cara mengenal Aliran Qadariah di indonesia
Istilah qadariah berasal dari kata qadara artinya berkuasa, sesuai dengan kamus al-munjid fi al-luqhah disebutkan qawiyun ‘alaih yang mendorong arti memiliki kekuatan atau kemampuan.
Aliran ini berpandangan bahwa manusia mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menciptakan perbuatannya. Manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dan kekuatan sendiri. Pengertian Qadara mengandung arti manusia mempunyai Qudrah (kekuatan) untuk melaksanakan kehendaknya atau istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang percaya digunakan untuk menyebut mereka yang percaya pada tanggung jawab manusia dan kehendak bebas.
Kehadirannya dapat pula diseiringkan sebagaiman munculnya paham jabariah masalahnya kedua paham ini berada pada dua kutub yang berbeda dalam dua persoalan yang sama.
Menurut para ahli teologi Islan sumber awal dari paham Qadariah ini pertama kali dekemukakan Ma’bad al-Juhany. Menurut Ibn Nabath, Ma’bad al-juhany serta Ghailan al-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.
Setelah Ma’bad mati terbunuh (tahun 80 H0), maka Ghailan sendirilah yang meneruskan penyiaran paham qadariah di Damaskus dengan banyak mengadakan perdebatan untuk membela pahamnya.
Disini mendapat tantangan dari khalifah Umar Bin Abd, al- Aziz. Setelah Umar wafat, ia meneruskan kegiatannya yang lama sehingga ia matai dihukum bunuh oleh Hisya’m Abd, al-Malik (724-743 H). Menjelang dilaksanakan hukuman itu, khalifah memberi kesempatan pada Ghilan untuk berdebat melawan Iman al-Auza’i.
Nama lengkapnya Ma’bad Bin Khalid al-Juhany seorang tabi’in yang baik dan jujur. Akan tetapi ia memasuki dunia politik dan memihak kepada Abd. Al-Rahman Ibn. Al-Asy’as Gubernur Sajistan. Padahal waktu itu sedang terjadi konflik antara Abd. Al-Rahman dengan Abd. Malik Bin Marwan penguasa Daulah Umaiyah.
Dalam suatu serangan yang dilakukan oleh al-hajjaj Ibnu Yusuf ke Daluah Sajistan, Ma’bad al-Juhany mati terbunuh. Berdasarkan data ini para sejarahwan berpendapat kematian Ma’bad karena persoalan politik bukan karena ajarannya.
Para penulis teologi Islam memperkirakan bahwa pemikiran Ma’bad tidak jauh dengan tokoh paham qadariah lainnya. Jelasnya ajaran yang dikembangkan oleh Ma’bad dan Ghailan adalah manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia itu sendirilah mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Dan manusia itu pulalah yang melakuakan dan menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dayanya sendiri..
Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya, ia berbuat baik atau jahat adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Disini tidak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak awal.
Komentar
Posting Komentar