara mutlaq, hal ini dinukil dari Malik, kecuali sahabat Qawathi’ yang mengatakan: pendapat tersebut batil yang didengarkan oleh orang-orang yang suka menjelek-jelekkan, aku yang akan menggantikan tempat Malik untuk hal yang serupa seperti perkataan Malik dan dia tidak tahu ketetapannya dari padanya.
F. Penutup
Menurut para ulama, baik itu Ulama Hadits maupun Fuqaha lebih cenderung berbeda pendapat tentang kehujjahan Hadits Ahad maupun Hadits Mursal. Kendatipun ada kesamaan pendapat di antara mereka, namun dalam berbagai hal mereka berbeda mengemukakan syarat-syarat tertentu diterimanya Hadits Ahad dan HaditsMursal sebagai hujjah, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Maka akhirnya mudah-mudahan dalam makalah yang sederhana ini, menjadi manfaat dan mana yang kurang sama-sama kita memperbaiki dan menamabahkan lebih berkembang dalam diskusi mata kuliah ini yang sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh. Dar al-Fikri al-‘Araby,1958.
Al-‘Asqalani, Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali ibn Hajar. Fath al-Bari, Kairo: Mustafa
al-Babi al-Halabi, jilid I, tt.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut :
Dar al-Fikri, 1989.
Al-Khin, Musthofa Sa’id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-
Fuqaha’. Beirut : Libanon, 1998.
Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din. Qawa’id al-Tahdis min Funun al-Mustalahat
al-Hadits. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979.
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta : Bulan
Bintang, 1991.
Al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris. Al-Risalah. Mesir: al-Babi al-Halabi, 1940.
Al-Thahhan, Mahmud, Tafsir Mushthalah al-Hadits. Dar al-Fikri li al-Thaba’ah wa
al-Nasyar wa al-Tauzi’, t.tp.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-syara’%E2%80%99-atas-mushafahah
Khallaf,Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Dar al-fikri al-Araby, 1978.
Rahman, Abdur I. Doi, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta,
1993.
Rahman, Fathur, Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung : PT. Al-Ma’arif, Cet. 1,
1974.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1997.
[1] Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 109.
[2] Abdur Rahman I, Doi, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 91.
[3] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdis min Funun al-Mustalahat al-hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), h. 148.
[4] Mushthofa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ (Beirut: Libanon, 1998), h.408.
Komentar
Posting Komentar