Aspek teori Dokmatis dari Hukum dan Kekuasaan
Aspek teori Dokmatis dari Hukum dan Kekuasaan
Teori merupakan alat penting dalam ilmu yang memberi orientasi atau arah dalam menentukan fakta-fakta, untuk selanjutnya dirangkum dalam bentuk generalisasi dan prinsip-prinsip dalam kerangka sistem pemikiran ilmiah. Teori bisa juga mengandung subjektivitas yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan dan dimensi zamannya, apalagi bila berhadapan dengan fenomena yang cukup kompleks seperti ilmu hukum, sesuai dengan cerminan kehidupan manusia pada zamannya. Menurut W. Friedman, semua pemikiran sistematis tentang teori hukum terikat pada satu ujung filsafat dan pada ujung lainnya dengan teori politik. Adakalanya titik bertolaknya adalah filsafat dan ideologi politik memainkan peranan kedua seperti dalam teori-teori dari golongan metafisik klasik Jerman atau golongan neo-kantian. Adakalanya titik bertolaknya ideologi politik itu sebagaimana dalam teori-teori hukum sosialisme dan fasisme.
Dalam upaya membahas arti hukum secara historis, yakni dengan melihat perkembangan ide-ide tentang hukum dari abad ke abad, bagaimana orang mulai berfikir tentang hukum, bagaimana pikiran-pikiran itu berupaya sampai sekarang, teori-teori yang terdapat dalam kurun waktu abad yang sama tidak selalu berada dalam suasana harmonis satu sama yang lain. Pertentangan-pertentangan diantara mereka bukan merupakan hal yang mustahil.
(1).Tradisi Pemikiran Yunani Kuno
Tidak dapat disangkal tradisi socrates telah menjelaskan fenomena “polis”. Karenanya, pembicaraan mengenai polis maupun “politik” dalam tradisi Socrates selalu mengimplementasikan konsep hukum, ketertiban dan keadilan. Dalam tradisi eudeimonia( kebahagiaan), hanya polis yang dapat mencapainya bila dia mampu dicapai lewat prinsip logis. Maka Asumsi “Negara berada demi manusia” bagi tradisi Socrates merupakan premis yang tidak bisa ditawar-tawar dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan bersama umat manusia. Bagi Socrates perubahan makna ide dasar negara yang konotasinya tidak lain ketertiban dan keadilan bagi setiap orang adalah berdasarkan nomoi (undang-undang), karenanya disebut nomokratia.
Bagi plato, “politik” memang tidak dapat dilihat lepas dari individu atau sebaliknya. Individu selaku warga negara dari polis yang merdeka dan demokratis, harus bisa berbuat dengan tempat dan tugasnya. Lewat kebijakan-kebijakan, keadilan harus ditegakkan. Karena hal tersebut tidak ada dalam jiwa manusia, makanya kebajikan-kebajikan itu harus dilatih yang disebut Paidon, dan kelak menjadi paidagogigeia, supaya manusia cakap melaksanakannya karena pendidikan merupakan mata rantai dalam mewujudkan kehidupan bersama dalam “Polis” atau penyelenggaraan “politik”.
Aristoteles, murid plato ternama, dalam bukunya Ethika Nicho Mecheia, menegaskan bahwa manusia adalah “Zoon politikon” (sudah dari alamnya manusia hidup dalam polis). Dari asumsi inilah Aristoteles menegaskan bahwa konstitusi yang juga ditentukan kesuksesan dan kegagalan polis, dan karena itu juga kebahagiaan atau kesengsaraan “Polites”, yaitu warga “pois”. Politea bersama-sama menemukan politea dan sekaligus juga arche politike, yaitu penguasa polis yang dipilih untuk memerintah orang-orang yang merdeka dan sederajat.
(2). Ide dasar konsepsi Thomas Aquinas.
Pada abat pertengahan, seorang filsuf besar dari kalangan rohaniawan gereja katolik, thomas Aquinas, membicarakan arti hukum dalam tiga macam serta hubungan yang terdapat diantara hukum-hukum itu. Pertama adalah lexeaterna (hukum abadi) kebijaksanaan Ilahi sendiri.Bahwa makhluk hidup itu ada dan makhluk berbentuk sebagaimana adanya, karena dikehendaki oleh sang maha pencipta. Manusia berbeda dengan makhluk tuhan lainnya, tumbuh dan berkembangnya makhluk diluar manusia adalah menurut hukum alam, sedangkan manusia memiliki pengertian dan kemauan bebas.
Kedua, lex naturalis, ia bertolak kepada ide-ide dasar aris toteles. Menurut Thomas Aquinas, dalam suatu masyarakat perlu adanya penguasa. Penguasa itu punya tugas yang sama dengan jiwa yang ada didalam tubuh manusia. Ketiga, lex humania (hukum buatan manusia) yang hanya berlaku apabila sesuai dengan dua dimensi yang lainnya, yakni berdasarkan hukum kodrat dan hukum ilahi.dengan demikian Thomas Aquinas secara tegas menolak kekuasaan-kekuasaan sebagai dasar hukum. Suatu peraturan hanya bersifat umum, artinya mengikat, apabila isinya dapat dilegitimasikan secara rasional dari hukum kodrat. Suatu hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat, menurut Thomas Aquinas, tidak memiliki status hukum, tetapi merupakan corruptio logis, suatu penghancuran hukum.
Komentar
Posting Komentar